Day 20 : Arjuna Dan Bima Untuk Drupadi Yang Terlahir Kembali

1.7K 302 207
                                    

🌸

🎶 BTS – DNA


Hitam dan putih, benar dan salah, yin dan yang. Hanya sebatas itu pemikiran yang dimiliki oleh seorang Akbar Givari. Baginya, ada begitu banyak abu-abu dan warna-warna lain yang bisa dijadikan pilihan─sayangnya, Abay hanya mau berputar pada hitam dan putih saja─meskipun ia tahu, terkadang hidup ini akan mengalami fase abu-abunya tersendiri.

Abay sendiri selalu berpegang pada ideologinya yang dianggap paling idealis dan dinamis daripada teman-teman sebayanya. Abay tidak pernah berlagak borjuis atau paling tidak sok liberal dalam menjanjikan apapun─layaknya kebanyakan kawan yang ia miliki.

Hitam dan putih, benar dan salah, selalu ia jadikan pedoman. Ia tidak pernah mau untuk mengumbar janji─karena janji-janji seperti itu pada akhirnya tidak akan terealisasi sebab terlalu banyak yang dituntut. Taik!

Selalu dan selamanya, ataupun hal-hal picisan seperti itu selalu Abay hindari, karena ia tahu bahwa ekstase kadang-kadang membawa diri jauh melayang di langit dan menginjak cita-cita dengan tepat─padahal sebenarnya itu hanya lebih kepada ekpektasi tinggi yang jauh dari realisme, singkat kata lupa diri.

Halah penuh bangsat sekali apa yang ia ucapkan. Acap kali ia berpikir bahwa dunia hanya berputar pada dirinya sendiri karena orang lain tidak akan mengerti tentang dirinya─kecuali Ayah, Bunda, Nesya, Aidan, dan sekarang Lina tentu juga Rafa.

Kini asap rokok mengepul tinggi-tinggi; membentuk pola melingkar-lingkar lalu berdifusi dengan pendingin ruangan. Ditemani temaram lampu, bujang itu duduk menyilang; mengangkat satu kakinya dan menghisap penuh takzim sebatang mild ketiganya di subuh yang nyaris pagi.

"Gue nggak pernah nyangka punya ibu sejahat dia."

Sejak tadi Abay tak pernah menyinggung teritorial dari duduk permasalahan yang diterka dirinya. Jam satu pagi lewat lima belas menit─kira-kira─Rafa datang ke apartemennya dengan keadaan berantakan; jaketnya basah, rambutnya tersisir ke belakang berantakan, juga kedua matanya yang berkantung. Yang paling tidak bisa Abay lupakan adalah fakta bahwa kedua bola mata itu berpendar penuh amarah.

Jadilah kedua bujang itu menghabiskan waktu berjam-jam dalam keheningan─hanya ditemani sebatang mild yang setia. Tidak ada bir atau wine mahal yang dibuat oleh anggur busuk─atau yang sengaja dibusukan─yang terasa sangat manis seperti madu. Di situasi, di malam yang lembab sehabis hujan, di dalam ruangan yang hanya ditemani lampu redup-redup, di Jakarta yang dingin, rokok adalah sebuah perantara yang tepat dalam kebungkaman dua laki-laki.

"Ibu gue lebih bejat dari itu." Abay terkekeh, membuang asap rokoknya yang mengepul tinggi-tinggi. Matanya sedikit-sedikit menatap awas pintu kamarnya yang tertutup rapat. Lina pasti lelah, pikirnya.

"Gue barantem sama ibu," ungkap Rafa─sesuatu yang tidak terdengar mengejutkan. "Ayah belum pulang. Pasti dia pulang jam tiga kayak biasa. Makanya dia nggak pernah tahu masalah ini."

Abay tak mau menyinggung perkerjaan apa yang dilakoni Ayah Christa. Abay cukup paham untuk mendalami peran ayah yang bekerja keras seperti itu. Ayahnya pernah di posisi seperi itu saat miskin─sebelum akhirnya sukses. Ia percaya, usaha tidak akan menghianati hasil asal dikerjakan dengan ikhlas dan halal.

"Dia nggak tau karena nggak ada yang memberitahu," timpal Abay sekenanya sebelum mematikan rokoknya dan membuang abunya pada asbak. Ia mulai menyalakan rokok selanjutnya, menghisapnya nikmat lalu bersuara kembali, "Coba bilang. Kadang-kadang laki-laki itu lebih realis dan idealis dari wanita."

99 Days To Love You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang