Aldwin Javier

76.4K 3.7K 89
                                    

"Aldwin, bagaimana target yang aku kirimkan kemarin padamu?" tanya sebuah suara melalui sambungan telepon tersebut.

"Beres, Pa. Sudah Aldwin eksekusi," balas pria itu tenang. Pria di seberang telepon tertawa keras sementara Aldwin hanya terdiam di ruangannya.

"Kamu memang kebanggaanku, Son. Good, good. Nanti malam makan malam disini, ya. Papa tunggu kehadiran kamu"

Sambungan telepon itu pun terputus sebelum Aldwin sempat membalas. Aldwin hanya menatap datar pada dinding di hadapannya. Membunuh merupakan hidupnya. Entah sudah berapa tahun ia habiskan dengan membunuh, membunuh, dan membunuh. Aldwin merasa hati nuraninya sudah mati.

Awalnya, dia masih bergetar jika menembakkan peluru dari pistolnya. Dirinya yang dulu masih mual tiap kali melihat darah yang banyak. Juga masih mengeluarkan air mata saat dirinya terkena peluru atau goresan pisau sebagai ekspresi dari rasa sakitnya. Namun sekarang, dia membunuh manusia layaknya menepok lalat. Tanpa perasaan. Tarik pelatuknya, selesai. Darah bukan hal baru baginya. Entah sudah berapa nyawa yang habis di tangannya. Baik secara langsung, ataupun tidak langsung. Luka karena tertembak maupun bekas luka gores pun tak terhitung di tubuhnya.

Pintu kerjanya diketuk.

"Masuk," katanya.

Rico, seorang anak buahnya masuk membawa map cokelat.

"Win, ini data-data target selanjutnya. Berikut kebiasaannya dan jam-jam keluarnya," kata Rico seraya menyerahkan map tersebut. Aldwin tidak pernah suka saat anak buahnya memanggilnya "bos" ataupun "pak" seperti yang mereka lakukan pada papanya. Mereka memanggil Aldwin dengan nama. Selain menjadi anak buah, mereka juga menjadi teman bagi Aldwin. Mungkin Aldwin berhati dingin dan tidak lagi memiliki nurani, namun anak buahnya tau Aldwin peduli pada mereka. Aldwin memperlakukan mereka seperti keluarga sendiri tanpa dia sadari.

"Menurutmu bagaimana cara eksekusi yang baik untuk keluarga ini? Pisau atau pistol? Cara cepat atau lambat?" tanya Aldwin seraya melihat informasi yang sudah dikumpulkan Rico dan anak buah lainnya.

"Mereka cukup pintar, rumahnya juga dilengkapi CCTV dan banyak pengawal. Sulit untuk menerapkan cara lambat ataupun dengan pisau."

Aldwin mengangguk angguk.

"Aku setuju denganmu. Baik, besok kita lakukan ini."

"Oke, Win. Aku keluar dulu."

Aldwin mengangguk dan mempersilahkan Rico keluar dari ruangannya. Setelah itu, Aldwin menghembuskan nafas keras dan berdiri. Dia sudah tau motif papanya memintanya datang. Akhir-akhir ini, papanya begitu cerewet mengenai kehidupan pribadi Aldwin. Papanya tidak lelah mengenalkan Aldwin dengan wanita-wanita aneh. Ada yang penari telanjang, ada yang pelayan bar, hingga pelacur sekalipun semua pernah papanya kenalkan padanya. Aldwin selalu menolak, dan Aldwin yakin setelah dia menolak wanita itu pasti tidur dengan papanya. Jika dirinya adalah penjahat, papanya adalah penjahat dan bajingan sejati. Pembunuh, gila harta, gila wanita. Lengkap sudah.

Aldwin pun memutuskan untuk mandi. Saat berkaca, ia mengamati dirinya sendiri di kaca. Dada kokohnya dipenuhi tato dan bekas-bekas luka. Di perutnya yang berbentuk kotak-kotak juga terdapat sebuah bekas luka memanjang berbentuk diagonal. Kedua lengan kokohnya juga dipenuhi banyak tato. Sekali melihat, seluruh makhluk baik perempuan maupun pria pasti segera mengetahui bahwa Aldwin berbahaya.

Aldwin menghela nafasnya dan mulai mengenakan kemeja hitam polos yang melekat pas pada tubuhnya dipadukan celana jeans gelap. Aldwin kemudian mengeluarkan ponselnya dan menghubungi salah satu anak buahnya.

"Jay, kamu sibuk?"

"...."

"Bisa antar aku ke rumah papa?"

Gone Baby, Gone (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang