Episode 15

198 5 0
                                    

Pangeran Dharma Wirapaksi mengamati pertempuran sengit yang berlangsung dari atas panggungan utama. Hatinya gusar melihat pihaknya telah terdesak. Formasi pasukanya dapat dengan mudah dihancurkan strategi pihak musuh sehingga banyak sekali korban jiwa yang jatuh di pihaknya.

"Keparat, tidak akan kubiarkan kalian menggagalkan kebangkitan Bangsa Salakabentar!"

Pangeran Dharma Wirapaksi yang geram menyaksikan pihaknya yang terdesak memutuskan untuk turun tangan langsung ke pertempuran. Ia turun dari atas panggungan utama dan memanggil para Hulu jurit.

" Persiapkan diri kalian, kita akan bertempur dengan seluruh kekuatan yang tersisa!". Kata Pangeran Dharma Wirapaksi di hadapan para Hulu jurit.
"Sumuhun dawuh Gusti!". Jawab para Hulu jurit serempak.

Balatentara Medang Kahirupan semakin merangsek mendekati benteng. Pergerakan pasukan mereka sulit untuk dihalau.

Sementara Senapati Salakabentar dan Senapati Rajendrapati masih bertempur satu lawan satu dengan sengit. Keduanya masih sama-sama tangguh sehingga belum ada satupun dari mereka yang terdesak. Senjata pusaka yang telah dialiri oleh kekuatan sakti telah dipergunakan oleh kedua Senapati itu.

Keris milik Senapati Salakabentar dikobari api yang merah menyala. Sementara Keris milik Senapati Rajendrapati diselimuti oleh oleh cahaya putih terang yang menyilaukan. Atmosfer di sekitaran mereka terasa begitu panas sehingga para prajurit menjauh dari sekitaran mereka. Senapati Salakabentar sebetulnya telah mengakui keunggulan kesaktian yang dimiliki oleh lawanya. Namun dirinya tetap melakukan perlawanan sengit tanpa kenal menyerah sehingga masih mampu mengimbangi kehebatan lawan.

Kelincahan dan ketangkasan fisik mereka sebetulnya seimbang namun kesaktian yang dimiliki oleh Senapati Rajendrapati jauh lebih unggul. Tubuh mereka sama-sama belum mampu dilukai, keris sakti terus berbenturan memercikan kilatan-kilatan yang berdentum menggelegar akibat benturan daya kekuatan sakti yang terkandung di dalam senjata mereka.

Senapati Rajendrapati akhirnya mengerahkan tataran puncak kesaktian yang dimilikinya begitu pula dengan lawanya. Sampai ketika senjata mereka berbenturan kembali maka terjadilah gelegar dahsyat disertai gelombang kekuatan sakti yang tampak berupa cahaya menyilaukan. Kedua Senapati sama-sama terpentalkan ke belakang hingga jatuh berguling-guling.

Senapati Rajendrapati bangkit kembali dan bersila mengatur nafas mengerahkan tenaga dalam untuk memulihkan kondisi tubuhnya. Keris di tangan kanannya masih digenggamnya dengan erat.

Keadaan Senapati Salakabentar jauh berbeda. Ia terluka dalam sampai memuntahkan darah. Kerisnya telah patah dan hilang daya kesaktianya. Ia memaksakan diri untuk berdiri walaupun itu sulit. Tatkala Ia berdiri ternyata hanya mampu bertahan sebentar kemudian terjatuh kembali. Tubuhnya benar-benar sudah tidak berdaya, Ia terkapar lemah.

"Bunuh... Bunuhlah aku Ksatria Medang. Berilah aku kebanggaan dengan mati di tanganmu!"

Itulah yang dikatakan oleh Senapati Salakabentar ketika Ia melihat Senapati Rajendrapati menghampirinya. Keadaannya yang sudah tidak berdaya membuat Senapati Rajendrapati merasa kasihan juga.

" Kau hanya berjuang untuk bangsamu sehingga layak mati secara terhormat sebagai seorang pahlawan!". Kata Senapati Rajendrapati sambil berlutut di dekat lawanya yang sudah tidak berdaya itu.

"Selamat jalan ke Nirwana, teman!" Kata Senapati Rajendrapati selanjutnya.

Senapati Salakabentar sempat tersenyum sebelum Senapati Rajendrapati menikamkan keris pusaka ke dadanya tepat di bagian jantung. Sehingga seketika itu juga Ia tewas.

"Senapati Salakabentar pejah (tewas)!"

Teriak para prajurit Medang Kahirupan dengan penuh kegembiraan. Lain halnya dengan Senapati Rajendrapati yang termenung di dekat layon (mayat) lawanya.

"Kami memperjuangkan apa yang benar menurut yang kami yakini, di kehidupan ini mungkin kami adalah lawan di kehidupan lain mungkin kami bersaudara!" Bisik Senapati Rajendrapati di dalam hatinya.

Kematian Senapati perang utama membuat para prajurit Salakabentar kehilangan semangat tempur. Sehingga kekuatan balatentara Salakabentar semakin lemah.

Terompet Sangkakala yang di tiup dari pihak Salakabentar, berbunyi keras. Itu merupakan pertanda bagi para prajurit Salakabentar yang sedang bertempur untuk mundur ke benteng pertahanan. Para prajurit penghadang Salakabentarpun mundur.

Pintu gerbang benteng yang tebal dibuka dari dalam yang secara otomatis berfungsi menjadi jembatan penyebrangan. Karena sekeliling benteng adalah parit yang lebar dan dalam dan ditancapi bambu-bambu runcing sehingga satu-satunya cara paling aman untuk masuk ke dalam benteng adalah melalui jembatan benteng.

Para prajurit Salakabentar berhamburan masuk melalui jembatan gerbang. Balatentara Medang Kahirupan mengejar, namun tatkala balatentara Medang mendekat jembatan gerbang segera di tutup. Sehingga gerak maju balatentara Medang tertahan.

Benteng pertahanan Salakabentar telah terkepung rapat dari segala penjuru. Namun gerak maju pasukan Medang terhadang parit lebar dan dalam yang mengelilingi benteng. Sementara para prajurit Salakabentar yang berada di atas benteng melontarkan batu-batu besar ke arah balatentara Medang Kahirupan dengan menggunakan ketapel-ketapel pelontar raksasa. Hujan batu besar menimpa balatentara Medang yang membuat mereka kalang kabut.

Tapi serangan itu tidak berlangsung lama, karena para prajurit pelontar batu secara mendadak diserang oleh pasukan Vimana dari udara. Ratusan Vimana berseliweran di udara dan menembakan anak-anak panah guntur yang melesatan begitu cepat. Prajurit - prajurit Salakabentar berjatuhan dengan kondisi tubuh yang terbakar mengenaskan akibat terkena terkena anak-anak panah guntur yang mematikan.

Pangeran Dharma Wirapaksi tidak pernah menduga akan adanya serangan dari udara. Sebab dahulu pada saat Medang Kahirupan menyerang tidak ada pengerahan pasukan udara seperti saat ini. Sehingga Sang Pangeran tidak sempat memikirkan cara bagaimana mengantisipasi serangan yang datang dari udara.

Serangan pasukan udara benar-benar membuat musuh kewalahan. Pesawat-pesawat Vimana berseliweran memburu sasarannya. Para prajurit Salakabentar melakukan perlawanan dengan bidikan anak - anak panah namun perlawanan mereka hanya sia-sia. Pasukan Vimana bagaikan sepasukan rajawali yang sedang berburu mangsa.

"Ayo kita bumi hanguskan sarang mereka!". Teriak Patih Anggadaseta dari atas Vimananya.

Pasukan Vimanapun menembakan anak-anak panah guntur ke bangunan-bangunan yang rata-rata berbahan kayu. Apipun mulai menjalar membakar bangunan-bangunan itu. Tidak perlu waktu lama, kebakaran hebat terjadi. Karena api cepat sekali membesar akibat dari terpaan angin yang sedang kencang.

Darah NagaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang