Pagi ini wajah Shania terlihat lebih murung dari hari sebelum-sebelumnya. Di dukung lagi dengan hawa dingin sebab hujan terus mengguyur sejak malam tadi. Secangkir teh hangat, sebuah novel dan sebuah ponsel menemani pagi hari seperti biasanya. Shania berada di halaman belakang rumahnya, memandangi air hujan yang jatuh ke dalam kolam renang dalam diam.
Dia menghela napasnya panjang lalu menyandarkan tubuhnya. Sebulan sudah berlalu, dan keadaan sama sekali tidak membaik. Shania sampai kelelahan sendiri menunggu Beby memberikan kabar terbarunya. Rencananya minggu ini ia akan terbang ke Thailand, tentu tanpa lsepengetahuan teman-temannya. Kalau mereka tau tentu saja mereka tidak akan mengizinkan.
Shania sudah tidak tahan berdiam diri di rumah lebih lama lagi menunggu orang itu menelefonnya atau paling tidak mengirim pesan. Rasanya mustahil, Shania tau betul sifat buruk Beby. Kalau sudah melakukan sesuatu yang serius pasti akan lupa segalanya.
Di tengah-tengah lamunannya, suara deringan ponsel tiba-tiba terdengar di indera pendengarannya. Shania sedikit terlonjak lalu dengan cepat ia meraih ponselnya. Nama Beby terpampang disana. Shania menggeram lalu tanpa pikir panjang menjawab panggilan tersebut.
"Sebelum kamu buka mulut kamu, izinin aku buat marahin kamu dulu." Ucap Shania cepat. "Kamu tuh kemana aja sih? Astaga, aku hampir mati tau gak disini!"
"Setiap hari, setiap jam, bahkan setiap menit aku nunggu kamu ngabarin aku!" Kata Shania lagi dengan sedikit berteriak. "Kamu tuh kadang suka gak mikirin aku ya? Heran deh."
"Apa kabar?" Suara Beby terdengar sedikit pelan dan serak. Hal itu membuat emosi Shania meluap. Setelah pergi cukup lama dengan mudahnya dia menanyakan kabar?
"How dare you are!" Desis Shania. "Berani-beraninya kamu nanya kabar ke aku? Hebat."
Terdengar di ujung sana Beby terkekeh pelan. Shania melotot lalu menggeram. "Ketawa? Kamu pulang! Aku mau bikin tenggorokan kamu bolong! Kurang ajar kamu ya."
"Iya, sabar." Suara Beby kembali terdengar. Cara bicara Beby seperti berbisik. Kening Shania mengerut curiga. Tidak biasanya Beby berbisik seperti itu. Sekalipun dia sedang berada di kantor juga tidak pernah berbisik.
"Kamu ngapain? Ha? Jangan macem-macem ya, aku penggal kepala kamu."
Beby berdecak. "Satu macem aja kok." Beby menghela napasnya panjang. "Aku gak macem-macem Shania, percaya deh."
"Gimana mau percaya! Gak pernah ngabarin. Gak mau di temenin. Gimana gak curiga, hadeh." Shania memijat pelipisnya. "Kapan pulang?"
Beby berdeham. "Entah, secepatnya pokoknya."
"Tuh, aku gak sabaran kalo gak jelas gini. Aku susul kamu kesana ya?"
"Disana aja, jagain Kyla sama Zara." Jawab Beby cepat.
Shania mengerutkan keningnya saat mendengar Beby batuk-batuk beberapa saat. "Kamu sakit?"
"Nggak, keselek. Lagi makan."
Shania berdecak. "Dosa kamu ya, bikin aku khawatir terus. Udah deh, kamu pulang aja sekarang atau aku kesana deh elah."
"Sttt, udah diem. Aku nelfon kamu mau ngabarin aja. Soalnya beberapa hari ke depan aku mungkin agak sibuk dan gak megang handphone." Jelas Beby. "Aku mau ke desa terpencil gitu, observasi. Susah sinyal katanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Honest [Completed]
Fanfiction#528 in Fanfiction (10 Agustus 2017) Terkadang sebuah kejujuran bisa menjadi hal yang sangat menyakitkan. Sekuel dari Love Affair dan Afire Love 4/8/17 - 10/10/17