Cerita Sepuluh: Kita Tidak Akan Musnah Selamanya

1.2K 295 22
                                    

Satu tahun berlalu, aku lulus dari SMA dengan nilai sedikit di atas rata-rata. Bibi membolehkanku kuliah dengan syarat harus di dalam kota dan bukan swasta. Bibi tidak mungkin membiayaiku terus-menerus. Maka sembari mendaftar dan belajar untuk tes masuk—juga menunggu info jalur raport—aku berkerja di satu kedai fotokopi paruh waktu. Dari siang sampai malam.

Temanku tidak banyak menampakkan diri. Kadang hanya beberapa kali seminggu, itu pun cuma satu atau dua detik. Sesekali kedatangannya ikut membantu merapikan kertas-kertas fotokopian yang berantakan: waktu kembali noleh, semua sudah tersusun begitu saja. Atau teh kotak dingin yang tersaji di atas lemari kaca separuh badan. Kali lainnya ia bantu menemukan peralatan kecil yang hilang ketika aku membutuhkannya: staples, selotip, gunting, dan penggaris.

Meski demikian, ada kalanya ia sangat jahil dan menarik kepangku sampai lepas.

"Kamu seksi kalau terurai."

Mukaku langsung memerah dan kumaki ia dalam wujud udara kosong. Hari lainnya, ia menyembunyikan pulpenku, bukuku, dan ikat rambutku. Terakhir ia bertingkah semakin aneh dengan memasukkan kotak bekal berisi sayur mentah ke dalam tasku.

"Makan, kamu makin kurus akhir-akhir ini. Mau kusuapin?" Temanku muncul di dalam kelas dan menyodorkan wortel utuh ke arahku.

"Kamu gila ya?"

"Gila karenamu, iya."

Oke cukup.

Aku tidak tahu bagaimana harus membalas tindakannya, jadi aku berusaha untuk hidup lebih baik dan jauh dari pikiran negatif. Itu tekadku, demi keluarga dan temanku yang diam-diam mengawasi.

Sampai akhirnya aku diterima di salah satu politeknik kesehatan negeri, aku lulus tes dan masuk ke jurusan perawat. Aku girang bukan main, memamerkan pengumuman yang terfoto di gawai dan menunjukkannya kepada Bibi.

"Bagus, tingkatkan belajarmu." Ia tersenyum, biasanya ia jarang memuji, namun jika sudah demikian aku tahu bahwa ia mengatakannya tulus dari dasar hatinya yang paling dalam. Temanku juga ikut mengucapkan, mendadak saja ketika membeli kecap di warung dekat rumah, aku menemukan sosoknya di lorong hijau.

Ia masih memakai seragam SMA, merentangkan tangan, dan menyambutku dalam pelukan hangat yang sangat erat. Aku jatuh dalam dekapannya, tubuhku sempat dibawa berputar dan melayang sesaat. Lalu kami berhadap-hadapan, dalam jarak yang sangat dekat, hawa napasnya terasa kuat menyapu wajah dan bibirku. Binar matanya tak pernah sehidup ini kecuali ia berhasil menjahiliku dua atau tiga kali.

"Selamat," ucapnya, aroma mulutnya seperti pasta gigi.

"Habis gosok gigi?"

"Khusus buatmu." Ia nyengir lebar, membuat lesung pipitnya tampak dan sangat menggemaskan.

"Jadi selama ini gak gosok gigi?"

"Tergantung cuaca, kalau hujan ya gosok, kalau kemarau ya jemuran."

Aku terkekeh. "Apaansih, ngawur."

Kami saling melepaskan diri, tas plastik dalam genggamanku berbunyi. Untuk memperpanjang waktu, aku mengajak temanku keliling lewat jalan memutar agar sampai lebih lama ke rumah.

Kami memasuki gang lain, menikmati sore yang berseri-seri, serta anak-anak yang asyik bermain di taman umum. Beberapa saat aku melamun, tanganku tergantung di atas pagar kayu warna-warni setinggi pinggang, mengamati keceriaan polos anak-anak serta membayangkan punya adik di rumah.

Mendadak temanku datang menabrak dan memelukku dari belakang. Dagunya bersandar di atas bahuku, membuatku tak berani menoleh dan mandi dalam rasa panas serta malu.

Kedua tangannya melingkar erat di perutku dan tubuhnya terayun-ayun dengan manja.

"Apapun yang terjadi, yakinlah. Hanya dengan kepercayaanmu aku masih bisa bertahan dan hidup dalam wujud yang nyata, di hadapanmu setidaknya."

Aku mengangkat tangan, mengelus pipi temanku dan ikut menyandarkan kepala pada keningnya.

"Karena cuma bersamamu, aku merasakan hidup yang tidak pernah kukecap sebelum kematianku."

Ada kegetiran dalam nadanya.

"Percayalah, aku akan berusaha meyakini setiap keberadaanmu." Aku berbalik, sekarang tubuhku resmi berada dalam pelukannya secara berhadap-hadapan—lagi. "Jangan bersedih, kita saling menyelamatkan dan akan selalu begitu selamanya."

Secercah senyum merekah di bibi temanku. Refleks, aku terperangah dan ikut terpesona pada wajahnya yang mendamaikan. Lalu, tanpa aba-aba ia mencium keningku lamat-lamat. Membuatku tenggelam dalam suka cita diiringi gemerisik daun kayu putih yang wangi.

Aku bahagia. Cukup bersamamu, aku merasa bahagia.

Our Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang