Cerita Empat: Seiris Pelarian

1.9K 391 32
                                    

Aku belajar dengan antusias. Untuk pertama kalinya aku merasa hidup, malu karena sudah menyia-nyiakan waktu. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tetapi ini positif. Dan sudah lama aku tidak bersenandung saat mengerjakan soal matematika. Senyumku menular pada teman sebangku. Ia menyadari keganjilan pada diriku.

"Wew, tumben ceria, ada apa?" Kedua alisnya naik-turun dengan lucu. Aku terkekeh, tidak tahu juga kenapa.

"Seneng aja."

Tetapi kesenangan itu hanya berumur duabelas jam. Setelah bel pulang sekolah berbunyi, aku sengaja menunggu lebih lama di kelas dengan alasan piket. Padahal bukan hari itu jadwalku. Aku ingin bertemu anak laki-laki itu lagi, meminta maaf, menjelaskan sebab tangisku, atau bertemu saja dan mendapat informasi dia berasal dari kelas mana.

Apa yang akan kukatakan padanya? Bahwa aku begitu menderita dalam lautan kesedihan sampai-sampai berniat bunuh diri? Apa yang harus kujelaskan? Aku tidak bisa berkata "Iya, kemarin aku bete berat jadi pengen loncat aja". Bagaimana bila ia mencapku alay dan lebay. Bagaimana bila ia mentertawakan alasanku? Lagipula, apa peduliku sampai harus menjelaskan ini padanya? Akankah ia ingin bertemu lagi denganku?

Mendadak, murung dan gundah menyerang sekaligus. Sapu yang kugenggam berhenti gerak semenit yang lalu, debu dan pasir menggumpal di depan papan tulis.

Aku membutuhkannya, sungguh. Dia tahu masalahku dan melihatku menangis. Yang paling mengesankan, dia tidak protes atau berkomentar miring. Ia diam dan menungguku reda dengan sendirinya. Aku butuh orang seperti itu.

Aku tidak suka ditanya-tanya dan dicampuri urusannya. Mungkin karena itu aku lebih banyak memendam masalahku sendiri. Tetapi jauh di dasar lubuk hati terdalam, aku tetap butuh teman sebagai tempat mencurahkan.

Aku menatap pedih pintu kelas yang hampa, tak ada lagi canda-tawa di luar sana. Sekolah sudah sepi. Beberapa menit yang lalu semua kelas membubarkan diri. Dari selasar lantai tiga, tidak kulihat setitik pun wajah yang kukenal. Baik dari atas atau pun bawah.

Tidak ada wajah jahil dengan merah di pipinya.

Jadi kuputuskan untuk menyudahi kegiatan hari ini. Membuang sampah dengan serok ke bak. Lalu mengambil tas dan menutup pintu kelas. Aku pulang dengan lesu. Seusai memarkirkan sepeda dan masuk ke ruang keluarga, aku mendapati dua anak bibi tengah menonton sinetron sambil mengudap kacang. Mereka menolehku sekilas dan langsung berteriak, "Buatin teh dua, sama gorengin rengginang sekalian."

"Ya," jawabku, dingin dan malas. Tetapi segera kulaksanakan juga setelah mengganti baju dan mencuci muka. Desisan minyak goreng mengisi kekosongan. Begitu juga dengan ceret yang menjerit. Tanda air sudah mendidih.

Kedua anak bibi menikmati kudapan mereka tanpa berterima kasih, lagi. Entah kenapa aku mulai tidak menyukai mereka dan menginginkan keberadaan bibi sekarang. Aku memang tidak suka pada omelan dan cerita buruknya mengenai ibuku, tetapi ia peduli, ia protes bila aku menggosongkan makanan atau salah cara memegang ceret. Ia memerhatikanku.

Melihat mereka rasanya seperti diingatkan pada keegoisan orang tuaku yang pergi tidak bertanggung jawab. Orang-orang picik! Tatakan kulempar setengah keras ke baki pencucian.

Aku melanjutkan bersih-bersih rumah dengan menyapu dan mengepel lantai. Merapikan perabotan yang jadi berantakan. Setelah berjam-jam, aku langsung pergi ke kamar dan tidur siang karena kelelahan. Panas matahari memanggang, tetapi aku tidak peduli dan jatuh dalam keringat.

Sorenya aku bangun dan mendapati bibi berwajah masam. Ia menceramahiku mengenai tata krama, bahwa aku sudah tidak sopan karena berani menyahut tanpa menoleh. Aku seharusnya lebih banyak senyum. Seharusnya aku bersyukur karena dipungutnya dari orang tua gila yang dimabuk cinta. Ia juga memarahiku karena rumah berantakan. Ruang keluarga tidak disapu. Bantal berserakan. Aku ingin membantah itu bukan ulahku, tetapi bibi tidak memberi jeda dan terus meneriakiku.

Ia mengeluh kepalanya pusing, bau-bau busuk bis kota, juga keringat dan panas matahari. Dan aku dituduhnya masih tidak tahu terima kasih dengan semua pengorbanannya.

Kedua mataku memanas. Aku tertunduk sambil menggigit bibir. Berusaha menahan tangis, menyembunyikan air mata. Di sudut pengelihatan di bawah ambang pintu dapur dan ruang keluarga, kulihat kedua gadis itu menatapku puas.

Aku tidak tahu apa masalahnya, tetapi mereka tidak berhak membuatku terhina di depan bibi seperti ini.

Setelah diomeli, aku kembali masuk kamar dan menangis tertahan di atas bantal. Tidak nafsu makan. Aku jatuh tertidur karena kelelahan. Sakit itu kembali datang, luka yang baru sembuh lagi-lagi terbuka. Aku tidak tahu dosaku, tetapi bulan dan bintang di luar bercahaya begitu terang—menyakitkan.

Aku menggenggam sebuah silet dengan sangat keras. Sakitnya memerihkan, tetapi kutahan. Membuang muka ketika ada darah mengalir mengotori seprai. Aku sudah lelah. Aku ingin melampiaskan teriakanku.

Aku menangis semalaman.

Our Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang