EPILOG

85.9K 3.9K 187
                                    

       

Kim menyenderkan tubuhnya di pintu taman rumahnya seraya melipat tangannya. Tanpa sadar, bibirnya melengkung indah membentuk senyum yang rasanya tidak akan habis saat menyaksikan pemandangan di depannya.

Aldwin, Aldwinnya, sedang bermain dengan putri kecil mereka yang sebentar lagi berusia 6 tahun. Tampaknya Aldwin selalu tidak terima pada penambahan umur putri mereka, Helenna Jane Javier. Setiap ulang tahun Jane, Aldwin seringkali memeluk Kim malam hari dengan raut gelisah. Alasannya simple, Aldwin merasa Jane tumbuh terlalu cepat dan tidak lama lagi akan menikah dengan pria pilihannya. Kim tidak tau harus marah atau menangis saat mendengarnya. Demi Tuhan, umur Jane bahkan belum mencapai 17 tahun!

"Papa, berhenti! Geli, pa!" teriakan Jane yang dicampur gelak tawa menjadi pemandangan Kim hampir setiap hari. Begitu Jane lahir, Aldwin semakin giat terjun dalam dunia bisnis agar dapat memberi kehidupan layak bagi dirinya dan Jane. Lihat saja rumah yang ditinggali mereka sekarang. Minimalis, dan begitu indah. Kim ingat saat dirinya bersikeras meminta Aldwin untuk tidak membeli rumah ini, namun Aldwin berkata rumah ini akan sangat cocok bagi keluarga kecil mereka. Rumah baru mereka hanya 1 lantai, namun luas dengan taman dan kolam renang di halaman belakang.

"Makanya, berhenti jahili papa," kata Aldwin seraya memeluk Jane.

"Aku sudah besar, papa. Jangan cium cium aku lagi," kata Jane saat Aldwin menghadiahi Jane dengan puluhan ciuman di seluruh wajah mungilnya. Aldwin memandang Jane garang.

"Kamu akan selamanya jadi putri kecil papa. Get it?"

Jane menggeleng, membuat Aldwin semakin bersemangat dalam mengerjai putri kesayangannya itu.

"Ayo, Jane, akui, kamu putri kecil papa," Aldwin masih memaksa Jane.

"Aku akan meninggalkan papa dan menikah suatu hari nanti!" teriak Jane dicampur tawa. Tawa Kim meledak pada akhirnya, tidak sanggup menyaksikan sikap kekanakan Aldwin pada putri mereka. Keduanya menatap Kim, menyadari kehadiran Kim. Kim pun berjalan mendekati mereka dan mengulurkan tangannya agar Jane masuk dalam pelukannya.

Begitu Jane berlari dan memeluknya, Kim mengelus rambutnya lembut.

"Kamu isengin papa kaya gitu, ga tau setiap malam papa galau mikirin," tegur Kim. Kim tidak tega juga dengan Aldwin, karena sejak memiliki anak pria itu menjadi sensitive dan mudah terbawa perasaan. Kim bahkan lupa Aldwin adalah mantan pembunuh dengan sifatnya sekarang.

"Iya, iya. I love you, papa," kata Jane kemudian kembali pada Aldwin dan mencium Aldwin. Aldwin tersenyum, kemudian mendekap putri kecilnya erat.

"Pa, let me go! Aku udah dijemput itu sama Oma dan Opa," kata Jane saat Aldwin tidak mau melepaskan pelukannya.

"Really? Kok Oma Opa datang cepet banget?"gerutu Aldwin.

Kim memutar bola matanya.

"It's 12, Win. Emang janjinya jam segitu."

Aldwin pun melepas pelukannya pada Jane, dan Jane segera berlari memasuki rumah untuk menyambut oma dan opanya.

"Dia terlihat lebih menyayangi oma opanya daripada aku," kata Aldwin seraya menghampiri Kim.

"Omong kosong. Dia mengidolakanmu," balas Kim seraya mengelus rahang Aldwin. Entah, cinta Kim untuk pria ini masih menggebu-gebu, tampaknya tidak akan habis. Setiap harinya selalu sama, Kim dipenuhi rasa cinta yang mendalam untuk Aldwin.

"Dia akan meninggalkanku suatu saat nanti," desah Aldwin. Kim mendengus.

Aldwin kemudian mengelus perut Kim yang membuncit penuh sayang.

"Semoga dia nantinya lebih menyayangiku," kata Aldwin. Kim memukul lengan Aldwin pelan.

"Belum puas kamu monopoli Jane dariku?" gerutu Kim. Roy dan May memasuki taman mereka, kemudian mendengus saat mendapati Kim dan Aldwin bermesraan.

"Kami bahkan belum benar-benar pergi, dan kalian tidak bisa menunggu untuk bermesraan," sindir Roy. Kim merona malu, disaat Aldwin tampaknya tidak peduli. Ah, sepertinya Kim lupa bercerita. Takdir memang lucu. Ketika pernikahan mereka dilaksanakan dan Roy bertemu Tante May pertama kalinya, mereka segera jatuh cinta pada pandangan pertama. Kim tentu kaget saat Tante May bercerita Roy mengajaknya kencan dengan wajah yang memerah, namun Kim juga bahagia karena akhirnya Tante May mendapatkan kebahagiaannya.

"Sudah, tidak perlu antar ke depan. Kalian disini saja, lanjutkan mesra-mesraannya. Kami ijin bawa Jane dulu ya," kata Tante May, mencegah Roy untuk mengejek lebih jauh.

"Jaga Jane baik-baik. Jangan berikan dia es krim dan makanan manis lain terlalu banyak. Makanan berminyak juga jangan, apalagi micin. Jangan biarkan Jane terpapar sinar matahari terlalu lama," kata Aldwin. Roy mendengus.

"Kadang papa berpikir kamulah ibunya, bukan Kim."

Setelah basa-basi singkat, merekapun segera pergi. Mereka memang ingin membawa Jane jalan-jalan ke Taman Safari dan baru kembali esok hari. Aldwin tentu keberatan pada awalnya, namun Kim memaksanya untuk mengijinkannya karena Jane sangat ingin menghabiskan waktu dengan oma opanya.

"Sekarang, tinggal kita berdua," kata Aldwin seraya menghirup aroma Kim melalui lehernya. Kim, yang pada kehamilan keduanya lebih sensitive, mendesah pelan.

"Aku suka kamu yang seperti ini," kata Aldwin, membuat Kim merona malu. Aldwin kemudian berdiri, dan menggendong Kim ke kamar.

"Kamu harus isitirahat," kata Aldwin.

"Win, aku ga cape."

"Kim, demi kandungan kamu."

Astaga, Kim kembali kesal. Kehamilan keduanya, Aldwin menjaganya seperti orang sakit. Aldwin mencari tau segala hal mengenai kehamilan, berkonsultasi dengan dokter, mengikuti kelas ayah siaga, dan sebagainya. Aldwin menjadi sangat sangat cerewet dan mengatur Kim dari pola makan, tidur, aktivitas. Melihat raut kesal Kim, Aldwin memasang raut wajah bersalah dan mendekat pada Kim. Aldwin mengecup kening Kim singkat, kemudian mengelus rambut Kim sayang.

"Kamu tau, aku ingin menebus kesalahanku dulu Kim. Kamu melalui masa kehamilan pertamamu sendirian sebagian besar. Mual sendirian, mengurusi diri sendiri, tanpa aku. Aku ingin memanjakanmu di kehamilan kedua ini, please? Sorry kalo aku membuat kamu kesal. But I love you so much, Kim, too much, dan anak kita yang ada di sini," Aldwin menyentuh perut Kim.

Kim selalu dipenuhi rasa bersalah tiap kali Aldwin berbicara pelan dengannya. Emosi Kim memang naik turun, hingga sering kali mudah marah dan sulit mengerti posisi Aldwin.

"Setiap kali aku melihat Jane, aku dilanda perasaan bersalah yang begitu besar Kim. Bagaimana bisa dulu aku menolak kehadirannya begitu keras. Aku tidak bisa membayangkan jika kamu menurutiku untuk... untuk...." Aldwin kesulitan meneruskan perkataannya karena tidak sampai hati mengucap kata "menggugurkan". Maka Kim menghentikannya.

"I know, Win, I know. Tapi kamu udah tebus itu dengan jadi papa yang luar biasa untuk Jane. She adores you, so much, and so do I. You're the best husband and dad that I've ever met, Win," kata Kim. Aldwin tersenyum, kemudian mengecup bibir merah Kim yang sedari tadi menggodanya.

Seperti biasa, sekali kecupan tidak akan cukup. Dua kali, tiga kali, empat kali, sebelum kecupan berubah menjadi lumatan. Kim membalasnya senang hati.

"Thank you Kim," kata Aldwin di sela kegiatannya melepas busana pada tubuh Kim. Kim sendiri mulai kehilangan fokus saat melihat dada telanjang Aldwin.

"For what?" kata Kim disela desahannya.

"Untuk datang dan melengkapiku."

END

HEHE SUDAH YA EPILOG NYA. Aku sudah ga punya hutang lagi untuk Gone Baby, Gone. Sorry lama, semester 5 ini sangat kacauuu. Aku harus buat laporan 3 seminggu, ditambah tugas lain dan kuis-kuis serta kepanitiaan *sigh*

Once again terima kasih karena sudah mengikuti Gone Baby, Gone sedari awal. Mengetahui imajinasiku dinikmati orang itu bener-bener menyenangkan hehe. Yuk, pindah ke lapak Memories HEHE *promosi terus*. Jangan lupa dibaca ya cerita baruku itu ;;)

Gone Baby, Gone (completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang