17. Ternyata, Tami..

1.2K 104 6
                                    

"Tami! Tunggu!"

Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengejar Tami yang berlari kencang menghindariku. Saking kencangnya, ia lebih terlihat seperti melayang. Tidak peduli beberapa kali aku terjatuh, tersandung, terpeleset di jalanan yang licin, aku kembali bangkit dan mengejar Tami yang tampak ketakutan.

"Tami! Tami! Tungguuuu! Lo kenapaaa!?" jeritku, tak peduli jika teriakanku akan membangunkan orang-orang di sekitar.

Tami tak mendengarkanku, ia terus berlari dan berbelok ke jalan kompleks yang sepi, lalu menghilang begitu saja. Dadaku mulai terasa terbakar dan napasku terputus-putus. Akhirnya aku memutuskan untuk berhenti sebentar. Toh, Tami juga sudah tak terlihat lagi batang hidungnya.

Beberapa saat kemudian, barulah aku tersadar bahwa aku tidak tahu jalan untuk kembali ke rumah dari jalan kompleks yang sepi itu. Mengandalkan ingatan, aku menyusuri jalan yang sebelumnya kulalui sambil berlari dan membawaku kembali ke pemakaman tua. Entah kenapa, bukannya langsung pulang, aku merasa penasaran dan memutuskan untuk masuk kembali ke kawasan pemakaman.

Lalu, aku melihat Tami di sana, berjongkok di hadapan sebuah batu nisan. Bahunya berguncang hebat dan terdengar isakan kecil dari bibirnya. Sementara itu, senter yang sebelumnya dipakai Tami untuk menyorotku dari belakang diletakkan begitu saja di tanah. Dengan hati-hati, aku melangkah mendekati Tami. Berusaha untuk tidak membuat suara sekecil apapun.

"Tam.."

Tami menoleh. Kulitnya sangat pucat. "Ah, elo.."

"Lo kenapa ada di sini? Di pagi buta kayak gini?" tanyaku langsung. "Tadi kenapa lo lari?"

"Gue kira itu bukan lo," Tami menunduk dan memandangi batu nisan di hadapannya. Aku mengikuti arah pandangannya. Batu nisan itu kosong. Tidak ada nama yang terukir di sana.

"Jadi kenapa lo ada di sini, Tam? Bahaya tahu, jam segini keliaran!" komentarku tanpa menyadari bahwa aku sendiri sudah berkeliaran jauh lebih awal sebelum Tami. Tami hanya tersenyum tipis.

"Bentar lagi juga matahari mulai muncul kok. Lo sendiri, ngapain disini?" tanya Tami tanpa menoleh ke arahku. Ia terus menunduk dan memandang batu nisan dengan tatapan kosong.

"Gue.. tadi.. diganggu Elise. Terus gue.. lari gitu aja ke sini."

"Hmm," gumam Tami lirih. "Lo masih diganggu. Sorry, gue nggak bisa bantuin lo."

Aku mengangguk, tidak menyadari kalau Tami tidak akan mengetahui apa yang kulakukan. "Iya nggak papa, Tam. Lo.. pucet banget."

Tami tersenyum lagi. Tapi ini pertama kalinya aku melihat senyumannya begitu sinis. Aku meraih tangannya, namun Tami langsung menepis tanganku dengan kasar.

"Tam.. tangan lo dingin banget!"

"Gue nggak papa. Urus aja diri lo sendiri. Baju lo basah kuyup gitu."

"Tam, kalau ada apa-apa cerita sama gue dong." aku ikut-ikutan berjongkok di sebelah Tami. "Lo kenapa ke sini?"

"Emang cuma lo aja yang boleh dateng ke sini?" Tami balik bertanya dengan ketus.

"Bukan gitu, Tam. Tapi kan, ini.. pemakaman. Rumah lo juga lumayan jauh." jawabku cepat.

"Iya, ini pemakaman. Makanya gue ke sini juga karena gue mau ke makam orang yang dikubur di sini." Tami memejamkan matanya. "Ini.. makam Ibu. Ibu gue."

Mataku spontan membelalak lebar. Tami memang pernah bercerita bahwa ibunya telah menghilang beberapa tahun yang lalu. Segala upaya telah dilakukan, namun tidak membuahkan hasil. Ibunya tidak pernah ditemukan.

"Gue.. gue baru tahu, La. Malam ini." Tami kembali terisak. "Kenapa harus malam ini.."

"Nggak papa, Tam." aku mengusap-usap punggung Tami. Kaus putih yang ia kenakan sangat dingin dan basah terkena air hujan. "Yang penting, akhirnya lo tahu. Jadi lo bisa sering-sering ke sini."

You Are (Not) AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang