"Waktu habis, siap gak siap kumpul!"
"Anjir belom selesai!" Hanbin menoleh ke sampingnya meminta bala bantuan, "Yo, nomor 10 apaan?"
"Lo mau jawaban gue?" tanya Yoyo dengan wajah polos. Sedetik kemudian Hanbin menggeleng pasrah.
Jelas aja seperti biasa, Yoyo paling hanya menjawab asal-asalan. Peduli soal nilai aja udah keajaiban Tuhan buat dia. Beda dengan Hanbin. Doi bahkan udah belajar dari semalaman. Sialnya, dia malah salah belajar.
Wong ujiannya Matematika dia belajar Bahasa Inggris.
Ya mampus.
"Ssst! Uy..." kali ini Hanbin menendang pelan kursi di depannya dari bawah meja, biar enggak kedengaran guru.
Si penghuni meja depan menoleh malas, "Apa?"
"Sepuluh dong, he he he"
"Limit 3."
Hanbin cengo'. Gimana? Gimana?
"Caranya sekalian dong, Cantik." ulang Hanbin.
"JENNIE PRATIWI! HANBIN PRATAMA! JANGAN DISKUSI! KUMPULKAN SEKARANG LEMBAR JAWABANNYA."
Kedua remaja itu menciut. Buru-buru Jennie melempar kertas buramnya ke meja Hanbin. Cowok itu membuka kertasnya terus menyipitkan mata enggak paham.
"Ini apaan? Mulai darimana?" cicitnya bikin Jennie jengah.
"Ribet ah. Kerjain sendiri sono!" Hardik Jennie akhirnya lalu berdiri untuk menumpuk lembar jawabannya.
"Weehh tungguin--"
"AHMAD HANBIN PRATAMA! KUMPULKAN LEMBAR JAWABANMU SEKARANG ATAU SAYA ROBEK."
"Ah... sial..." maki Hanbin nelangsa.
+-+-+
Hanbin menelusuri kantin sekolah dalam langkah besar. Ekor matanya menjelajah cepat menyapu seluruh sudut diruangan itu. Tak berapa lama akhirnya sosok incarannya muncul juga dipermukaan, tanpa basa-basi lelaki itu segera menuju tempat tersebut.
BRAK!
Seisi kantin menoleh kaget karena suara gebrakan meja yang dibuat oleh Hanbin. Tak terkecuali juga seorang gadis di meja tersebut.
"Lo gila?" kesal Jennie sambil mengelap bajunya dengan tisu karena tertumpah kuah soto akibat perilaku Hanbin beberapa detik yang lalu.
"Tega lo ninggalin gue di tengah ujian kayak tadi!"
Beberapa pasang mata melihat ke arah mereka, "Alamat perang dunia tiga tuh"
Jennie melirik tajam lelaki yang masih terlihat marah padanya itu. Definisi dikasih minta jantung banget nih bocah, batin Jennie.
"Heh cot. Udah untung gue kasih jawaban ya lo. Tinggal nyalin doang apa susahnya sih."
"Heh ler. Lo ngasih jawaban kayak lukisan abstrak. Ga jelas yang mana awal yang mana akhir."
"Enggak ada makasihnya ya lo." balas Jennie.
"Emang dasar lo nya aja yang gak setia kawan. Kecewa gue, gitu namanya temen?"
Jennie seketika menegang ditempatnya mendengar ucapan Hanbin. Beberapa orang yang melihat keributan mereka di kantin mulai berbisik-bisik. Membuat Jennie gak nyaman.
"Emang mereka temenan?"
"Tauk gua. Bukannya musuh bebuyutan?"
"Sejak kapan temenan woy?"
"Telinga gue yang salah apa gimana?"
Brak!
Jennie mendorong kursi dibelakangnya lalu bangkit mensejajarkan posisi dengan Hanbin. Matanya memandang Lelaki itu tajam,
"Perlu lo catet ya, Bin. Gue gak pernah nganggap lo sebagai teman."
Gantian Hanbin yang mematung ditempatnya. Jawaban dingin Jennie seolah menampar keras kesadarannya. Tangannya menahan gadis itu perlahan sebelum Jennie beranjak pergi. Dengan sedikit bergetar Hanbin melontarkan kata yang selama ini ditahannya dalam hati.
"Lo keterlaluan, Jen."
+-+-+
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Partner in Lies
FanfictionTrauma masa lalu membuat Jennie memilih untuk merahasiakan pertemanannya dengan Hanbin di sekolah. Jennie pikir ia bisa melewati keadaan ini sampai mereka lulus. Namun, kembalinya Hayi justru serta merta menghancurkan dinding pertahanannya. Apa yan...