🌸 Prolog 🌸

4.5K 505 134
                                    

🌸

"Setiap kamu mencoba untuk peduli, saat itu juga kamu membiarkan hatimu terbuka secara pelan-pelan."

Aku menunduk, persis seperti manekin bodoh. Surai panjangku yang terjuntai nyaris menutupi seluruh wajah─dan aku sangat bersyukur akan hal tersebut. Sejak tadi hanya ini yang bisa kulakukan, meski setiap menitnya tanganku terkepal sedikit demi sedikit. Kupingku peka, ocehan itu nyaris membuatku gila.

"Dasar anak tidak berguna!"

PLAK!!!

Sudah biasa begini. Satu tamparan keras di pipi kananku kudapatkan dari ibu yang marah berapi-api tanpa sebab yang bisa kuterima dengan akal sehat. Aku diam saja bukan berarti aku tidak marah. Aku sangat marah─sampai rasa-rasanya aku kerap berpikir untuk kabur saja dari rumah ini.

Sakit rasanya ketika orang yang melahirkanmu tidak pernah sekalipun peduli padamu. Ibuku begitu. Ia yang melahirkanku tapi tak pernah sekalipun ia datangkan tatapan ramah padaku layaknya yang ia berikan kepada anak-anaknya yang lain. Aku memang bukan anak ibu, aku anak ayah. Aku anggap begitu, karena hanya ayah yang peduli.

Padahal, wajahku dan ibu sangat mirip.

Padahal, yang kuinginkan kasih sayang ibu─ibu kandungku.

"Keluar kamu!"

Yang terjadi selanjutnya tanganku diseret paksa untuk keluar dari rumahku yang dibilang cukup sederhana. Aku merasa pergelangan tanganku nyaris copot dan memar. Aku sama sekali tidak merintih ataupun menangis; kalau aku pikir, sudah berliter-liter air mata yang telah aku keluarkan karena ulah ibu.

Dan di sinilah aku. Tersungkur di atas lantai dengan debuman pintu yang terdengar kencang. Pintu ditutup bersamaan dengan air mataku yang mengalir dengan tidak sopan.

Aku sendirian di luar; sedang ketiga saudaraku hanya bisa menatap iba dari luar jendela. Aku tahu, mereka sama sekali tidak peduli; saudara kembarku, adik laki-lakiku, dan si kecil.

Tidak ada satupun yang peduli padaku di rumah ini. Lagi, aku hanya bisa diam bersama tangis diam-diam yang kukeluarkan. Kalau ada ayah, mungkin ia tidak akan membiarkanku di luar seperti ini.

Aku masih terduduk dengan posisi yang sama. Makin lama tangisku makin deras, serupa hujan yang malam ini mengguyur─seakan-akan hujan saja meledek nasibku yang lara dan nelangsa begini.

"Tata juga laper, Bu. Tata juga mau makan kayak adek."

Aku memegangi perutku yang bernyanyi karena rasa lapar. Aku sendiri berpikir; apa salahku sampai ibu marah begitu.

Aku hanya ingin sesuap nasi yang sama seperti adik-adikku. Tapi ibu tidak mengizinkan, ia malah marah saat aku mencuri sepotong tempe milik adikku─padahal aku sudah memintanya dan adikku mengizinkan.

Ingin rasanya aku mengatakan di hadapannya bahwa aku benci memiliki ia sebagai orang yang melahirkanku.

Air mataku kembali meluncur dan saat itu juga semua perlakuan buruknya yang telah kuterima dari kecil berputar-putar. Aku selalu diam meskipun ia menyakitiku, aku tidak pernah melawan apalagi mengadukan pada ayah.

Ibu benar-benar membenciku. Bahkan aku harus seperti ini; setiap hari dimarahi karena aku bersekolah. Ibu tidak ingin aku bersekolah seperti adik-adikku. Ia ingin aku bekerja saja dengan ijazah smp-ku. Itu sama sekali nggak masuk akal.

Kupeluk lututku sembari menyeka air mata dengan satu-satunya kaus putih tipis yang kukenakan. Dingin sekali udaranya, sampai-sampai aku dibuat meringkuk.

