Cerita Sebelas: Maafkan Aku

1.2K 283 7
                                    

Aku percaya, bahwa tokoh antagonis di dalam dongeng sebenarnya adalah tokoh baik yang tidak ingin menunjukkan jati dirinya sebenarnya. Aku percaya, bahwa ibu tiri Snow White sengaja membuat konspirasi untuk memojokkan anaknya ke dalam hutan terlarang dan bertemu tujuh kurcaci. Sebab ia tahu, intrik politik sangat kejam dan ia hanya ingin membebaskan gadis itu dari penderitaan.

Cerita lainnya, aku sangat yakin bahwa ibu tiri Cinderella itu adalah si ibu peri. Ialah yang diam-diam memberikan Cinderella gaun biru nan cantik, membiarkannya ikut ke pesta dansa, dan mendapatkan sang pangeran. Karena sesungguhnya, ia amat mencintai Cinderella namun tak mau dicap pilih kasih oleh anak-anak kandungnya yang pemalas dan pendengki.

Namun seiring waktu, dongeng versi ibu mulai kulupakan. Seiring semakin gencarnya disney membuat remake dongeng-dongeng ke versi manusia, bukan lagi kartun. Membuatku terbayang bahwa hidup di dunia dongeng itu sangat indah, begitu mudah dan jauh dari susah. Aku tidak peduli apa motivasi para antagonisnya, toh, mereka dibuat memang untuk jadi lawan protagonis. Kenapa aku harus repot?

Pikiran-pikiran seperti itu mulai menjangkitiku semenjak kuliah jadi semakin sulit, dan aku harus belajar ekstra demi mencapai target IPK yang aku dan dosen pembimbingku berlakukan. Hari-hariku selalu berkutat di lab, perpus, dan kelas. Makanku mulai tidak teratur, tidurku sering tidak menentu, dan tahu-tahu hari sudah berganti Minggu, bulan. Waktu berlalu sangat cepat, tetapi rasanya masih belum ada peningkatan signifikan dalam diriku.

Jadi aku belajar lebih rajin, memakai waktu lebih banyak untuk merangkum dan mencatat rumus-rumus ilmu gizi serta macam-macam obat untuk terapi epilepsi.

Temanku semakin jarang hadir, aku menginginkan ketenangan dan waktu sendiri sampai-sampa tidak terlalu memikirkan keberadaannya. Dalam waktu seminggu, ada satu kali teh kotak mampir di meja belajarku. Bahkan dalam waktu sebulan, aku hanya mendapati ia mengawasiku dari luar jendela kelas dan memandangku dengan wajah kasihan: seperti anak kecil yang kehilangan kawan bermainnya.

Tiba-tiba saja, di dalam buku catatanku terselip memo yang bertuliskan: kamu sibuk?

Aku mengambil satu memo kosong dan menempelkannya di bawah pesannya: Iya. Maaf, untuk sementara waktu aku tidak ingin diganggu.

Aku merasa jahat, tetapi ia pasti mengerti bahwa waktu kuliah itu sangat penting dan aku harus dapat nilai-nilai terbaik untuk membalas budi kepada bibiku.

Untuk melepas penat, teman-teman baruku sering mengajakku ke cafe murah atau toko novel sewaan. Bahkan ada satu mini cafe yang menyediakan banyak buku-buku gratis untuk dibaca di tempat. Membuatku terpesona dan rela mendekam di dalamnya selama berjam-jam yang lengang.

Sembari membaca novel, aku belajar mempraktekkan keahlian keperawatan dengan nursing kit bersama kawan-kawanku. Kami saling menensi darah, mengukur suhu, dan mengetuk lutut dengan pemukul yang bentuknya lucu.

"Kita bikin kelompok belajar yuk," usul Icha. Aku, dan ketiga kawan lainnya langsung setuju dan membuat jadwal belajar setiap hari Minggu. Jadi selesai mencuci baju dan menjemurnya, aku pergi ke rumah Bertha dan mendiskusikan rangkuman kami di sana. Banyak sesi tanya-jawab, diskusi singkat, dan percobaan untuk memecahkan masalah dengan kata depan: andai.

Ini menyenangkan tetapi melelahkan. Ada kalanya aku pulang ke rumah dan tiba-tiba merasa kosong. Bukan karena rumah memang sepi dan Bibi pulang larut malam. Namun lebih karena merasa kehilangan dan aku tidak tahu sebabnya kenapa.

Mungkin aku hanya butuh belajar lebih giat.

Pernah suatu waktu aku keceplosan bicara di depan Ika kalau aku punya kekasih. Alih-alih bungkam, aku malah keterusan ketika Ika bertanya siapa, bagaimana, apa, dan lain-lainnya. Aku tidak tahu namanya, kujawab jujur, tetapi ia mencintaiku sebagaimana aku mencintainya. Kami saling menyayangi. Rasanya aku tidak butuh menikah selama ia ada di sisiku.

Lalu Ika bertanya di mana 'pacar'-ku sekarang. Sampai di sini aku kebingungan. Aku tidak punya fotonya, tidak jua bentuk konkrit cintanya seperti surat, gelang, atau kalung. Lalu, perasaan-perasaan bahagia itu menggempurku seperti mimpi yang terlalu indah untuk dikecap. Buram dan utopis.

"Jadi ... dia pacar imajinasimu?" tanya Ika, dengan alis bertaut dan wajah penasaran.

Tidak! Aku berteriak dalam hati. Dia nyata, aku ingat bagaimana hangat dan basah kecupannya, juga genggamannya, pelukannya. Hanya saja dia terlalu malu menunjukkan diri di depan umum dan hanya mampu menjadi utuh di hadapanku.

"Dia malaikat maut. "

Dahi Ika semakin mengerut dan aku tahu bahwa jawabanku sangat tidak logis. Aku harus menjelaskan seperti apa agar ia percaya, agar ia tahu bahwa keberadaan temanku itu nyata dan bukan semu belaka.

"Akan kutunjukkan." Aku menggiring Ika ke dalam perpus saat waktu rehat berlangsung. Di sudut aku duduk dan menyuruh Ika juga ikut mengambil kursi di sebelahku. Aku tidak tahu bagaimana cara memanggilnya, karena ia biasanya datang sekehendaknya dan aku jarang memintanya datang dalam cara-cara khusus.

"Datanglah," pintaku pada kekosongan. Rasanya konyol. Tetapi aku harus membuktikannya atau Ika akan pergi dan menganggapku gila. Atau ini sebenarnya untuk pembuktian lain ... aku menggenggam dada tempat jantungku bertalu, kalut pada diriku sendiri.

"Hei, kau jarang muncul belakangan ini. Sibuk?" Kembali, hanya kekosongan yang menjawab. Sekarang Ika benar-benar menganggapku gila dan ia mulai menampakkan seraut wajah prihatin.

"Kamu gak pernah kelihatan lagi. Aku kangen, pengen jalan-jalan kayak dulu."

"Kupikir, kamu perlu ke psikolog."

"Aku gak gila!" Lawanku, rasanya ada pisau yang menyatat hatiku sekarang.

"Oke, kamu gak gila. Cuma punya teman imajinasi. Gak papa, aku juga kadang suka ngomong sama pikiran sendiri kok."

"Dia nyata, dia itu sungguhan." Aku berusaha jelaskan, namun sia-sia, apapun yang kukatakan malah semakin menjauhkan fakta bahwa temanku itu sungguhan ada dan bukan khayalan belaka.

Batas antara ada dan tiada itu, hanya selebar helai rambut.

Sejak hari itu, aku benar-benar putus kontak dengan temanku. Tak ada lagi yang menjahiliku, melepas kepangku, atau memberiku teh kotak dingin di atas meja belajar. Tidak ada lagi yang mengingatkanku tidur, menyuruhku makan, atau sekadar bercanda dan mengajakku ngobrol melewati lorong hijau.

Rasanya, aku telah membuang dan menyia-nyiakan sesuatu. Aku tahu aku salah karena memutus kontak terlebih dahulu, aku pantas mendapat hukuman ini, tetapi aku tidak tahu kalau dampaknya akan sehebat ini. Malam-malamku terlewati dalam kehampaan. Aku tidak punya tujuan. Dulu, asal ada dia aku akan bahagia dan hidup lebih baik karena itulah janjiku untuknya.

Jadi aku mengambil memo kosong, menuliskan sesuatu, dan menyelipkannya ke dalam buku catatan: Aku tahu aku salah, maafkan aku.

Our Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang