Episode 12

257 7 0
                                    

Hujan anak panah beracun menyambut para prajurit Salakabentar. Banyak yang berjatuhan terkena anak panah. Tapi itu tidak cukup untuk menghambat pergerakan para prajurit Salakabentar yang berjumlah besar. Mereka terus merangsek sambil berlindung dengan perisai. Sementara pasukan panah Salakabentar telah beraksi melepaskan anak-anak panahnya untuk membalas serangan dan mendukung pergerakan pasukan-pasukan yang bergerak di garis terdepan.

Para prajurit Salakabentar di garis terdepan akhirnya berhasil mencapai gerbang tebal benteng dan berusaha menghancurkanya dengan kayu gelondongan yang telah dipersiapkan. Sementara yang lainnya berusaha memanjati dinding benteng dengan tangga. Walaupun banyak diantara mereka yang berhasil digagalkan oleh para prajurit penjaga di atas benteng. Tetapi tak sedikit pula yang akhirnya berhasil naik ke atas benteng lalu menyerang para prajurit penjaga.

Tumenggung Wiragati menyadari bahwa serangan musuh tak akan mampu terbendung. Apalagi pasukan gajah sudah merangsek mendekati gerbang. Sementara gerbang benteng telah retak akibat hantaman-hantaman kayu gelondongan. Sehingga akan sangat mudah untuk dihancurkan oleh gajah.

"Para karaman keparat, kalian akan membayar mahal. Bersiaplah untuk kuhabisi secara masal!". Kata Tumenggung Wiragati dengan emosi meninggi.

Sang Tumenggung berkonsentrasi memusatkan segenap cipta sambil merapal mantera ajian sakti pemanggil senjata Jamparing Murkageni senjata mengerikan dari dunia ghaib. Sampai dari telapak tangan kanan Sang Tumenggung memancar cahaya yang menyilaukan. Cahaya itu memanjang dan membentuk anak panah.

Sang Tumenggung merentangkan busur dan siap melepaskan anak panah saktinya. Ia mengedarkan pandangannya sebelum benar-benar melepaskan anak panahnya itu secara vertikal ke udara. Senjata itu melesat tinggi dan terlihat berbuntut api kemudian memecah dari satu menjadi seribu, dari seribu menjadi seratus ribu. Seratus ribu anak panah kini menukik turun laksana hujan siap menghujani balatentara Salakabentar.

"Celaka kita semua akan terbunuh!". Pekik prajurit Salakabentar

Balatentara Salakabentar dilanda kepanikan menyaksikan kehebatan anak panah Murkageni. Tapi Pangeran Dharma Wirapaksi yang berdiri di atas gajah perang tidak tinggal diam. Sang Pangeran menghunus Keris pusaka Jaladria dan melemparkan keris itu ke udara. Senjata sakti itu melesat dan memecah pula dari satu menjadi seribu dan dari seribu menjadi seratus ribu. Keseratus Keris pusaka Jaladria menghalau seratus ribu anak panah Murkageni sehingga saling berbenturan sampai menyebabkan ledakan-ledakan disertai Bunga-bunga api.

Seratus ribu anak panah Murkageni ternyata mampu dihancurkan oleh Keseratus ribu Keris Jaladria. Sehingga tidak ada satu prajurit Salakabentar pun yang menjadi korban. Setelah itu keseratus Keris Jaladria kembali menyatu menjadi satu, kemudian terbang kembali kepada pemiliknya serta masuk sendiri ke dalam warangkanya.

"Hahahaha...!. Tidak ada seorangpun yang bisa menghalangi bangkitnya bangsa Salakabentar!". Pangeran Dharma Wirapaksi tergelak puas.

* * *

"Bruakkk!".

Balatentara Salakabentar akhirnya berhasil menghancurkan gerbang kota . Mereka bersorak gembira dan menyerbu masuk ke dalam kota bagai derasnya air bah dari bendungan yang jebol. Para prajurit Medang Kahirupan menyambut mereka dengan perlawanan mati-matian sebagai wujud bakti sejati kepada negeri.

Denting senjata-senjata tajam yang beradu diselingi teriakan pilu para prajurit yang meregang nyawa,terdengar bak instrumen musik gamelan yang padu berirama kematian. Raungan mengerikan dari gajah perang yang mengamuk semakin menambah kengerian suasana pertempuran yang sedang berkecamuk.

"Anting wulan, kota yang telah kubangun ini sepertinya akan segera jatuh ke tangan para karaman. Kita semua pasti akan dihabisi oleh mereka, tapi setidaknya kita bisa memberikan perlawanan terakhir yang bisa menyusutkan jumlah mereka. Sementara kau kuperintahkan untuk pergi melaporkan kejadian ini ke Kutaraja! ".

Tumenggung Wiragati berkata demikian kepada seorang gadis remaja bersenjata lengkap yang bersimpuh di hadapanya. Gadis yang bernama Anting wulan ini menengadah menatap wajah sang Tumenggung dengan mata berkaca-kaca lalu lantas berkata.

" Kenapa tidak Ayah perintahkan orang lain saja untuk pergi ke Kutaraja, sementara biarkan aku disini berjuang bersama Ayah!".

"Hanya kau yang bisa bergerak cepat putriku. Sebab kabar ini harus secepatnya sampai ke Kutaraja dan tidak ada waktu lagi. Negri kita sedang terancam,kabar ini penting karena Kutaraja perlu persiapan !". Tandas Sang Tumenggung.

Anting wulan tidak berbicara lagi, ia menjura memberi hormat kepada Sang Ayah sebelum akhirnya melesat pergi laksana angin berlalu. Anting wulan melompat dan berlari dari satu dahan pohon ke dahan pohon lain dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna guna menghindari penghadangan musuh. Sehingga dalam waktu singkat ia telah berada cukup jauh dari lokasi pertempuran.

Dari atas pohon yang menjulang yang tinggi dari jarak yang cukup jauh. Anting wulan masih dapat menyaksikan kobaran api yang melalap rumah-rumah di kota yang sedang dipertahankan oleh Ayahnya. Ini menandakan sedang terjadi pembumi hangusan yang dilakukan oleh para karaman.

"Ayah, jika engkau telah gugur maka aku ucapkan selamat jalan ke Nirwana. Tapi aku bersumpah para karaman itu akan segera mendapatkan kehancuranya. Aku akan berjuang melawan mereka!". Kata Anting wulan dengan berlinang air mata.

Namun Anting wulan segera menyeka air mata dengan selendangnya. Sebab menurutnya tidaklah pantas bagi
seorang pendekar seperti dirinya menangis meratapi kesedihan tanpa ambil tindakan. Apalagi ini menyangkut ancaman bagi negri maka sudah seharusnya apabila Ia ikut menjaga kedaulatan negri sebagaimana Ayahnya yang telah gugur demi negri.

Begitulah perang yang hanya melahirkan dendam yang menyulut permusuhan berkepanjangan. Ibarat pepatah kalah jadi abu menang jadi arang. Tapi perang akan selalu hadir selama ada ambisi manusia. Seperti ungkapan para ksatria Punjul di juritan Jaya di Bhuana yang artinya unggul perang maka berjaya di dunia. Bahkan para pendekar dunia persilatan berkata "Hidup adalah dunia persilatan, di mana ada manusia di situ ada pertentangan". Untuk itu tidaklah dapat dipungkiri jika perang adalah suatu keniscayaan di dalam kehidupan. Karena manusia cenderung saling berebut kuasa. Bangsa-bangsa akan selalu bersaing berebut kuasa, semua menginginkan kuasa.

Darah NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang