Besoknya tangan kiriku segera kuobati dengan plester luka berlapis-lapis. Menyamarkannya. Kemudian ke dapur dan menanak nasi untuk sarapan. Menggoreng beberapa telur. Menjerang air, membuat seteko kecil teh. Aku sarapan tanpa didampingi siapa-siapa dan berangkat lebih pagi dari biasanya.
Aku muak. Jadi kulajukan sepeda menembus fajar yang sedang merangkak ke udara. Suhu dingin datang mengungkung badan, aku mengetatkan jaket di perempatan jalan. Lalu kulihat sekelebat putih berdiri di bawah pohon. Jalan pelan-pelan. Membawa tas selempang hitam.
Aku maju sambil mencuri pandang. Saat melewatinya, aku terperanjat setengah beranjak. Laki-laki itu ... siswa aneh yang mencegahku lompat!
"Oh, hoi!" Ia berteriak ke arahku sambil mengangkat satu tangan. Mendadak tanganku mengerem sepeda seketika. Aku hampir terjungkal ke depan. Tetapi cepat kuseimbangkan dengan menerjunkan kedua kaki ke atas aspal dan menoleh padanya. Ia berlari ke arahku, dengan senyum semringah, dan tampang jahil seolah punya rencana licik untuk mengerjai seseorang: memasukkan tikus ke dalam tas mungkin.
"Pagi bener berangkat. Tumben."
Aku tidak tahu harus berkata apa. Ini pertama kalinya ada laki-laki yang mau menyapaku terlebih dahulu. "I-iya," jawabku kaku.
"Samaan yuk." Dia mengajakku jalan di sisinya. Aku turun dari sepeda, mengikuti kemauannya seperti terhipnotis. Di bawah rindang pohon akasia dan ketapang, kami saling diam selama puluhan meter. Tidak tahu apa yang harus dibicarakan.
"Eh, itu kenapa?" Tiba-tiba ia menunjuk bagian dalam telapak tangan kiriku. Aku segera mengepal dan menyembunyikannya ke sisi lain tubuh agar tidak terlihat.
"Bukan apa-apa."
"Kemarin itu, beneran mau lompat?"
Aku tercekat. Tidak tahu harus menanggapi apa. Semua kalimat yang kususun kemarin buyar seketika.
"Aku punya cerita." Tiba-tiba laki-laki itu nyeletuk. "Ibuku suka ngoceh gini: jika seseorang mati bunuh diri, maka arwahnya akan terlahir kembali sebagai malaikat maut dan mencabut nyawa orang kesayangannya. Kamu percaya gak?"
Aku menggeleng. Tetapi dulu pun aku sering didongengkan putri yang berjuang sendiri melawan nenek sihir dengan membakarnya hidup-hidup. Beberapa tahun kemudian aku sadar versi ibuku terlalu sangar untuk kategori dongeng anak-anak.
Aku sama saja.
"Mau ceritain masalahmu?"
Aku menunduk. Hanya berpaku pada kedua kaki laki-laki itu untuk menentukan arah jalan. Pura-pura tidak mendengar, terlalu takut untuk membuka mulut—dan pikiran. Suara motor datang dari kejauhan, lewat, kemudian lenyap. Jalan masih sepi. Burung gereja berterbangan di atap masjid melemaskan sayap-sayap. Kami melewati perempatan kedua.
"Cerita aja gak papa sih. Aku emang gak bisa ngasih masukan berarti atau pemecahan solusi. Tapi aku mau dengerin."
"Kenapa?" tanyaku lirih.
"Ha?"
"Kenapa memperhatikanku?"
Sebuah bis melintas. Udara yang dibawanya hanyut menerbangkan beberapa daun akasia. Aku dan laki-laki itu dihujani daun-daun kering berwarna kuning kecoklatan. Jeda sesaat, sampai semua daun runtuh dan berhenti jatuh.
"Karena kamu sama seperti diriku yang dulu."
Aku menengadahkan kepala.
"Percaya gak? Aku juga sama depresinya dulu. Begitu benci dunia dan mencaci segala isinya. Orang bilang aku anak cemerlang, pandai, dan selalu berprestasi. Tetapi di dalam itu semua, aku sekarat. Semua yang kuhasilkan tak pernah cukup untuk membanggakan orang tuaku. Aku tak pernah bisa menyaingi kakak. Pernah aku cerita pada seorang sahabat, ia malah mengataiku lebay dan terlalu berpikiran macam-macam. Aku seharusnya bersyukur hidup berkecukupan. Dapat sekolah dan belajar dengan tenang. Ia malah mencemarahiku. Aku muak. Aku tidak butuh nasehat. Semua teman-temanku tidak peduli dan peka, batinku menjerit butuh pertolongan. Lalu ... aku lakukan tindakan bodoh itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story [TAMAT]
FantastikPada akhirnya kita bukan teman. Kau malaikat mautku dan aku nyawa yang harus kau renggut.