Pangeran Dharma Wirapaksi menyusun kekuatan untuk membalas dendam. Laskar-laskar perang dihimpunya. Terdiri dari para prajurit dan para rakyat Salakabentar yang masih setia kepadanya. Latihan perang giat dilakukan di sebuah kawasan hutan yang di rahasiakan. Sampai pada saat yang telah ditentukan Sang Pangeran mengumpulkan seluruh laskar-laskar pasukannya di hutan rahasia itu.
"Kini telah tiba saatnya bagi kita untuk merebut kembali tanah air kita. Kita akan membalas dendam kepada Medang Kahirupan. Jadi kobarkan api perjuangan, para dewa akan menyertai kita. Hidup Salakabentar... Hidup Salakabentar... Hidup Salakabentar...! ". Seru Pangeran Dharma Wirapaksi dengan berapi-api di hadapan ribuan pasukannya.
" Hidup Salakabentar... Hidup Salakabentar...! ".
Seruan Sang Pangeran disambut pekik riuh penuh semangat oleh segenap prajurit. Api semangat benar-benar berkobar di dada masing-masing prajurit. Rimba raya bergetar oleh gegap gempita gema suaranya. Sampai membuat Burung-burung hutan beterbangan untuk menjauh karena ketakutan.
Saat pasukan itu bergerak, sungguh konvoi pasukan yang sangat besar mirip pergerakan air bah yang akan menelan apapun di hadapanya. Terdiri dari kira-kira tujuh ribu orang prajurit. Dengan kekuatan tiga ribu orang prajurit kavaleri. Lima ratus pasukan gajah dan lima ratus kereta perang yang masing-masing ditarik oleh empat ekor kuda. Sementara sisanya adalah pasukan infantri dengan berbagai jenis persenjataan perang. Benar-benar suatu kekuatan tempur yang dahsyat.
* * *
Dengan kekuatan pasukannya yang besar itu Pangeran Dharma Wirapaksi sangat yakin dan percaya diri bahwa kemenangan pasti berpihak kepadanya. Pasukannya bergerak menuju ke bekas kota kutaraja Salakabentar yang telah direbut dan dihancurkan musuh pada saat dua tahun yang lalu. Bagaimanakah peperangan Pangeran Dharma Wirapaksi dengan pasukannya yang sangat besar itu?. Kisah ini terjadi setelah dua tahun pasca ditaklukanya kerajaan Salakabentar. Pangeran Dharma Wirapaksi melancarkan pemberontakan untuk mendirikan kembali Kerajaan Salakabentar!.
Di bekas puing-puing Kutaraja Salakabentar yang telah hancur. Sebuah pemukiman baru dibangun oleh orang-orang Medang Kahirupan. Pembangunan sudah berjalan dua tahun pasca penaklukan Negri Salakabentar dengan dipimpin oleh seorang Tumenggung yang ahli dalam pembangunan. Sehingga kini sudah menjadi sebuah kota kecil yang hampir sempurna serta mulai ramai ditempati oleh orang-orang dari Medang Kahirupan maupun orang-orang Salakabentar yang sudah bersedia tunduk kepada Kerajaan Medang Kahirupan.
Pagi hari itu, matahari secara perlahan mulai menampakan diri mengusir sisa-sisa kegelapan malam yang masih membayangi. Udara dingin menyelimuti atmosfer tapi terasa begitu sejuk. Asap mengepul dari dapur tiap-tiap rumah penduduk pertanda ada aktivitas memasak. Suasana pagi terasa begitu tenang dan penuh kedamaian. Sampai tiba-tiba terdengar suara gemuruh langkah pasukan yang mengusir ketenangan dan kedamaian itu. Semua penduduk pemukiman menjadi gempar.
Saat matahari mulai menampakan dirinya secara utuh. Para penduduk semakin gempar menyaksikan penampakan kedatangan pasukan yang sangat besar itu. Panji-panjinya bertebaran, umbul-umbul dan kelebet berkibaran angkuh. Tujuh ribu pasukan mengepung pemukiman baru itu dari segala penjuru.
Para pimpinan prajurit Medang Kahirupan berkumpul di sekitaran kediaman Tumenggung Wiragati, pemimpin pemukiman. Menunggu Sang Tumenggung memberikan arahan komando. Sang Tumenggungpun terlihat keluar dari kediamannya dengan mengenakan pakaian perang dan bersenjata lengkap. Panah, pedang dan keris. Para prajurit serempak bersimpuh menghaturkan sembah. Tumenggung Wiragati menganggukan kepala pertanda menerima sembah kemudian memberikan isyarat dengan tangannya kepada para pimpinan prajurit untuk berdiri kembali. Merekapun berdiri kembali.
"Bangsa Salakabentar telah datang untuk membalas dendam. Jadi persiapkan diri kalian untuk menghadapi mereka semua. Kita pertahankan kota yang telah kita bangun bersama!". Seru Tumenggung Wiragati.
"Sumuhun dawuh, gusti!". Jawab para pimpinan prajurit serempak.
Ratusan prajurit Medang Kahirupan keluar dari gapura benteng, siap menyongsong pasukan lawan. Para prajurit bersenjata panah naik ke atas panggungan-panggungan di atas dinding benteng siap untuk menghalau musuh-musuh. Tumenggung Wiragati sendiri berada di atas panggungan utama siap memimpin para prajurit Medang Kahirupan bertempur. Namun alangkah terkejutnya Sang Tumenggung tatkala melihat kekuatan musuh yang sangat besar, mengepung dari segala penjuru. Pihaknya jelas kalah jumlah juga kalah dalam persiapan perang. Tapi sebagai seorang patriot sejati pantang baginya untuk gentar menghadapi musuh.
Terompet Sangkakala sudah ditiup dari pihak Salakabentar menyusul Bende pusaka dipukul tiga kali. Suaranya menggelegar bagai guntur, menandakan serangan pihak Salakabentar dimulai. Para prajurit infantri Salakabentar menyerbu dari segala penjuru. Para prajurit Medang Kahirupanpun maju menyambut serbuan musuh.
Dua pasukan yang tak seimbangpun bertemu, para prajurit mulai bertempur. Suara-suara senjata tajam yang beradu berdenting merdu bak irama gamelan. Diiringi oleh Teriakan-teriakan garang para prajurit yang bertarung mengadu nyawa. Sampai kerapkali diselingi jerit kesakitan prajurit yang akan meregang nyawa. Darah segar tertumpah ruah di tanah berdebu.
Para prajurit Medang Kahirupan berjuang mati-matian menghadang gelombang pasukan Salakabentar yang menyerbu bagai amukan air bah yang tak tertahankan. Pasukan gajah dan kereta-kereta perang Salakabentar terus bergerak mendekati dinding benteng kota tanpa ada perlawanan yang berarti. Dari atas panggungan-panggungan sekitaran benteng kota para prajurit Medang Kahirupan bersenjata panah sudah bersiaga.
"Lepaskan anak panah beracun!". Teriak Tumenggung Wiragati dari atas panggungan utama.
KAMU SEDANG MEMBACA
Darah Naga
ActionKisah heroik, tentang perjuangan seorang gadis manusia setengah Naga bernama Purbasari ayu wangi,yang menggantikan ayahnya dalam berjuang menghadapi para naga jahat dari planet Vatala yang datang menginvasi Bumi. Berlatar kerajaan-kerajaan Nusantara...