Kutitip Beberapa Kutip Untuk Bunda

76 3 1
                                    

Pagi ke pagi-- ceruk tubuh penuh pengharapan dengan senyum yang lekat pada aroma masakan, menelusup masuk lewat lubang kunci pintu kamar. Di balik pintu itu, bocah yang tak lagi kecil; aku-- masih lelap dalam buih-buih mimpi. Satu-dua langkah mengetuk nanar membangunkan sadar. Hari yang terus berulang-- senyum yang selalu hangat-- dan aroma masakan yang selalu kusuka.

Dalam ketelanjangan diri yang masih saja seperti pertama membuka mata di bumi. Aku adalah perwira yang harusnya sudah pandai menghidupi diriku sendiri, namun tidak! Aku tidaklah lebih baik dari bocah kemarin sore yang merengek dibuatkan susu. Menangis minta ini dan itu, membuat kegaduhan tanpa pernah peduli dirinya terluka. Namun, apakah beliau tersiksa? Atau hanya aku yang tak pernah menyadarinya?

Pada suatu pagi dengan sinar mahkota bumi yang membias di antara kaca jendela, aku terbangun di tempat yang tak kukenal namanya. Lelap yang membawa hangat dekap kian menjadi sekelebat harap. Kali ini aku terbangun tanpa aroma masakan, hanya ada airmata. Senyum gemetar berpendar bersamaan kilau bening yang mengalir deras beriak memberi bekas. Entah berapa pagi kulewati dalam buai mimpi. Satu-satunya hal yang kutahu, kini pagi datang bersama kabar debar penuh nelangsa untuk malaikat penyerupa; Bunda.

Mungkinkah aku sudah pada ujung penolakan semesta? Setelah tubuh ringkihku di hajar penuh penghabisan oleh Tuhan karena kebodohanku. Aku tak mendapati apapun selain diriku sendiri yang telah mati dalam kesiasiaan masa muda. Yang aku tahu kali ini, perempuanku tak lagi memasak nasi untukku. Tak ada lagi sapa, tak ada lagi kata, yang ada hanya air mata.

Perlaksa angin betiup menerpa keras ingatan saat canda tercipta di atas timangan kaki bunda. Gigil menusuk sum-sum tulang belakang sakit yang berkepanjangan hingga berharap untuk tak pernah dilahirkan. Kini segala jerit tangis dan tawa kurangkum dalam diam. Legam tanganku tak lagi mampu menyeka apa yang harus tumpah. Bahkan aku tak lagi dapat menemu Tuhan untuk sekadar berkelakar, meminta waktu tereja ulang mengkhianati takdir menolak berpulang. Maafkan lakuku dan semua kata-perkata yang sempat goreskan luka di dada. Maka lanjutkan hidupmu seolah tak terjadi apa-apa.

Pada ujung keranda, pada keras batu nisan pun pada pijakan bumi yang merengkuh tubuhku setelah ini. Telah aku titip beberapa kutip ucap terima kasih, sayang dan doa pengharapan lain yang tak pernah aku katakan sebelumnya. Di sisa kemungkinan degupku yang telah tiada, di sana aku telah menjadikannya taruhan untuk hidupmu yang aku pikir masih belum pungkasan; dan surga tempat kita bertemu setelahnya. Sekali lagi bunda, cukup ... cukup sudah tangis mengantarkan aku pada jalan pulang yang sesat, simpan air matamu untuk esok hari, sebab diriku tak perlu melulu kau ingat. Aku memang belum ikhlas melepas, namun aku sudah sangat mengerti, hidupku tak lagi berarti meski hanya tidur di atas ranjang besi.

: Sebab pada tangan halus dan suci telah teraliri darah sejati perempuan peniup kehidupan beraroma surgawi; Bunda.

Agustus 2017
R A N U  &  V I D T R I

BAIT KURUSETRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang