Kudengar sebuah cerita, mereka yang mati karena bunuh diri akan bangkit sebagai malaikat pencabut nyawa orang-orang kesayangannya. Ini hukuman, karena mereka berani melangkahi ketetapan takdir dan ilahi.
Dulu, aku tidak percaya. Dongeng begitu untuk apa diceritakan? Tidak ada putri atau naga di atas menara. Padahal, dongeng dan cerita pengantar tidur di buku bergambar memiliki kisah manis yang penuh gula-gula. Supaya nanti, semua kebencian anak pada orang tua tergantikan memori baik.
Seperti putri yang mendapatkan pangeran tampan dan ibu peri pengabul segala. Mereka angan-anganku sebelum kantuk menjemput. Di atas kasur tipis berderit tajam dan ibu yang matanya lebam sebelah, serta bersuara sengau memilukan.
"Lalu sang putri mendapatkan selendangnya lagi dan pulang ke kahyangan. Pangeran cuma bisa bermuka masam karena dibohongi sepatu kaca dan monyet yang bisa berbicara."
"Kenapa mereka tidak bersatu saja, Bu?"
"Karena mendapat kebebasan lebih baik daripada menikah dan mengabdi pada keluarga."
Aku mendengar getaran pada pita suaranya. "Ibu, Ibu benci Ayah?"
Ibu tidak menjawab, ia terdiam. Memandangku lamat-lamat. Lebam itu semakin menggelap, melingkari coklat matanya yang keruh karena lelah. Lantas ibu bangkit, menyelimutiku dan memberiku kecupan selamat tidur di dahi. Ia membisiku kalimat sayang, kemudian pergi dan mematikan lampu.
Tubuhnya mematung di ambang pintu, membelakangi lampu ruang keluarga. Aku tidak bisa melihat wajahnya. Tapi aku mendengar isakan itu samar-samar, yang berusaha disembunyikan dan ditelan.
"Tidurlah. Maaf, Ibu tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu." Kemudian ia menutup pintu, berlalu, langkah kakinya menjauh.
Esoknya, Ayah menangis di samping tubuh Ibu di kamar tidur mereka. Aku terbangun karena raungan yang menyerupai singa terluka tersebut. Dan Mendapati Ayah--yang selalu marah-marah dan tidak ramah--duduk bersujud menggenggam tangan Ibu erat-erat. Aku masuk ke dalam sambil memeluk Mimi--boneka kelinciku, merasa takjub sekaligus heran. Apakah Ibu sakit?
Lantas Ayah menengadah, matanya sembab dan berwajah bengkak. Ia tidak pernah terlihat sesedih itu sebelumnya—seumur hidupku. Kemudian ayah maju beringsut ke arahku, menyentuh pundakku dengan tangan besarnya, dan menarikku pelan-pelan ke rengkuhannya yang sebesar jurang.
Mimi jatuh dari tangan. Sebuah botol kecil tergeletak kosong di atas nakas. Dari balik bahu ayah, aku melihat secarik kertas berisi tulisan tangan ibu. Angin dari sela-sela jendela meniup kertas tersebut jatuh ke sisi kanan kedua kakiku, memperlihatkan beberapa kalimat yang hari itu belum kuketahui maknanya.
Maaf, karena pergi meninggalkan kalian. Tolong jaga anak kita, aku sayang padamu. Sampaikan juga cintaku untuknya.
Keesokan harinya lagi ibu dimakamkan. Ayah memakai pakaian serba hitam dan terus menggumamkan kata maaf serta menyesal karena telah bertindak kasar selama ini. Ayah terlalu mencintai Ibu, meski egonya kerap menang dan kalap ketika Ibu memaksa diri bekerja dan mengejar mimpinya.
"Aku ingin membantu keuangan kita, itu saja!"
"Jadi kau menghinaku karena tidak bisa mencari uang?!"
Akhir dari pertengkaran mereka adalah tangan ayah menghantam wajah ibu. Wanita itu tersungkur jatuh membentur kaki meja. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain memeluk Mimi dan meringkuk di bawah selimut. Berdoa pada bulan dan bintang luar, untuk memberi penerangan pada keluargaku, memberkati mereka dan mengusir kesedihan dari kami.
Ayah jadi pemurung. Ia suka menangis diam-diam, mengantarku dengan kaku ke sekolah, dan memasak mi instan dengan lauk telur setiap hari. Rumah berantakan, hidupnya juga semakin tidak karuan.
Ayah selalu menyalahkan diri. Kadang ia melampiaskan kekesalannya pada meja dan kursi di ruang keluarga. Menghancurkan apa saja, kemudian terpekur di sudut dan menangisi dosa-dosanya di masa lampau. Lagi, aku berdoa pada bulan dan bintang untuk menjemputku saja ke tempat ibu berada.
Aku merindukan ibu. Aku ingin dongeng, belaian, dekapan, dan ciuman selamat tidurnya. Namun, saat pagi datang, yang kuperoleh hanya tubuh Ayah menggantung lurus-lurus di kamarnya. Leher ayah terikat pada seprai kasur. Aku berteriak sekeras-kerasnya, melempar Mimi ke arah ayah, dan merasa tersengat kenyataan. Bahwa ayah menggantung diri, dan di kaca jendela terpantul bayangan Ibu sedang memeluk tubuh ayah.
Ayah keluar dari tubuhnya, menjadi dua Ayah dan salah satunya hidup di kaca jendela. Mereka berdua berpelukan, Ayah dan Ibu kemudian terbang ke luar jendela, meninggalkanku sendiri di dalam rumah. Tanpa kasih sayang dan perlindungan. Keegoisan mereka membuatku merasa tidak dibutuhkan dan hampir ikut melompat dari lantai dua. Mengejar ketertinggalan ... jangan pergi! Aku menangis lebih kencang karena sedih, meringkuk tanpa selimut, lalu tidur karena kelelahan.
Esok yang terakhir, ramai-ramai orang datang ke rumahku. Mereka melihat satu keanehan di jendela. Seorang tetangga mendekat dan mengamati, bahwa di langit-langit kamar telah tergantung seorang pria berbadan tambun. Tetanggaku berteriak histeris, menggedor pintu dan membangunkanku di pagi buta. Rumah tiba-tiba jadi berisik. Aku ditarik, digendong seorang wanita yang kedua tangannya menyelimutiku seketika. Sesaat aku kehilangan pijakan, terdiam, bingung, panik, lalu menangis sekencang-kencangnya.
Saat itulah tubuh ayah dibawa pergi dan Mimi rusak terinjak-injak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story [TAMAT]
FantasyPada akhirnya kita bukan teman. Kau malaikat mautku dan aku nyawa yang harus kau renggut.