Cerita Tigabelas: Mimpi Buruk

1.1K 280 14
                                    

UTS semakin dekat, nilai dari ujian ini akan menentukan 30% nilai semesterku dari sekarang. Makanya aku belajar mati-matian, siang malam hanya keluar untuk mencari buku dan kopian materi dosen. Aku mencatat, merangkum, memahami, dan menstabilo poin-poin penting untuk dikaji ulang. Aku tenggelam dalam duniaku sendiri.

Icha, Bertha, dan Nisa masih sering mengontakku untuk belajar bersama. Kadang kumpul di rumah Icha, kadang Bertha, kadang rumahku. Kami bergantian, supaya tidak cepat bosan dan fokus pada tujuan. Karena seringkali acara belajar bersama malah diisi gosip tak penting dan berakhir tidak menghasilkan apa-apa: kecuali pengetahuan tentang pacar A, selingkuhan B, dan simpanan C.

Aku tidak butuh itu, aku mau belajar. Aku ingin mengisi kekosongan di dalam pikiranku dengan apa saja. Jadi tidak kubiarkan diriku melamun, karena takutnya aku akan teringat temanku dan berakhir dengan depresi berkepanjangan.

Tetapi ada saja kejadian yang membuatku semakin sakit dan sakit. Aku pergi ke kantin hari itu, setelah seminggu mengendap di perpustakaan dan makan-minum seadanya. Aku membeli teh kotak dingin dan menyerahkan uang kepada penjaga kantin.

"Tumben baru muncul, biasanya selalu ke sini beli teh kotak setiap hari."

Aku melongo. Kapan?

Lalu saat kembali ke kedai fotokopi tempatku berkerja dulu demi mengambil materi, tiba-tiba seorang anak kecil menunjuk dan meneriakiku. "Ini mbak yang suka ngomong sendiri."

"Hush!" Ibunya di belakang tiba-tiba muncul. Segera wanita itu tersenyum dan menanyakan keperluanku. Terlambat, aku langsung kabur dan membawa ketakutan itu sebelum meledak.

Aku pulang dengan napas tersengal-sengal. Langsung ke kamar, dan mendapati semua perabotan di sana berubah bentuk. Ada ruang tamu bersofa biru, foto besar dengan pigura ukir yang menunjukkan gambarku beserta ayah dan ibu. Di atas meja kaca, ada secarik kertas usang bertuliskan pulpen pudar: Maaf, karena pergi meninggalkan kalian lebih dahulu. Tolong jaga anak kita, aku sayang padamu. Sampaikan juga cintaku untuknya.

Satu boneka kelinci kecil mengintip dari balik sofa. Aku terpekik kaget dan mendapati bahwa boneka itu tidak bergerak dan mungkin sudah ada di sana sejak keberadaanku di sini. Aku mengambil Mimi, boneka lamaku, tiba-tiba dari dalam tubuhnya jatuh berdenting sebuah botol kaca. Obat tidur ibu. Isinya kosong.

Ingatanku langsung kembali pada kejadian beberapa tahun lalu. Saat aku masih kecil. Mendapati ibu lebam-lebam dan menceritakan dongeng versinya sendiri.

"Beauty berhasil membunuh Beast dan mencincang tubuhnya di aula istana. Untuk membuktikan, bahwa ia kuat dan mampu memimpin kerajaan meski ia seorang perempuan."

Suara ibu mengalun dari dalam dinding. Aku menoleh, ke kiri dan kanan untuk mencari asalnya. Tetapi nihil, alih-alih wujud ibu, aku justru mendapati tangan-tangan tumbuh dari dalam dinding dan menggelepar berusaha menarikku ke dalam genggaman mereka.

Aku mundur ke tengah ruangan. Merasa gila dan ingin semua mimpi buruk ini berakhir.

Hentikan! Teriakanku teredam dongeng ibu yang semakin nyaring.

"Timun Mas mengeluarkan usus besar dari dalam perut monster ..."

" ... Jaka Tarub memperkosa bidadari agar dapat memperistrinya ..."

" ... perempuan tidak seharusnya menjadi lemah. Ingat itu!"

"Aku mencintai ayahmu, tapi juga membenci dan ingin membunuhnya."

" ... akhirnya Jasmine menguasai kesultanan dan membiarkan Aladin tercabik harimau peliharaannya."

"... mati ... benci ... ayahmu brengsek ... aku mencintainya ... dia adalah kumbangku ... dia laki-laki paling bangsat yang pernah ada! ... aku gila ... kita gila ... ayo gila bersama."

Hentikan. Hentika. Hentikan. Hentikan. Hentikan. Hentikan. Hentikan. HENTI—tiba-tiba suara ibu melenyap. Tangan-tangan dari dalam dinding tenggelam. Menghilang begitu saja. Ruangan menjadi tenang. Aku melepas tangan dari telinga dan mulai meneliti sekitar. Di mana pintu keluar ...

Mendadak, suara derit kayu memutus pergerakanku. Ada sesuatu yang berayun-ayun di belakang. Aku tidak mau menoleh, tetapi berusaha mencari tahu lewat sudut mata dan ... sosok itu sangat besar.

Pluk! Sebuah benda jatuh mengenai kepalaku. Mimi, boneka kelinci itu menyeringai senang dengan kedua gigi besarnya. Lalu benda besar berayun itu muncul di hadapanku. Sebuah tubuh, dengan kaki kaku, dan celana pendek tidur yang biasa dipakai ayah.

Tunggu ... jangan-jangan. Aku memberanikan diri mendongak, mendapati sosok ayah yang tergantung tali seprai. Aku terjengkang kaget, berteriak panik, dan menendang-nendang lantai agar tubuhku mundur dan menjauhi sosok itu sejauh-jauhnya.

Tubuh ayah mendekat. Bola mata putih dan mulut menganga meneteskan liur tersebut mendekatiku seperti guling yang sangat besar.

Tidak! Aku terus mundur. Melempar Mimi ke arah ayah. Sosok itu tak mau berhenti. Ia terus mendekatiku. Melayang, dengan leher biru terikat tali seprai kuat-kuat.

Hentikan. Aku mulai menangis sesenggukan. Siapapun tolong ... cukup sudah!

Tangan-tangan yang tenggelam tadi muncul kembali dari dalam dinding. Aku terjebak. Aku tidak sempat maju menyelamatkan diri. Kaki-tanganku tertangkap. Panik melanda dan aku berontak sekuat tenaga. Aku berteriak, mencengkeram dan mencakar tangan yang ada. Berusaha membebaskan diri.

Sosok ayah semakin dekat. Liur dan bola mata putihnya semakin nyata. Ia akan menubrukku. Aku terikat, tidak bisa bergerak. Duduk terpekur di lantai dengan tubuh kaku ayah di hadapanku.

Sosok ayah menunduk, wajahnya kian mendekat ke arahku. Tidak! Aku meronta. Sia-sia, kedua tanganku tergenggam erat dan aku terpancang di dindng. Wajah ayah semakin dekat, amis mayat menguar dan memenuhi indra penciumanku.

Bola matanya berhadapan dengan kedua mataku.

"TIDAAAAKKK!!"

Aku terbangun dengan mulut megap-megap. Sepraiku berantakan, guling bantal entah terlempar kemana. Bibi dan Anastasia duduk di sampingku sambil memegang erat kedua tanganku. Lamat-lamat aku mulai menyadari bahwa semua tadi hanya mimpi dan aku terlalu takut bila tidak berhasil bangun darinya.

Aku langsung menangis penuh kelegaan. Memeluk Bibi, Anastasia mengikutiku dari belakang. Aku benar-benar ketakutan tadi, sangat. Sangat. Aku tidak bisa membayangkan akan jadi apa aku setelahnya. Urung menceritakan apa-apa, aku hanya terdiam dan berkata semua karena stres akademik yang sedang melanda.

"Maaf membuat kalian terbangun."

Anastasia dan Bibi beringsut keluar kamar. Meninggalkanku sendirian.

Our Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang