3. Für Elise

2.2K 162 30
                                    

"Ya ampun, beneran luka!" sahut Tami, temanku yang lain dari klub fotografi, saat melihat kepalaku yang perih usai 'diusap' seseorang tadi malam. Kepalaku mendapatkan banyak luka gores.

"Lo yakin diusapin? Bukan dicakar?" tanya Beni, ia juga anggota klub fotografi. Saat ini kami berempat —aku, Niko, Tami, dan Beni— tengah berkumpul di ruangan klub sepulang sekolah.

"Mungkin diusapnya pake kuku!" timpal Niko. Aku meringis.

"Iya kali ya," tanggapku lemas. Luka di kepalaku benar-benar perih dan membuatku jadi lemas seharian. "Tapi waktu dia ngusapin kepala gue.. gue kayak bayangin sesuatu gitu.. kayak mimpi!"

"Bayangin apaan emang?" tanya Beni penasaran. Ia mencondongkan tubuhnya ke arahku, tanda ia sangat tertarik dengan pembahasan ini.

"Gue.." aku mengingat-ingat. "Gue ada di rumah baru gue. Tapi rumah itu, masih kelihatan bagus. Terus ada bapak-bapak dan ibu-ibu gitu. Kayaknya mereka suami istri,"

Niko, Tami, dan Beni merengut heran. Aku tahu mereka pasti berpikir kalau ceritaku tadi sama sekali nggak nyambung dengan ceritaku sebelumnya —perempuan aneh yang kulihat tergantung di pohon beringin dan tampaknya ia juga yang mengelus kepalaku tadi malam—. Tapi aku tak peduli. Ceritaku belum selesai sampai disitu.

"Kayaknya, gue melihat masa lalu perempuan itu. Gue pikir, pasangan suami-istri itu orangtua 'dia'." aku sengaja menekankan kata 'dia' agar teman-temanku paham siapa yang kumaksud. Mereka bertiga mengangguk-angguk.

"Pasangan itu, selalu meninggalkan 'dia' sendirian di rumah. Dan 'dia' menangis sepanjang hari karena hari itu orangtuanya nggak balik lagi ke rumah,"

"Terus, terus?" Tami antusias meminta kelanjutan cerita.

"Udah. Yang ada dipikiran gue waktu itu cuma sampai situ."

"Yaaah.." ketiga teman dihadapanku nampak kecewa. Aku tersenyum kecil.

"Tapi.. kalian nggak nganggap gue lagi ngarang cerita atau apa kan?"

"Nggak kok." jawab Beni langsung. "Yaa walaupun kalau cerita lo itu dibikin novel horror, lumayan bagus juga."

Niko mendengus terhadap tanggapan Beni. Sementara Tami mengangguk setuju.

"Tapi.. kakak gue juga pernah ngalamin kayak gitu kok. Kakak gue emang bisa 'lihat' yang gituan. Dan dia pernah cerita dia diusap hantu waktu di tempat kerja. Dia bilang emang kerasanya perih." kata Tami.

"Terus waktu diusapin, kakak gue juga katanya kayak mimpi gitu, dia naik di atas kereta, masuk terowongan, terus tuh kereta jatuh. Dan ternyata, itu tuh kejadian waktu tu hantu meninggal. Jadi kayaknya emang benaran yang lo lihat tadi malem pas tu 'cewek' usapin lo itu masa lalunya." Tami melanjutkan.

"Kayak kenangannya gitu ya?" Niko manggut-manggut sambil mengusap dagunya, persis kakek-kakek yang sedang mengusap janggut.

"Terus gue harus gimana, dong?" aku meminta saran. "Gue nggak kuat kalau begini terus setiap hari."

"Pindah rumah aja!" saran yang benar-benar tidak berguna dari Tami.

"Gue juga maunya begitu. Tapi kan pindah rumah butuh biaya. Kalau ngekost, udah pasti gue juga nggak dibolehin!"

"Kalau menurut gue sih, lo nggak boleh sendirian di rumah." raut wajah Beni berubah serius. "Lo pas diganggu selalu lagi sendiri kan?"

"Waktu hari pertama sih.. iya!" aku menggigit bibir bawahku. "Tapi tadi malem kan, ada ortu gue!"

"Tapi waktu tu hantu muncul, ortu lo udah pada tidur kan?"

Aku berpikir. Iya juga sih. Kalau mereka masih terjaga, mereka juga pasti mendengar piano itu memainkan dirinya sendiri.

You Are (Not) AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang