Cerita Enam: Secarik Luka

1.8K 360 25
                                    

Aku pernah memiliki sahabat. Semasa SMP aku kenal dengan seorang anak berkacamata cantik bernama Rika. Awalnya karena kami sebangku. Ia tidak terlihat memiliki siapa-siapa. Jadi aku bertanya, siapa yang duduk di sebelahnya? Kosong, ia menjawab. Aku pun menawarkan diri untuk duduk di sana, kemudian Rika mengangguk. Kami berkenalan secara singkat, tanya asal sekolah, dan kenalan-kenalan Rika di sana.

Ia anak yang populer, kalau boleh kubilang. Dalam waktu sehari, ia mampu bercengkerama dengan semua anak. Semua mengenal Rika dan aku hanya jadi bayang-bayang dalam ruangan. Meski demikian, Rika tidak meninggalkanku. Ia rutin mengajakku ke kantin, ke wc, atau ke ruang guru. Kami selalu nempel seperti pensil dan penghapus.

Sampai suatu hari pertemanan kami berubah saling menghancurkan.

Rika selalu menyalin PR denganku. Kunasehati beberapa kali agar ia mau mengerjakan tugasnya sendiri. Ia tidak mau, karena tidak mengerti, juga malas. Toh, aku temannya dan pasti akan memberi bantuan kepadanya. Kubilang iya, aku temanmu, tetapi aku tidak bisa begini terus. Rika berubah jutek, dalam canda yang keras, ia mengataiku jelek seperti alien keluar dari pedalaman, di hadapan teman-teman lain.

Aku sakit hati. Tetapi Rika segera meminta maaf dalam tawanya sembari berurai air mata bahagia. Ia merangkulku, mengajakku ke kantin, menemaniku makan. Bisa dibilang aku terjebak dengan kehadirannya. Aku tidak bisa berteman, hanya Rika satu-satunya yang mau dan masih menghargai eksitensiku di kelas.

Terus berulang, Rika masih sering mencontek, mengejekiku di belakang. Mengataiku anak awut-awutan dan tidak bisa mengurus diri. Memangnya aku seburuk rupa apa? Jadi aku beranikan diri untuk pindah kursi sendiri ke sudut. Lalu aku sendirian tanpa teman. Orang bilang aku dan Rika berantem, berkelahi entah sebab.

Aku coba jalin pertemanan dengan anak-anak lain. Susah. Mereka sudah akrab dengan gengnya dan akan selalu berkumpul bersama kemana pun—ke kantin atau saat kerja kelompok. Membuatku selalu ditinggal saat istirahat atau pembagian tugas.

Aku bersama Rika memang menyedihkan, tapi tanpanya aku makin mengenaskan. Kembali, di kelas dua aku duduk bersamanya. Rika yang menawariku duluan. Lama tidak saling bicara, membuatku bernostalgia. Rika dengan senyum manisnya dan tingkahnya yang penuh perhatian ...

... kembali menjeratku dalam perangkap penuh derita. Ia menyalin PR-ku lagi, atas dasar setia kawan menconteki jawaban ulanganku. Aku mau protes, tetapi aku tahu konsekuensinya bila melawan. Aku akan jadi mayat hidup lagi di sudut kelas. Dan aku tidak mau hidup tanpa teman. Rasanya seperti memelihara parasit. Tetapi Rika pandai bertingkah sebagai kawan yang baik. Ia mau mendengarku cerita, celotehan apapun dan duduk di sampingku tanpa merasa jengah.

Hanya ia yang tahu aku tidak suka pada bibiku. Tetapi di lain hari, ia kembali mengejekiku alien kriting yang rambutnya terbuat dari indomi gosong. Meski cuma candaan, dalam tendensi riang, aku menangkap kalimat-kalimat tersebut sebagai sebuah penghinaan.

Aku marah, tetapi aku menahan. Aku murka, tetapi coba kulampiaskan dengan menggenggam patahan kaca kuat-kuat.

Maka setelah lulus aku langsung memilih SMA yang tidak ada Rika-nya. Cukup sulit awalnya, karena aku harus melalui sebuah tes kompetensi yang ketat. SMA yang kumasuki adalah SMA favorit negeri. Tempat anak-anak pintar berkumpul. Tempat Rika mungkin tidak akan masuk meski ia berusaha maksimal.

Itu sebabnya, meski sudah dua tahun menetap, aku tidak punya teman dekat. Satu kelas mungkin kenal dan pernah berbicara padaku, pada satu kesempatan yang jarang, dan pekerjaan kelompok yang datang lebih sering. Selebihnya aku mengurung diri dan memasang pagar tinggi-tinggi untuk melindungi sisa harapan hidupku yang tinggal sedikit.

Aku tidak bisa menjadi terlalu baik dan dimanfaatkan seperti dulu. Tetapi aku tidak mau terlalu asing dan dianggap angin lewat. Meski nyatanya kehidupan di SMA adalah sebuah kedataran yang menjemukan.

Aku tahan. Aku ikhlas. Tetapi ada kalanya aku tidak kuat dan merenung di depan tali gantung dan selasar lantai tiga. Berpikir, apakah aku sudah cukup berani untuk mengambil keputusan?

Kemudian laki-laki asing itu datang, mengucapkan kalimat-kalimat aneh dan menenangkanku dengan cara yang janggal. Siapa dia? Sampai sekarang aku tidak tahu nama dan asal kelasnya.

Our Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang