Epilogue

2.6K 228 103
                                    


Author POV

"Di sini tempatnya?"

"Yup," jawab Shania.

"Apa ini, Kak? Apartemen?" tanya Gracia lagi saat keduanya sudah turun dari mobil. Gracia harus mendongakkan kepalanya sampai tubuhnya melengkung ke belakang untuk melihat gedung yang tinggi itu.

"Bukan dong, daripada apartemen mending rumah kali, Ge."

"Hee—iya sih. Terus apaan dong, Kak?"

"Yuk masuk makanya."

Gracia mengangguk berkali-kali sambil tersenyum memamerkan gigi gingsulnya. Dia merangkul lengan Shania kemudian Shania memimpin jalan masuk ke gedung pencakar langit itu. Sama seperti gedung-gedung keluarga Cresencia yang lain, bagian pintu depannya terdapat pos jaga dan untuk membuka pintunya dibutuhkan fingerprint dari orang-orang yang terdaftar.

Shania menekan jarinya di mesin fingerprint lagi. Kali ini untuk membuka lift yang ada di ujung koridor , dilanjut dengan menekan tombol lift untuk menuju ke lantai paling atas.

"Paling atas?" tanya Gracia.

"Iya dong," jawab Shania disertai senyum.

Lift yang dikhususkan hanya untuk menuju lantai paling atas itu meluncur dengan cepat. Padahal ketinggian gedung itu mencapai 35 lantai, tapi hanya dalam waktu kurang dari 15 detik, pintu lift sudah terbuka kembali. Mata Gracia langsung terbuka lebar saat melihat pemandangan di depannya.

"Ooh—ini—ini kan—duuh—apa namanya ya—" Gracia berusaha mengingat-ingat.

"Penthouse, Ge."

"Nah iya! Penthouse!"

Benar, selama Shania merencanakan rencana besarnya, dia juga sudah menyiapkan tempat tinggal yang nantinya akan ditinggali olehnya dan Gracia. Shania begitu cerdik sampai dia bisa membangun gedung itu tanpa ketahuan oleh papanya atau orang-orang yang bisa mengganggu rencananya. Dan sekarang saat papanya sudah tiada, dia bisa merampungkan tempat itu.

"Wooow—bagus banget, Kak Juju," ucap Gracia. Area yang Gracia lihat hanyalah ruang tengah penthouse itu namun dirinya sudah tidak berhenti kagum. Televisi super besar, sound system, sofa empuk, meja bar, sebut saja semuanya terlihat baru dan mengkilap di ruangan itu. Warna kombinasi putih dan ungu menjadi warna utama di ruangan itu. Sengaja Shania pesan karena dia tahu Gracia masih menyukai warna ungu.

"Boleh aku masuk kan, Kak?"

"Boleh dong, Ge. Ini kan rumah kamu juga," jawab Shania.

Gracia tersenyum lalu karena lantai penthouse itu dilapisi karpet, dia melepaskan sepatunya sebelum masuk ke dalam. Tempat yang Gracia tuju bukanlah ruang tengah itu tapi kolam renang yang berada di balkon di mana orang bisa berenang di sana sambil melihat ke seluruh kota Jakarta. Sementara Gracia pergi keluar, Shania meletakkan tas lengan yang dia bawa di sofa lalu berjalan ke meja bar. Tangannya langsung memegang pelipis kepalanya. Sakit. Ya, sakit kepala sebenarnya daritadi menghantui dirinya namun dia rahasiakan dari Gracia.

"Kak Juju!"

Shania langsung menjauhkan tangannya dari dahi dan dia tersenyum lebar.

"Kak, di kamar mandinya ada jacuzzi. Aku belum pernah masuk jacuzzi sebelumnya. Boleh aku masuk?" tanya Gracia. Dia terlalu excited untuk menyadari keanehan pada Shania.

"Boleh dong, Gege. Hehehe—" jawab Shania.

Gracia pun berjalan dengan semangat seperti anak kecil meninggalkan Shania kembali sendirian di ruang tengah.

The Tale Of Two PrincessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang