Cerita Sembilan: Aku Ingin ...

1.4K 305 19
                                    


Sejak kecil, aku sudah terbiasa dengan dongeng versi ibu, juga versi buku cerita di perpustakaan, dan film-film disney. Bagiku dongeng adalah dunia ajaib dimana kebaikan pasti dibalas kebaikan. Dan kebaikan, tidak akan pernah kalah dengan kejahatan. Kehidupan di sana sangat hitam-putih. Para protagonis biasanya baik, mahsyur, jelita, dan rajin. Sementara antagonis sering merasa iri, bengis, kejam, dan tidak kenal ampun.

Kehidupan di dunia dongeng sangat kontras dengan bumi yang penuh abu-abu. Bagaimana pun kamu menilai seseorang buruk, ia tetap pernah melakukan suatu kebaikan dan dipandang baik oleh mereka yang ditolongnya. Begitu juga dengan orang-orang alim, bagaimana pun kamu mengaguminya, mereka tetaplah manusia yang pernah berbuat dosa dan dibenci beberapa kalangannya.

Semua kembali ke pemikiran masing-masing. Apakah kamu menerima kebaikannya terlebih dahulu, atau kejahatannya? Apakah kebaikannya lebih banyak, atau kejahatannya yang mendominasi?

Sampai di sana aku tahu bahwa dunia tempatku tinggal sangat abu-abu. Ketika aku ingin membenci bibi, aku akan teringat foto abu-abu masa SMA-nya dan terkenang cerita tentang orang tuaku yang terlalu dimabuk cinta sampai meninggalkan rumah. Bagaimana bibi menderita setelah ditinggalkan kakaknya, pujaannya, dan separuh keluarganya. Tahu-tahu, aku muncul sebagai bentuk beban yang ditinggalkan di depan pintu.

Ia berhak marah, ia berhak merasa terhina. Tetapi ia tetap mengasuhku, dengan atau tanpa kasih sayang. Juga kedua anak perempuannya yang ternyata baik jika aku berperilaku baik. Dan teman-teman kelasku yang sesungguhnya ramah dan enak diajak berdiskusi. Apa yang membatasiku dengan dunia adalah ketakutan, kebencian, dan kecemasanku yang berlebihan.

Aku selalu berpikir setiap kali akan bertindak, begitu banyak kemungkinan, cabang, dan imajinasi tercipta andai aku mengajaknya ngobrol terlebih dahulu. Ujung-ujungnya, aku malu dan mengurungkan niat menjadi pemberani. Itu kerap terjadi, meski sekarang sudah tidak sesering dulu.

Semua karena temanku, teman yang tak pernah kuketahui nama dan siapa ia sebenarnya. Meski sering mengaku ia bukan makhluk hidup, tapi kehadirannya sangat nyata senyata embusan angin pagi.

"Seperti angin, aku ada tapi tidak bisa dilihat. Aku sendiri gak ngerti kenapa kamu bisa melihat dan merasakan wujudku."

"Mungkin kau memilihku."

"Untuk apa?"

"Untuk diselamatkan."

"Heh, kau pikir cuma itu?"

"Tugasmu belum selesai?"

"Sebenarnya sudah. Ayah tidak termasuk daftarku."

"Terus?"

"Mungkin daftarku bertambah karenamu."

Wajahku kembali tersipu, panas merembeti pipi. "Itu artinya ..."

" ... ya, kau paham kan?"

Lantas ia beranjak dan menghilang ke dalam lorong hijau. Tanpa perpisahan, hanya sebersit senyum dan ringisan karena lebam, ia lebur menjadi udara dan berembus ke langit cakrawala. Aku dapat merasakan angin hangat membelai pipi dan rambutku sesaat. Kupejamkan mata demi menyesapinya. Pelan-pelan angin itu berlalu dan lenyap.

Aku tidak tahu bagaimana mendefinisikan perasaanku sekarang. Ada gembira, cemas, bahagia, khawatir, dan bingung. Semua menyatu dan membuatku bimbang ingin berekspresi apa. Di satu sisi, aku jelas bersuka cita karena perasaanku terbalas—tanpa kata-kata, tetapi di sisi lain, kami tidak mungkin bersatu dan selamanya akan tetap begitu.

Seperti perkataannya di ruang ICU, "Di sini batas antara kematian dan kehidupan sangat tipis."

Batas antara ada dan tiada itu, hanya selebar helai rambut.

Our Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang