"Hei, jangan menyiksa diri."
Seseorang mengelus dahiku pelan, merabanya, kemudian satu sentuhan tipis yang basah dan lembab membangunkanku ke alam kesadaran. Kulihat temanku menarik wajah dari dahiku, kedua mata sayunya menyorot prihatin.
Lamat-lamat, aku berusaha memproses pengelihatanku sekarang. Benarkah itu dia ... benarkah itu temanku?
Aku bangkit mendadak, kaget juga antusias. Namun sentuhan hangat temanku mendorongku kembali ke tempat tidur dan merapikan selimutku yang berantakan. Ia duduk semakin dekat, hampir mendekapku dan meletakkan kepalaku pada pangkuannya yang lembut.
Rasa-rasanya dadaku mau meledak. Aku ingin menjamahnya, memeluknya, dan berteriak nyaring kemana ia pergi selama ini. Aku stres, aku putus asa, aku hampir mengakhiri hidup. Menyiksa hayat dan mati dalam beban pikiran.
Aku tidak sanggup berbuat apa-apa demi melampiaskan semua emosi. Tahu-tahu, aku hanya terpekur lemah dan mendesahkan tangis yang tertahan di bibir.
"Ssst, tenang, aku ada di sini. Maaf untuk segalanya."
Seharusnya aku yang minta maaf, karena meragukan keberadaanmu. Sayangnya aku tidak bisa bergerak dan mengatakan apapun. Kubiarkan ia meracau, mengungkapkan apa saja yang terjadi padanya hampir berbulan-bulan belakangan.
"Aku tidak tahu kenapa, keberadaanku semakin susah diwujudkan. Aku udah nyoba berbagai cara, berusaha muncul kalau kamu manggil, atau paling gak menunjukkan kalau aku ada di dekat kamu. Tapi nihil. Berapa kali pun aku mencoba, aku tetap gak bisa.
"Akhiranya aku tahu, kamu mulai ragu pada keberadaanku. Gak papa, aku juga ngerasa cepat atau lambat kamu pasti bakal mempertanyakan akal sehatmu. Orang bilang, aku gak mungkin ada, aku pasti cuma hantu jejadian, atau siluman tempelan. Terserah. Tapi kamu, kuharap kamu gak mikir macam-macam. Keyakinanmu, cuma itu yang aku butuhkan.
"Tapi kamu mulai tidak memercayaiku. Aku sedih. Aku hampir saja hilang dari hidupmu. Kamu memanggilku cuma untuk pembuktian, bukan melepas kangen. Kamu meronta, meminta, memohon, hanya untuk menyakinkan dirimu sendiri kalau kamu gak gila. Aku gak bisa muncul kalau hatimu sendiri gak yakin gitu.
"Lama kemudian kamu benar-benar melupakanku. Tapi aku tahu, kamu gak bisa ngilangin sepenuhnya kenangan itu. Aku hanya berdoa, supaya kamu tidak lupa dan masih mengenangnya. Setidaknya, cuma kamu satu-satunya yang percaya aku ini nyata.
"Lalu kamu dandan, cantik, tapi untuk siapa? Aku takut kamu akan berpaling dariku. Aku takut kamu pergi dan mencari laki-laki lain. Aku gak bisa berbuat apa-apa, selain pasrah, dan mengekorimu di belakang. Aku khawatir kalau kamu kenapa-napa. Aku takut kehilanganmu, sungguh, lebih dari apapun.
"Kamu semakin terpuruk, aku semakin transparan dan nyaris menghilang. Tapi malam ini, kamu kembali percaya sepenuh hati. Cuma itu yang kubutuhkan untuk mewujud kembali."
Ia memelukku dalam-dalam, erat dan penuh kasih sayang. Tubuhnya bergetar, ikut terguncang dalam kerinduan dan ketakutan. Betapa kejamnya aku, karena mempertanyakan eksitensinya dulu. Seharusnya aku menahan janji itu kuat-kuat. Percaya. Yakin, dan membuang semua prasangka kalau ia hanya teman imajinasiku belaka.
Aku merasa bersalah juga lega. Aku coba membalas pelukannya. Tetapi tubuhku sangat lemas dan napasku tersengal-sengal. Kepalaku masih pusing. Mataku berkunang-kunang. Panas merembeti seluruh tubuhku sampai ke bagian terdalam.
Lantas, ia melepas pelukannya dan duduk tegak dengan mata berkaca-kaca.
"Sembuhlah. Biar kita bisa main lagi besok."
Aku mengangguk, berusaha mengulaskan senyum. Tangan besarnya mengelus pipi panasku. Aku tertawa, bahagia, lega rasanya bahwa ia bukan rekayasa pikiran. Aku genggam tangannya sekuat yang kubisa, berusaha menyalurkan haru yang merayapi dada.
Ini malam terindah yang pernah kurasakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story [TAMAT]
FanteziePada akhirnya kita bukan teman. Kau malaikat mautku dan aku nyawa yang harus kau renggut.