Cerita Duabelas: Jadi, Siapa?

1.2K 280 23
                                    

Tak ada kabar. Jika dulu aku pasti akan menggenggam benda tajam, kini aku pusatkan pikiran hanya pada pelajaran. Aku tidak mau lagi mengulangi masa kegelapan pada diriku, cukup sebagai bekal pengalaman. Tidak ada yang akan diuntungkan dengan menyakiti diri sendiri, sekalipun aku ingin, dan pasti sangat menggoda karena menangis dan menumpahkan keluh kesah ke orang normal bukanlah ide bagus.

Aku pun bertahan hidup dengan menjadi manusia 'normal' lainnya. Bersosialisasi, membicarakan hobi, dan artis-artis tenar yang saat ini sedang booming. Beberapa membicarakan politik dan konflik di dalam negeri sendiri. Beberapa saat, aku bisa melupakan kekosonganku. Sampai kemudian Anastasia pulang tanpa Meilina ke rumah Bibi, membawa baju baru dan peralatan make up.

"Ayo, sini, ku-make over." Anastasia menggiringku antusias ke dalam kamar.

"Ada apa?" tanyaku.

"Temenin aku ke pesta ultah temen. Meilina gak mungkin datang karena sibuk. Mau ya, ya, ya?"

Sesungguhnya aku ingin menolak. Aku tidak suka pada keramaian, terlalu sesak dan membuat kepala pening. Alih-alih mengatakan tidak, aku justru mengangguk dan sebagian dalam diriku berkata, ini kesempatan untuk move on yang bagus.

Nah, sekarang aku seperti seorang pacar yang diputus secara pihak. Atau LDR-an tapi pasanganmu tiba-tiba menghilang begitu saja. Semakin dipikirkan, aku mulai menganggap kalau diriku ini gila betulan. Siapa tahu temanku itu cuma khayalan, toh, selama ini tidak ada yang menganggap keberadaannya kecuali diriku. Bahkan pertemuan kami selalu di tempat sepi.

Yakinlah, hanya dengan kepercayaanmu aku masih bisa bertahan dan hidup dalam wujud yang nyata.

Tetapi semakin lama, seiring minggu dan bulan berlalu, dan kembalinya kehidupan normalku, aku mulai mempertanyakan eksitensimu. Benarkah yang kualami di masa lalu adalah wujud nyata dari keberadaanmu? Atau sekadar pelampiasan emosi dari pikiranku yang konslet sejak kecil?

Aku tahu aku bukan gadis sempurna. Mungkin aku mengidap suatu gangguan jiwa. Sejak belia aku sudah melihat kedua orang tuaku bunuh diri. Hidup dalam kebencian dan terngiang melompat dari lantai tiga setiap hari.

Aku tidak normal, tetapi keberadaanmu yang menormalkan diriku siapa tahu hanyalah rekayasa otak yang ingin aku tetap hidup dan melangsungkan takdir sebagaimana biasa.

Bodohnya, sekarang aku galau dan mulai mempertanyakan kenyataan dari duniaku sekarang. Pusing seketika melanda kepalaku. Anastasia buru-buru bangkit dan menyanggah tubuhku yang goyah dan hampir jatuh pingsan.

"Kamu kenapa?"

Aku menggeleng lemah, entah menolak apa. Aku hanya ingin istirahat. Lalu berkubang pada kolam kesedihan. Tidak! Aku menolak untuk menjadi diriku yang dulu. Sekarang aku harus berubah. Jadi aku tepis pelan tangan Anastasia dari tubuhku, kemudian mengatakan iya, aku setuju ikut dengannya ke pesta ulang tahun.

****

Menjadi asing di tengah keramaian, di mana hiruk-pikuk tawa memenuhi sekitarmu tetapi tidak dengan dirimu membuatku terasingkan dan merasa bukan bagian dari pesta. Seperti di kelas, saat SMA lalu aku seolah dikucilkan oleh retakan lebar bumi ke sudut peratapan. Tetapi aku tidak mau kalah. Ini cuma pesta. Beberapa jam lagi, semua akan berakhir dan aku kembali menjadi diriku sendiri di rumah.

Anastasia benar-benar lihai mendadaniku. Aku sempat merasa bingung dengan sosok di depan cermin. Seperti berhadapan dengan alien, aku tidak percaya bahwa gadis itu adalah aku. Lantas, sebuah mobil menunggu di depan halaman dan Anatasia—atas seijin Bibi—membawaku masuk ke dalamnya. Di dalam mobil Anastasia terus mengoceh tentang Meilina dan temannya yang akan ultah. Bahwa kakaknya super sibuk, bahwa ia terlalu keras berkerja, bahwa kakaknya butuh istirahat, bahwa terkadang ia kasihan dan ingin mengajak kakaknya santai sesaat.

"Kau tidak tahu sekeras apa ia berkerja. Mungkin satu tingkat di bawah Mama."

Aku mengangguk.

Sampai akhirnya kami tiba di sebuah cafe yang telah disewa satu malam penuh. Anastasia meninggalkanku sesaat untuk mengucapkan selamat kepada yang berulang tahun. Meninggalkanku di salah satu meja. Di sini tidak ada yang kukenal. Lalu minuman datang, cemilan datang, musik kian bergemuruh, pesta berlangsung heboh. Satu jam kemudian, lantai cafe berubah jadi lantai disko. Keriuhan ini sukses membuat telingaku berdenging. Aku pun pergi ke luar sejenak mencari udara segar.

Biasanya saat sendirian seperti ini temanku akan datang. Ia akan berdiri sok cool di bawah salah satu pohon, kemudian menoleh ke arahku, tersenyum, langsung memeluk dan melepas kepangku. Tetapi di pelataran parkir tidak ada siapapun kecuali diriku. Sepi. Kekosongan ini kian menjadi-jadi.

"Udah mau pulang?" Anastasia tiba-tiba muncul di sebelahku. Rambutnya sedikit berantakan, namun ia tetap saja cantik.

"Iya." Aku mengaku jujur. Tidak kuat lagi bertahan di sini.

"Oke, kutemanin." Anastasia tersenyum jahil, satu hal yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tahu-tahu ia berdiri di pinggir jalan, memberhentikan sebuah taksi, dan menyuruhku masuk terlebih dahulu.

Anastasia duduk di sebelahku dalam keheningan. Ia tidak banyak berbicara—sesuatu yang ganjil karena tadi di mobil ia terus nyerocos sepanjang jalan. Lalu begitulah, taksi berhenti di depan gang. Anastasia membayar. Ia mengantarku memasuki lorong hijau dalam kegelapan malam. Sekarang beluntas dan pohon mangga tak ubahnya tangan-tangan dari bayangan yang berusaha menyeretku ke dalam tanah. Di sini tidak ada lampu penerangan, kecuali di halaman rumah Bibi.

Gawaiku mendadak berdering dan aku segera merogohnya ketika sampai di depan pintu. Anastasia menelpon, jantungku mencelus dan dengan takut-takut segera mengangkatnya. Kudapati suara Anastasia teredam musik pesta.

"Kamu di mana?"

"Pulang. Aku gak tahan."

"Kok gak bilang-bilang?"

Jadi, siapa yang mengantarku tadi ... "Maaf, gak sempet. Rame banget tadi. Maaf ya."

"Ya udah gak papa. Bilang ke Mama aku pulang agak telat."

"Iya."

Hubungan diputus. Aku menoleh ke belakang, tidak mendapati siapa-siapa kecuali kekosongan. Lorong hijau masih gelap dengan daun-daun rimbunnya seperti malam-malam lalu.

Our Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang