16. PENGAKUAN

104 9 0
                                    

Baik Nindi dan Astri tidak berani berkomentar apapun, biarlah kedua orang itu menyelesaikan masalahnya sendiri. Mereka sudah dewasa, sudah bisa memutuskan mana yang terbaik untuk mereka.

Kemarahan Tasya semakin menjadi, Sari tahu itu, yang belum dia paham kenapa Tasya bisa semarah itu padanya. Apakah dia dijadikan pelampiasan akan kemarahannya kepada Nico?

Perlakuan Nico waktu itu juga menambah kebingungan Sari, mata itu, Sari ingat bagaimana cara Nico memandangnya. Kalimat terakhir yang diucapkan Nico pun membuat Sari ambigu.

***

Sudah hampir dua hari Nico hanya bisa memandangi Sari dari kejauhan ini. Di depan kelasnya yang berada dilantai dua dan tepat menghadap kelas Sari, dia memandangi objek kecil itu.

Setelah pengakuannya terhadap Tasya ditambah dengan kejadian waktu itu Nico sadar, dirinya telah menempatkan Sari diposisi yang sulit. Nico tahu bahwa Tasya menjauhi Sari karenanya, tapi Sari tidak tahu apa sebabnya.

Nico berusaha berbicara sebaik mungkin dengan Tasya sejak itu, tapi selalu nihil. Tasya sangat sulit ditemui, Tasya menjauhinya begitupula dengan Sari.

"Hah..." Nico menghembuskan nafasnya kuat. Dirinya tidak bisa menunggu, dirinya tidak mungkin membiarkan Sari bingung. Dia harus mengambil keputusan hari ini.

***

"Sar, gue mau ngomong bentar." dihadangnya Sari tepat di depan ruang PMR yang saat itu sedang ramai.

"Udah mau bel, Co." tolaknya halus. Sari tak ingin Tasya salah paham lagi, terlebih lagi banyak pasang mata yang sedang memperhatikan mereka. Sari risih.

"Bentar aja, please." mohonnya sambil menuntun Sari ke teras.

"Maafin gue karena gue pura-pura buta," Nico mengatur nafasnya. "gue tau lo lagi perang dingin sama Tasya, dan itu karena gue. Karena pengakuan gue ke Tasya sabtu itu." Nico kembali mengatur nafasnya, sesekali dia menyeka keringat dikeningnya. Nico sangat gugup. Sari tak mengerti apa yang ingin Nico sampaikan.

"Pengakuan? Tentang apa?" Sari mengerutkan kening.

"Tentang...tentang...mmm."

Bel yang berbunyi nyaring membuat Nico terkejut. Dia semakin gugup.

"Tentang pengakuan dia ke gue. Dia suka gue, tapi gue gak mau bohong. Gue gak ada perasaan lebih ke dia," perlahan Nico menarik tangan Sari dan menggenggamnya, "tapi yang gue bilang kemarin Sar, udah ada satu nama cewek dihati gue, gue sayang dia Sar, dan dia itu elo, Sar!" genggaman Nico terasa menyakitkan bagi Sari. Sari tak berkomentar, dia manatap datar cowok dihadapannya.

"Sar?"

"Sorry Co, udah bel dari tadi. Gue masuk kelas dulu. Gak enak juga jadi pusat perhatian gini, gue risih." ujarnya sambil melepaskan genggaman Nico.

Nico hanya mengangguk menyetujui keputusan Sari.

"Sorry, Sar." lanjut Nico tertunduk.

Langkah Sari terhenti, bukan karena permintaan maaf Nico namun di sana dihadapannya kini tepat di ambang pintu Tasya menatap mereka penuh benci. 

Sadar ucapannya tak terjawab, Nico mengangkat kepalanya dan dilihatnya Tasya menatap Sari tepat dimanik mata.

"Sya?" seperti terhipnotis Sari tidak bergerak dari tempatnya kini, begitupun dengan Tasya, dia hanya bisa menatap keduanya datar. Pikirannya melayang entah kemana, apa yang dia dengar tadi? Pengakuan Nico?

Tak lama Nico beranjak dari tempatnya menghampiri Sari.

"Sya." suara berat Nico membuat Tasya sadar dari lamunannya.

"Ternyata lo serius Nic?" seperti tercekat Tasya tak sadar dengan pertanyaannya.

"Gue serius Sya, gue gak pernah main-main."

Ya memang, berteman dengan Nico dari awal masuk SMA membuat Tasya tahu, Nico tak pernah main-main dengan keputusannya.

"Kenapa harus dia Nic? Kenapa Sari, sahabat gue?" ucapnya bergetar.

"Gue gak tau Sya, gue merasa nyaman. Gue lebih baik dari sebelumnya, iya kan? Lo setuju kan?"

Penjelasan Nico membuat Tasya mengingat kejadian awal mereka bertemu. 

Tasya menatap Sari, "Sar, gue tanya sama lo. Apa lo suka sama Nico?" tanya Tasya tegas. Sari gugup, dia mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Nihil, hatinya tak bersuara sama sekali. "Sar!?" tegur Tasya membuyarkan lamunan Sari.

Nico menggenggam tangan Sari tepat di hadapan Tasya, melihat itu Tasya tersenyum sinis.

"Udah lah Sar, lo gak usah pura-pura lagi. Gue tau kok lo juga suka Nico kan!?"

Sari hanya bisa menggeleng lesu.

"Kalo bukan suka terus namanya apa? Memanfaatkan? Apa lo cuma nganggep Nico supir lo? Kurir lo? Atau tembok buat lo bersandar kalo lagi galau?" cecar Tasya.

Sari tak bisa berucap, dia tidak pernah berfikir seperti itu, jujur dia hanya nyaman berada didekat Nico.

"Lo liat kan Nic, dia gak bisa ngomong kan. Lo suka sama cewek yang cuma manfaatin lo aja? Lo bego!" ujarnya lagi.

"Iya gue emang bego. Terserah lo mau cap gue cowok bego atau cowok gak tau diri. Bebas." satu kalimat yang mampu membuat Tasya terdiam. Sari menatapnya.

Digenggamnya tangan Sari erat, dia sudah tidak peduli lagi dengan perasaan Tasya, dia hanya peduli dengan dirinya sendiri. Untuk kali ini saja dia harus bersikap egois.

"Gue suka dia manfaatin gue, dia yang bikin gue berharga, gue suka dia karena dia butuh gue." dilihatnya Nico berusaha menahan emosi.

Dia tetap menggenggam tangan Sari erat, genggaman itu terasa panas namun Sari tak mau bohong dia suka saat Nico berkata seperti itu. Tasya kehabisan kata-kata, dia hanya tersenyum sinis pada dua orang dihadapannya, terlebih kepada Sari.

Saat dilihatnya Tasya beranjak memasuki kelas, Sari segera melepas genggaman Nico.

"Gue masuk kelas dulu. Sebaiknya lo juga." tertunduk Sari berucap tanpa bisa memandang Nico. Sebelum beranjak Sari tersenyum hambar kearahnya. Nico hanya bisa menghela nafas.

TERAS (Tentang Ego dan Rahasia Anak SMA)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang