Cerita Tujuhbelas: Nostalgia

1.3K 286 18
                                    

Satu foto bertambah lagi di ruang tamu. Foto ulang tahun Bibi yang ke-50. Ada aku, Meilina, Anastasia, dan Bibi di dalamnya. Saling merangkul di hadapan kue yang terpotong separuh. Kami tersenyum dan selamanya kenangan itu akan terpatri erat di dalam ingatan.

"Bagiku, kamu sudah seperti anakku sendiri." Bibi mengucapkannya penuh haru saat memelukku, setelah memberi sesuap kue penuh doa dan berkah. Aku memeluknya kembali erat-erat. Merasa tidak hampa dan kembali bersemangat.

Aku dibutuhkan selama ini.

Ibu yang kuanggap hilang selamanya, ternyata mewujud dalam bentuk wanita yang sempat kubenci beberapa waktu lalu. Merasa bersalah, juga lega sekaligus bahagia aku berkata, "Terima kasih" berulang-ulang. Diiringi tangisan suka cita, aku terus menggumamkannya sampai ke suara yang paling lirih sekali pun.

Lihat, kedua mataku nampak sembab di dalam foto. Tapi itu bukan masalah.

"Mau ke rumahku?" Temanku mengajak, pertama kalinya setelah sekian lama bersama.

"Ngapain?"

"Lihat-lihat aja. Sebelum pergi, ada baiknya kamu mengenal diriku lebih dalam."

Seperti tawaran padahal aku tidak meminta. Aku terima ia apa-adanya, meski namanya sekali pun tak pernah tersebut. Toh, nama hanya mempersempit persepsiku akan karakternya, sifatnya, dan tingkah-lakunya. Ia adalah ia, tak peduli bagaimana nama dan penyebutan semua yang menyusun dirinya menjadi satu tersebut.

Jadi di Rabu siang yang panas, setelah dosen membatalkan mata kuliah secara tiba-tiba, aku pulang dan disambut temanku di dalam lorong hijau. Matanya menatap lapar pada mangga yang menggantung di atas.

"Jangan coba-coba." Aku memperingatkan.

"Apa?" Ia mengangkat tangan. "Cepat mandi dan ganti baju. Biar jadwal tidur siangnya gak keganggu."

Aku mengangkat sudut bibir kanan. "Eh, kalau mau mati jangan banyak tidur. Nyia-nyiain waktu."

"Bukannya itu keinginanmu dulu, cepat mati?"

Aku menatapi mangga montok di atas kepala, lumayan juga ternyata. "Ya, dan sekarang terwujud. Aneh, aku gak sedih sama sekali."

"Iya, aneh. Sejak awal, pertemuan dan hubungan kita memang aneh."

Aku tertawa. "Memang."

Lagian, apa yang normal dalam pertemuan kita? Kau hantu, arwah gentayangan, malaikat pencabut nyawa yang gagal. Sedangkan aku cuma anak perempuan sakit-sakitan, selalu murung, dan senang menyendiri dalam kesedihan yang dilebih-lebihkan.

****

Maka aku terbang ke dalam khayalan, satu memori yang dijejalkan untuk dijajal bersama nyata dan keinginan. Temanku membawaku ke satu gerbang hijau aneh di lorong hijau. Tidak mengarah ke jalan utama, gang itu justru berakhir pada satu rumah yang dihiasi pagar tinggi. Pagar yang seolah menegaskan keterlibatan mereka di kompleks hanya sebesar nol persen.

Aku masuk menembus pagar, menembus pintu kayu cokelat pudar. Taman tak terurus, garasi terbuka begitu saja. Menampakkan satu mobil berlapis debu dan barang-barang rusak yang tak dipedulikan. Ruang tamu rumah ini lebih sunyi daripada malam tak berbintang. Semua benda seolah menempel dan tak bergerak lebih dari puluhan tahun.

Kursi jati biru tua, meja rendah selutut orang dewasa, lemari kaca berisi berbagai piring hias, kandelir megah yang menggantung tinggi di langit-langit, serta guci besar di sudut-sudut ruangan yang bisa menyimpan anak berumur empat tahun.

"Ini rumahmu?"

"Yah."

"Sepi."

"Seperti kamar mayat."

"Setidaknya di sana ada yang menangis dan berteriak."

"Di sini juga ada, biasanya lewat jam duabelas malam."

Aku terbelalak, "Masa?"

Temanku tidak mengindahkan pertanyaan tadi. Ia malah sibuk membuka-tutup semua pintu dan mengintip ke dalamnya. Pintu kamar, pintu dapur, pintu ruang baca, ruang kerja, toilet, gudang, garasi, kembali ke dapur, ke halaman belakang, ke ayunan, ke bola sepak yang berlumut, dan kembali ke ruang tamu, ia menatapi wajah-wajah keluarganya yang terbingkai apik mendominasi dinding bercat krem mulus.

Keluarga tampak bahagia, padahal senyum itu terasa kaku dan hambar. Sangat formal. Seolah mereka berfoto demi memenuhi agenda rutin dalam memiliki sebuah ruang tamu. Ada seorang ibu berambut panjang, cantik, meski kerut-merut mulai menghiasi wajahnya. Ia pasti seorang gadis muda berambisius dahulu. Sang ayah hanyalah pria tua berkacamata dengan kumis beruban di atas bibirnya. Sementara sang kakak adalah miniatur sang ibu, sementara sang adik adalah duplikat bapaknya.

Kedua anaknya laki-laki.

"Kau tahu aku yang mana kan?"

"Yang paling kecil?"

"Salah. Aku yang ngefoto."

Aku menoleh malas, dia balas dengan senyum ngeles.

"Apa yang ingin kau tunjukkan padaku?" tuntutku, setelah kami berdua bosan dan terdampar di ruang baca yang dipenuhi buku-buku. Ada jendela tinggi sampai langit-langit di sini. Melemparkan cahaya matahari ke dalam, menerangi lembab dan apak kertas-kertas yang sudah mulai menguning.

Temanku duduk di satu kursi empuk bersandaran tinggi, setelah mengambil satu buku dan membuka-bukanya acak di atas sana. Ia melemparkannya ke udara dan membiarkan buku itu jatuh berkelepak di atas karpet. "Tidak ada," jawabnya, lesu. "Setelah kematian Ibu dan minggatnya Ayah ke luar negeri. Aku tidak tahu apa yang harus kutunjukkan untuk jadi salah satu kenanganmu."

"Terus, ngapain aku ke sini?"

"Entahlah. Menemaniku? Aku kangen, tapi gak mau kembali ke sini sendiri."

Aku merasakan getar dalam nada suaranya. Tubuh temanku terus merosot dalam kursinya, tenggelam, seolah ia menciut dan berubah jadi seukuran kucing dan sedang mendengkur di atas dudukannya.

"Aku cuma mau pulang sebelum kembali ke alam baka."

Maka siang itu, kami biarkan langit berubah dari biru ke jingga, kemudian kelabu dan hitam. Tak ada yang bergerak, aku hanya sibuk melamun dan memandangi bintang-bintang dari jendela. Lampu rumah tidak menyala, menyisakan kegelapan yang terpecah sedikit oleh bulan yang baru menanjak.

Temanku masih berlindung di balik kursinya, tak mau bangkit atau berdiri. Seolah ia ingin menyatu dengan rumah ini dan menjadi salah satu perabotannya. Kami geming, tetapi itulah yang kami butuhkan saat ini.

"Besok malam ulang tahunku. Kamu datang ya." Temanku memberitahu dari balik sandaran kursi.

"Ya."

"Jalan saja ke dalam lorong, nanti aku jemput."

"Mau memberitahu dengan cara apa aku akan mati?"

"Tabrakan. Seharusnya dari beberapa tahun lalu."

Kemudian tanpa diduga, ia bangkit dan berdiri di bawah tempat jatuhnya cahaya bulan. Sosoknya yang temaram semakin sendu dan pucat.

Our Story [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang