Cerita Empatbelas: Terpuruk

1.2K 266 12
                                    

Hari-hariku berlalu dengan kalut. Untungnya UTS dapat terlewati dengan gemilang, ujian terakhir mampu kuselesaikan dengan amat mudah. Kecuali biokimia dan mikrobiologi.

Sekarang aku tidak punya pekerjaan serius untuk mengalihkan pikiran. Setiap kali melewati lorong hijau, aku jadi teringat temanku dan mimpi buruk yang melandaku tempo lalu. Membuatku bergidik ketakutan, mual, dan hendak muntah saat itu juga. Tubuhku mendingin, bergetar hebat dan kadang emosiku meledak begitu saja menjadi tangis yang tertahan.

Serangan-serangan itu kadang berdatangan di saat-saat yang tidak terduga. Pernah sekali aku presentasi, tiba-tiba saja tatapan seluruh anak kelas membuatku kaku dan tidak mampu berbicara. Aku panik. Aku berusaha mengeluarkan suara, tetapi tidak bisa. Tangan-tanganku tremor, jantungku bertalu kencang. Guncangan itu tidak bisa dihindari. Mikropon dalam genggamanku jatuh dan aku langsung menangis sesenggukan tanpa sebab yang jelas.

Butuh waktu setengah jam untuk pulih. Teman-temanku langsung bingung dan mengerubungiku seperti semut. Terutama Icha, Nisa, dan Bertha. Mereka kaget karena aku lari begitu saja keluar kelas dan meninggalkan presentasi. Aku bercerita bahwa aku mengalami stres hebat. Tetapi urung menjelaskan kenapa asal-muasalnya.

Kecuali Ika, ia tahu. Dan pada satu kesempatan istirahat, ia mengajakku makan berdua dan menyodorkanku satu artikel mengenai serangan panik dan efek distres serta koping negatif.

"Kamu butuh terapi. Mau kubantu cari pertolongan?"

Aku menggeleng. Tidak. Aku tidak gila!

Penawaran Ika kutolak. Kukatakan saja bahwa semua adalah efek stres akademik yang semakin memuncak. Bahwa aku orang yang terlalu ambil pikiran dan pencemas. Tetapi aku tidak separah itu sampai butuh pertolongan seorang ahli. Aku masih sanggup berdiri dan menghadapi semuanya sendiri.

"Aku sudah melupakan temanku. Benar. Dia cuma khayalan."

Padahal dalam hati, aku masih meneriakkan kata 'datang' agar ia mau hadir dan memberiku sebuah kepastian.

"Semua cuma bohong. Imajinasiku meliar. Otakku konslet. Butuh istirahat."

Kumohon ... temanku, datanglah. Aku yakin semua kenangan kita adalah nyata dan bukan mimpi semu belaka.

Aku pulang melewati perempatan tempatku hampir ketabrakan. Di sini ia menyalamatkanku dari sebuah mobil yang melaju kencang. Atau itu justru aku, yang tanpa sadar melompat ke sisi lain jalan dan selamat. Bukankah orang-orang hanya bertanya padaku, bukan kepada temanku? Dan seorang pedagang minuman memberiku teh kotak. Sejak saat itu aku menggemari minuman tersebut. Pasti aku, kan' yang membeli minuman tersebut setiap pagi. Bukan temanku.

Seluruh pertanyaan-pertanyaan itu malah menguatkan teori bahwa temanku itu cuma khayalan semata. Yah, sebentuk imaji keputusasaan dariku, gadis biasa yang mendamba pertemanan dan cinta. Sejak dulu aku memang susah bersosialisasi, lalu menyembuhkan diri sendiri dengan teman imajinasi. Apa mungkin begitu?

Semakin memikirkannya, membuat perutku semakin mual. Aku jadi jarang makan. Hanya minum energen dua sachet per hari dan hidup dengan itu berminggu-minggu. Berat badanku turun drastis. Maag kadang datang disertai pusing dan lemas luar biasa. Ada saat tubuhku benar-benar ngilu dan tak mampu beranjak dari kasur.

Bibi sampai cuti sehari demi menemaniku yang terus muntah dan menolak makan. Terbaring letih di bawah selimut. Kepalaku terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan temanku yang nyata atau tidak.

Dia nyata, kan?

Aku gak gila, kan?

Jawab aku! Aku butuh kepastian.

Memo-memo menumpuk di dalam buku catatan. Tak terbalaskan.

Our Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang