Jennie membenturkan kepalanya ke tiang net voli di sudut ruangan. Pelipisnya terasa pedih. Jennie hanya bisa meringis melihat setetes darah mengenai jarinya yang digunakan untuk menyentuh daerah itu.
"Bangun!" bentak seseorang.
Belum sempat Jennie memberi respon, lengan orang itu sudah lebih dulu mencengkram seragamnya. Mengangkat tubuh Jennie secara paksa lalu mengguncangnya kasar.
"Heh udah berapa kali gue bilang, jauhi Hanbin! Lo ngeyel banget ya. Mentang tetanggaan, mentang temen dari kecil gitu kemana-mana ngekorin mulu. Lo tuh ganggu banget tau gak?!"
PLAK
Satu tamparan mendarat sempurna membuat Jennie sukses tersungkur ke atas lantai. Jennie mengangkat wajahnya lalu menantang manik orang yang kini sengaja jongkok di depannya. Tangan orang itu sekarang tengah menjambak rambut Jennie lalu memaksa Jennie mendongak padanya.
"Berani juga lo melototin gue."
"Psiko lo." balas Jennie.
Orang itu menyeringai sekilas lalu menyentak jambakannya tadi. Membuat beberapa helai rambut Jennie berjatuhan.
"Harusnya lo gak nyolot. Gue jadi makin pengen ngancurin lo."
Jennie menoleh saat benda tajam terasa menggesek pipinya. Dan orang itu, wanita gila dibalik kejadian itu kembali menyeringai. Kali ini seringaiannya terlihat menakutkan.
BRAK!
"BRENGSEK!"
Pupil Jennie menyipit menerima cahaya yang tiba-tiba menyeruak masuk. Meski tidak dapat melihat jelas. Namun Jennie tau bahwa pisau itu sudah tidak lagi mengiris wajahnya.
"Jen! Jen! Lo gapapa?"
Jennie hanya tersenyum dan setelah itu ia tak sadarkan diri di pelukan Hanbin.
÷÷÷
"Pilihlah."
Hanbin menatap kosong kedua surat di meja depannya. Seorang lelaki paruh baya bersidekap di hadapan Hanbin lalu menghela napas.
"Kenapa harus Jennie?" kata Hanbin.
"Kamu tau kan pelaku dan korban tidak boleh berada dalam lingkungan yang sama. Untuk menghindari hal ini terjadi lagi, jadi kamu harus membuat pilihan. Bagaimana pun, Hanbin, kamu adalah pelakunya."
"Bukan saya! Bapak tau sendiri siapa pelakunya! Jennie korban dan tidak adil menghukumnya seperti ini! Dia bahkan terluka karena--"
"AHMAD HANBIN PRATAMA!" Lelaki itu membentaknya lalu memegang kedua bahu Hanbin kuat, "Disini posisi kamu bukanlah yang berhak menyanggah. Kamu harusnya tau diri. Anak itu bukan lawan yang sebanding dengan kalian. Jadi tolong hentikan saja."
Hanbin mengepalkan tangannya, menahan emosi yang rasanya ingin meledak saat ini. Kalau saja lelaki itu bukan kepala sekolahnya, ia pasti sudah menghajar pak tua ini tanpa ampun.
"Kamu tinggal pilih: pindah sekolah atau Jennie Pratiwi yang di keluarkan."
"Shit!"
"HANBIN!"
Grep!
Hanbin merampas surat di atas meja itu dalam sekali sentakan,
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔️] Partner in Lies
FanfictionTrauma masa lalu membuat Jennie memilih untuk merahasiakan pertemanannya dengan Hanbin di sekolah. Jennie pikir ia bisa melewati keadaan ini sampai mereka lulus. Namun, kembalinya Hayi justru serta merta menghancurkan dinding pertahanannya. Apa yan...