(menuju) Perasingan Dengan Tanya

93 2 0
                                    

Pagi masih buta dari segala pijar. Adapun temaram lampu sorot menambah sendu suara gesekan sepatu. Gigil kursi tunggu lebih hangat dari segala dekap yang menghangatkan lelap. Berpasang-pasang telinga menanti dalam kerja perhati, menangkap bising suara yang memanggil melayangkan hati dan remah harap.

Pagi itu, sepersekian detik setelah subuh mataku masih dibuai kantuk. Jarum berdenting seirama merupa metronom waktu yang lamat-lamat menumbuh debar. Ceruk-ceruk ruang tunggu seakan bercerita dengan segala dinginnya tentang hati yang tak lagi menemu teduh untuk bertahan. Sementara bias langkah di pualam menjadi sekelebat saksi antara datang dan pergi.

Sesekali di ruang tunggu segaris senyum lahir di bibirku, saat mataku hanyut dalam haru kala lengangku menemu tawa berpendar dari bibir mereka ketika pelukan disematkan. Riuh manja bergemuruh dari mulut bocah kecil kala rindu memulangkan lelaki yang ia nanti.

Disisi lain, kudapati wajah yang ringan tanpa sesekali menoleh, larut dalam langkah yang menjauhkan punggung dari peluk kandung. Aku mencoba menelusup dari binar matanya, bertanya pada debu-debu yang melekat di kopor yang menemaninya pergi, sembari bertanya dalam hati; apa yang ia cari di perasaingan yang sebelumnya tak pernah ia ketahui. Tidakkah rindu begitu teduh untuk membuatnya tetap tingal?

Warasku menyibak tanya yang tak kupahami--mengembang memenuhi isi kepala. Pertanyaan tentang apa, kenapa, dan mengapa kepada langkah mereka yang beralun menghilang ke perasingan antah-berantah; apa yang akan didapati? Adakah hidangan yang lebih nikmat dari masakan bunda? Adakah jamuan yang lebih hangat dari senyum sanak? Adakah senja yang lebih jingga dari sore di kota kelahiran? Atau adakah yang lebih manis dari teh yang selalu setia menunggu di beranda rumah?

Aku masih mencari jawab dari pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban, tentunya dengan menerka-nerka. Belum sempat dari itu, desing bising mesin pesawat meracau nanar--merusak pertahananku tanpa permisi. Memaksaku mengayun langkah seirama. Aku sadar untuk tidak sadar berbaris di antara mereka dengan mengemas rindu dalam kopor menuju perasingan. Lalu pertanyaan-pertanyaan tanpa jawaban itu, kini kutanyakan pada diriku.
Aku yang membawa siuh dari kotaku menuju perasingan.
"apa?"
"mengapa?"
"kenapa?"
"entah" --jawabku

***

18 Juni '17
Ranu Ambara

BAIT KURUSETRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang