Aku kembali ke kamar tempatku berbaring dan hampir mati kehabisan darah. Tempat di mana pikiranku melayang-layang, berputar ke masa lalu kemudian balik ke masa depan. Berulang-ulang, tentang kematian orang tuaku, cerita Bibi yang menyakitkan, dua anaknya yang kubenci dahulu, serta ia yang terus menemaniku sampai sekarang.
Temanku bilang besok ia ulang tahun, tidak ingin dikadokan apa-apa. Padahal aku sudah siap hendak membuat kue atau biskuit. Tapi ia bersikeras menggeleng, "Indomimu kemarin aja keasinan, jangan masak ah, entar ada yang meledak."
Aku hampir meradang, tapi ia cepat-cepat meredam semua itu dengan satu kecupan ringan di pipi. "Cukup kamu datang aja, aku udah seneng."
Rasanya hampir melayang.
Besok malamnya, aku terbangun karena alarm yang disetel tepat jam 10 malam. Aku bergegas mematut diri dan mengenakan pakaian terbaik. Gaun putih selutut. Gaun tercantik yang paling bersih dibanding baju-baju tidur lainnya.
Aku bergegas dan mendobrak dinding seperti tak ada halangan. Lewat lorong hijau, semakin dalam aku masuk, semakin terang suasananya. Gelap bukan masalah, karena entah darimana, ada ribuan kunang-kunang muncul dari sela-sela daun dan menerangi suasana.
Beberapa kunang-kunang menempel pada bahu dan rambutku, seperti dihinggapi bintang. Di ujung sana kulihat temanku memakai setelan tuxedo hitam dan menyambutku seolah ia seorang pangeran yang sudah lama menunggu putri impiannya muncul.
Seperti dongeng. Lihatlah, dongeng Ibu tak pernah nyata. Di mana-mana dongeng itu berakhir indah dan imajinatik, utopis, dan manis. Tetapi itulah hakikatnya dongeng, ia menyederhanakan apa yang sulit seperti pertemuan dua anak manusia menjadi lebih singkat, mudah, dan tanpa hambatan.
Aku maju dan menenggelamkan diri dalam pelukannya. Ujung lorong ternyata tidak menuju luar gang, tapi sebuah perempatan dengan lampu merah mati dan lampu jalan menyala terang. Sulur-sulur tanaman menghiasi pagar dan batang-batang listrik begitu cantik. Bunga-bunga biru merah jingga menempel seperti perhiasan. Diikuti semak, rumput, dan kolam kecil di atas aspal. Semua nyata perlahan-lahan, seolah mereka memang sudah ada di sana, dan kepekaanku tengah dibuka untuk dapat melihatnya lebih jelas.
Kelinci dan merpati bermain di sana-sini, keluar masuk liang, bertengger di tiang. Dan temanku menggiringku ke tengah perempatan, seakan naik panggung, dan kami jadi sorotan malam selain bulan.
"Jadi, apa acaranya?"
"Bersenang-senang," ia menjawab. Kemudian mengajakku berdansa tanpa ritme yang benar. Lagu mengalun indah dari gesekan daun-daun ketapang di pinggir jalan. Seperti nyanyian seriosa dari anak-anak paduan suara. Indah, merdu, dan menenangkan. Kami hanyut tanpa peduli apa yang kami gerakkan, hanya saling bersedekap, langkah kiri-kanan, dan memandangi satu sama lain lamat-lamat.
Aku bahagia, temanku selalu tertawa. Andai hari ini bisa jadi lebih lama. Aku rela menyerahkan kehidupan menjemukanku untuk sekadar bersamanya. Hidup yang tak pernah memahamiku, hidup yang sejak dulu selalu mengucilkanku.
Satu per satu, langkah kami semakin tinggi ke udara, seolah menapak tangga tak kasat mata, ke langit, ke tempat bulan bergantung dan menunggu kami ke atas sana.
"Kita kemana?" tanyaku kaget, karena di bawah perempatan semakin kecil dan area Bukit Hindu tak ubahnya kolam gelap dengan ratusan lampu seperti bintang.
"Keabadian," jawabnya, tersenyum. Lalu kami berdua terbang ke kahyangan, menjemput cahaya yang menyelubungi kami seluruhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story [TAMAT]
FantasyPada akhirnya kita bukan teman. Kau malaikat mautku dan aku nyawa yang harus kau renggut.