Aku pun memutuskan untuk menyandarkan punggungku yang letih ini pada daun pintu dan memilih menatapi hujan─yang rintihknya saja menyentuh ujung-ujung kakiku.

Aku tidak tahu apa yang kupikirkan saat itu. Aku hanya merasa kecewa dan menangis diam-diam sebanyak yang aku bisa. Hatiku rasanya sakit ... tidak peduli seberapa banyak aku mencoba untuk bersikap baik-baik saja, rasanya itu tidak bisa. Aku tidak sedang baik-baik saja saat ini. Aku kesakitan ....

Di sini ....

Di hatiku ....

Dan entah bagaimana caranya Tuhan mengirimkan bantuannya padaku; saat itu aku melihat sebuah uluran tangan. Kupikir itu ayahku, dan ketika aku mendongak aku mendapati wajahnya yang selalu nampak datar di bawah teduhan payung yang ia bawa.

Gayanya yang flamboyan dan perlente.

Semerbak parfum ratusan ribu miliknya.

Pakaian mahal miliknya yang tidak pernah kumiliki.

Aku yakin dan sangat yakin kalau yang saat ini mengulurkan tangannya padaku adalah dia ... Abayku.

"Bangun!"

Aku menunduk, suara perintahnya terdengar seperti marah. Terdengar menggeram, membelah bisingnya hujan malam itu. Aku benar-benar tidak bisa memikirkan apapun saat itu selain membiarkan kelemahanku terkuak di hadapannya. Aku menangis. Hanya itu.

"Gue bilang bangun, Christa!" Tangannya masih terulur padaku. Dengan gamang kuraih uluran tangannya─terasa begitu hangat.

Ia genggam tanganku dengan erat. Berdiri di hadapannya aku merasa kecil dan kotor; dengan kaus murahan yang dibeli di pasar, celana training olahraga sekolah, serta wajah awut-awutan bekas menangis. Abay dan aku, aku dan levelnya benar-benar berbeda bumi dan langit.

Abay meneliti tubuhku dari atas sampai bawah dengan rinci. Wajahnya yang datar itu semakin datar dan aku ketakutan─tentu saja, tidak pernah ada hari untuk tidak takut jika Abay selalu berada di dekatku begini.

"Siapa yang bikin lo kayak gini?"

Aku diam. Aku bungkam.

Aku juga tidak mungkin mengatakan kalau aku begini karena ibuku. Aku mengatainya lelaki kesepian, tapi ... aku sendiri justru lebih kesepian darinya.

"Jawab gue, Christalina!"

Meneguk ludah ragu, aku membalas yang lebih terdengar seperti bisikan, "Ibu."

Deg

Saat itu matanya tepat membidik bola mataku. Mata yang biasanya terlihat angkuh itu kini berubah menjadi sorot terluka dan marah. Aku tidak tahu kenapa matanya bereaksi seperti itu; tapi kupikir Abay mustinya tidak melakukan hal demikian.

"Jawab gue. Apa lo bakal benci sama gue kalau orang yang buat lo menderita habis di tangan gue?"

"Abay──"

"Ibu lo bakal habis di tangan gue. Jadi bilang, sekarang apa yang harus gue lakuin ke ibu lo?"

Aku terdiam. Saat itu rasanya kedua penglihatanku diterpa tsunami untuk yang kesekian kalinya. Tenggorokanku tercekat, dadaku bergemuruh. Untuk kali pertama, rasa takutku padanya sirnah.

Aku tidak takut lagi pada Abay.

"Bawa gue pergi dari sini, Bay."

... dan untuk pertama kalinya aku menemukan seseorang yang peduli padaku. Abay ... dia peduli padaku dengan caranya sendiri.

Abay ...

Pacar 99 hariku.





🌸
----------------------------------

Series kedua dari 99 Love Story. Hayo, baca prolognya, kamu lebih suka Abay atau Arthur di series yang pertama?

Anyway, part satunya aku post nanti sore yah guys :)

99 Days To Love You ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang