Sudah 2 hari aku tidak masuk sekolah. Sejak melihat wajah Elise dari dekat, tubuhku demam tinggi. Tapi sejak kejadian itu, aku juga tidak merasakan keberadaan Elise lagi. Di malam hari tidak ada lagi suara-suara aneh.
Saat ini, aku tengah menonton TV di ruang keluarga sambil makan keripik kentang. Menunggu kedatangan Niko, Tami, dan Beni yang janji menjengukku hari ini. Tahu-tahu, sebuah buku kecil mendarat dengan mulus di pangkuanku.
"Lho?" aku terkejut ketika melihat buku kecil yang kini ada di pangkuanku. Diary! Diary Elise!
"Apa-apaan ini? Kok tiba-tiba muncul disini!?" aku menyingkirkan buku itu dari pangkuanku dengan cepat. Menyimpannya di meja yang penuh dengan sampah bekas camilanku. Seingatku, diary itu kusimpan di kamar sejak terakhir kali aku membacanya.
Srek, srek, lembaran buku itu terbuka dengan sendirinya. Sampai di halaman terakhir yang kosong, muncul tulisan berwarna merah darah.
BACALAH!
Aku menghela napas. Baru saja aku berpikir bahwa Elise telah berhenti menggangguku, kini dia melakukannya lagi.
Aku sempat berpikir untuk tidak menuruti keinginan hantu itu, saat ingatanku menampilkan kembali wajah menyeramkan Elise di kepalaku.
Rambut hitam lebatnya yang panjang, mata sehitam jelaganya yang menonjol keluar, pipi kanannya yang tidak memiliki daging, gigi-giginya yang patah...
Hiii! Tanpa sadar aku bergidik dan mengambil diary itu dari meja dan mulai membacanya, sebelum Elise menampakkan wujudnya. Mencari cerita dalam diary yang belum kubaca.
Dear diary,
Hari ini adalah hari yang sangat menyedihkan bagiku..
Aku baru mengetahui bahwa Robert selama ini berbohong padaku.
Dia ternyata tidak pindah ke Jerman, seperti yang ia bilang sebelumnya dalam surat-suratnya.
Ia masih ada disini, dan telah menikah dengan wanita lain.
Hatiku sungguh hancur, saat dia mengatakan bahwa dia tidak mengenaliku di depan wanitanya.
Mama dan Papa, kabarnya usaha mereka bangkrupt..
Hari ini.. Mama mendorongku ke dalam sumur, aku tidak bisa bernapas dan kini..
Aku juga tidak bisa mendengar.
Aku menjadi tuli sepenuhnya.
Aku sudah tidak tahan lagi.
Kupikir aku harus membunuh Mama, sebelum ia membunuhku.Aku mengernyitkan dahi saat membaca baris terakhir. Membunuh? Membunuh orangtuanya sendiri? Apa yang Elise pikirkan?!
Tok! Tok! Tok! "Holaaa.. Niko yang ganteng sudah dataaang!"
Aku mendengus, bangkit dari sofa, dan membuka pintu depan. "Niko ganteng? Nggak salah lo?"
"Nggak lah, apa salahnya?" Niko nyengir sambil masuk ke dalam rumahku. Diikuti Tami dan Beni.
"Udah turun belum panasnya?" dengan perhatian, Tami memegang dahiku. Memeriksa suhu tubuhku.
"Udah kok. Tadi abis minum obat udah agak mendingan," aku mengambil sebotol minuman bersoda dari kulkas. "Kalau mau minum, tuang ke gelas sendiri-sendiri ya!" ketiga temanku mengangguk.
"Oh iya, La. Hari ini, gue pengen beresin halaman belakang lo." kata Beni.
"Halaman belakang? Kerajinan amat." aku menjatuhkan diri kembali ke sofa.
"Beni pengen nemuin sesuatu lagi, katanya." Tami geleng-geleng kepala.
"Ya, siapa tahu aja ada mayat yang selama ini belum ditemuin gitu, kayak di film!"
"Keukeuh banget lo." Niko mencomot keripik kentangku. Matanya melirik halaman diary yang masih terbuka. "Lo baca diary itu?"
Aku mengangguk. "Cerita hidup Elise menyedihkan." bibirku meringis.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are (Not) Alone
HorrorTahukah kamu, kalau kamu tidak pernah sendirian, sekalipun saat itu tidak ada siapa-siapa selain dirimu sendiri di rumah? Setidaknya begitulah, pengalamanku. [COMPLETED] Bacalah sampai kisah ini selesai, kalau kau bisa menebak akhir ceritanya, tanda...