Kepulangaku ke rumah, disambut ruang keluarga yang berantakan. Meski demikian, aku tetap tersenyum dan dengan senandung kecil pergi ke kamar untuk berganti pakaian. Kedua anak bibiku sedang menjerang air di ceret.
"Mau kubantuin?" Aku menawarkan diri. Mereka kaget dan menatapku heran.
"Nih." Anastasia menyerahkan berbungkus-bungkus mi ke arahku. Aku pun memasaknya menjadi mi goreng, kemudian memotong tempe dan tahu untuk dimasak dengan kecap. Menu sederhana, tetapi keduanya puas dan tidak berwajah masam lagi kepadaku.
Setelah itu aku membersihkan rumah dan merapikan perabotan. Saat berpapasan dengan keduanya yang hendak pergi, aku tersenyum dan berkata hati-hati di jalan. Jelas mereka kaget. Senyum yang jarang berbalas kepadaku.
"Kami mau balik, bilang ke Mama kami duluan."
"Iya," jawabku antusias. Lalu keduanya menaiki motor matic dan memberi lambaian tangan kaku.
Sejak saat itu jika kedua sepupuku datang—aku tidak lagi memanggil mereka anak bibi—kami jadi lebih akrab dari hari ke hari. Di sekolah, aku jadi lebih fokus untuk belajar. Memang terlambat untuk memulai pertemanan, aku tetaplah pemalu yang minderan seperti dulu. Tetapi aku mencoba menebar senyum lebih sering, dan berpikir positif untuk dunia.
Namun, hanya satu yang kurang. Laki-laki itu tidak pernah lagi terlihat di sekolah, di kelas, ataupun di jalan. Ia menghilang. Bahkan ketika kuberanikan diri untuk mencari keberadaannya, orang-orang menggeleng tidak tahu dan seorang lainnya menunjukiku daftar absen dan murid-murid yang lalu-lalang di dalamnya.
"Gak ada cowok kek gitu."
"Oke, makasih."
Aku kembali dengan lesu ke kelas. Teman sebangkuku sampai khawatir dan penasaran dengan tujuan pencarianku.
"Kami gak sengaja ketemu, dia nyelamatin aku dari tabrakan. Aku mau berterima kasih."
"Mungkin bukan anak sini."
"Lambangnya nama sekolah ini."
"Bukan rejeki kali, ya udah gak papa, nanti kapan-kapan, kalau jodoh pasti ketemu."
Seperti mantra, perkataan temanku terkabulkan hanya dalam waktu dua hari. Saat itu aku tengah ke warung sayur langganan, menggunakan sepeda baru setelah beberapa bulan hanya naik angkot. Di hari Minggu dan jalanan pagi masih sepi dari manusia-manusia yang sibuk bekerja.
Aku pulang lewat jalan memutar, mengelilingi daerah Bukit Hindu dan masuk antar celah masjid dan gereja yang berdekatan. Burung-burung bercuitan di langit, aku menghirup udara jernih yang masih belum tersentuh polusi, mendapati perempatan tempatku hampir ketabrakan. Aku berhenti di bawah lampu merah yang—masih—belum aktif. Di sana, di salah satu jejeran pohon akasia dan ketapang, laki-laki itu sedang bersandar dan mengamati langit dari tempatnya berdiri.
Tanpa berpikir aku langsung mengayuh sepedaku ke arahnya. Laki-laki itu terkejut, namun segera berubah murung dan pucat seolah melihat hantu.
"Kamu?"
"Ngapain?"
"Gak ada, cuma ngelamun." Ia kembali santai. Kali ini tampilannya berbeda karena memakai baju bebas: celana pendek dan kaos hitam.
"Kamu kelas berapa sih?"
"XI-3."
"Kita ... sama." Aku menganga takjub. Kenapa aku tidak tahu ia dari kelasku? Tetapi ... sudahlah aku tidak ingin memikirkan itu lebih jauh.
"Habis belanja?"
Aku mengangguk. "Mau ikut ke rumah? Sarapan bareng."
"Males ah, entar rame."
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Story [TAMAT]
FantasyPada akhirnya kita bukan teman. Kau malaikat mautku dan aku nyawa yang harus kau renggut.