Cerita Tujuh: Rumah Sakit

1.8K 338 34
                                    

Alih-alih sekolah ia malah mengajakku ke rumah sakit. Membolos dengan dua potong baju yang dibawanya dalam tas. Kami berganti pakaian di WC umum taman. Berbaur dengan manusia-manusia lainnya di angkot. Sepanjang perjalanan laki-laki itu bungkam. Tak banyak tingkah dan celoteh.

Aku diam saja, tidak tahu kenapa setuju dengan idenya untuk membolos. Karena sesungguhnya aku mau pulang, tetapi tak punya daya menghadapi kedua anak bibi yang menyebalkan. Pelajaran pun hanya akan menambah beban pikiran.

"Aku mau menghilang, pergi ke tempat tidak ada seorang pun mengenaliku."

"Kalau begitu ikut aku."

Lantas di depan taman yang sepi, di balik pohon minyak kayu putih yang wangi, ia memberiku satu celana jeans kedodoran dan kaos kebesaran. Itu bekasnya, ia menjelaskan. Sengaja membawa dua untuk cadangan. Ia kerap membolos di sekolah dahulu, karena bosan, karena malas, dan memang kepingin saja.

Sedangkan aku baru pertama kali ini membolos dan mulai merasa tidak nyaman. Awalnya aku ingin membatalkan rencana dadakan tersebut, tetapi laki-laki itu menyakinkanku untuk tetap tenang. Membolos sekali tidak akan jadi masalah. Buktinya, dia yang bolos berkali-kali masih tetap bisa sekolah.

"Yang penting nilai jangan anjlok. Gak papa nakal sekali-sekali."

Pantas aku jarang melihat kenampakannya di lingkungan kelas.

Sesampainya di rumah sakit, kami langsung pergi melewati resepsionis dan memasuki selasar-selasar rumah sakit yang putih, monoton, dan pikuk dilewati orang-orang. Para dokter terus berkejaran tanpa ampun, para perawat membawa papan catat ke sana-kemari, para staf, tukang kebersihan, dan keamanan: berjaga-jaga di pos mereka masing-masing.

Sedang mereka yang bersedih, bahagia, linglung, dan bingung bercampur jadi satu dalam bentuk manusia-manusia berbagai rupa.

"Ngapain kita ke sini?" tanyaku akhirnya.

Laki-laki itu mendadak tersenyum, manis. Membuatku tersipu dan mengalihkan pandangan pada pria pincang yang menggeret tiang infusnya sendiri.

"Buat belajar. Ada yang mau kutunjukin ke kamu." Ia menolehku, lesung pipitnya muncul, memaniskan rupanya yang ternyata tidak buruk juga. Kemudian menarik tangan kiriku, membawanya melewati brankar yang ditiduri pasien sekarat. Memasuki satu gedung bercat putih tanpa taman, gedung terpencil yang keberadaannya sepi dari pengunjung.

Kami langsung menerobos pintu ganda di depan, memasuki ruangan luas tanpa perabotan kecuali kursi dan satu loket yang kosong.

"Ini di mana?"

"Kamar mayat."

Aku bergidik. Tetapi ia tidak peduli dan menuntunku memasuki sebuah kamar. Di dalam sana berjejer mayat-mayat dalam keadaan terbaluti selimut.

"Ini jadinya kalau kamu sudah berhasil lompat dari lantai tiga," jelasnya. "Jadi mayat," ucapnya dramatis, dengan tangan merentang seolah menunjukkan sebuah mahakarya senirupa.

Oke. Aku mulai tak nyaman.

"Sekarang, ke pemberhentian selanjutnya." Ia menarik tanganku kembali. Saat hendak keluar, tiba-tiba kami mendapati rombongan keluarga membawa satu jenazah kemari. Para petugas—entah darimana—bermunculan dan memasukkan mayat yang mereka bawa ke satu kamar. Aku mengintip dari kejauhan, anehnya orang-orang di sini tidak peduli pada keberadaanku seolah kasat mata.

Di kamar tersebut, jenazah dimandikan keluarga terdekatnya, dibantu para staf, mereka terisak-isak sembari membilas dan mengguyurkan air. Terpukul berat. Pintu pun tertutup untuk umum. Aku dan temanku—kuanggap ia temanku sekarang—pergi dari gedung mayat dan berjalan melewati pekarangan serta rumputnya yang tumbuh rapi.

Our Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang