Sejak kematian Tami, aku merasa semakin kesepian. Beni juga berubah. Dia tidak pernah ikut berkumpul di rumahku lagi, atau bahkan sekedar istirahat bersama di kantin. Aku tahu Beni menyukai Tami. Dan karena kepergian orang yang disukainya, Beni jadi murung dan lebih sering menyendiri di kelas atau di ruang OSIS.
Sementara itu, beberapa teman di sekolah mulai menyebarkan gosip tak jelas. Mereka mengatakan bahwa kejadian Tami ada hubungannya denganku. Akhir-akhir ini mereka memang menyadari kalau aku dan Tami menjadi tidak begitu dekat, dan hantu yang mengikutiku menjadi marah karena itu, kata mereka. Mengingat apa yang terjadi pada Tati —teman sekelasku— saat ia mengatakan sesuatu yang buruk padaku, aku juga tidak bisa menjelaskan bahwa aku sama sekali tidak terlibat dengan kematian Tami. Bisa saja sih, aku menjelaskan. Tapi untuk apa? Mereka pasti tidak akan percaya dan tetap menuduhku yang tidak-tidak.
Hari ini, seminggu setelah kepergian Tami, aku dan Niko mengunjungi makamnya. Beni tidak mau bergabung. Setelah itu, kami pulang ke rumahku. Berharap setidaknya untuk hari ini Elise tidak akan mengganggu.
"Fyuuuhh.." Niko merebahkan dirinya di sofa ruang keluarga. Sementara aku pergi ke dapur untuk mengambil minuman.
"Beni gimana dong? Sedih banget dia." aku mengangsurkan segelas air mineral dingin ke hadapan Niko. Niko langsung meneguknya hingga habis.
"Nggak tahu. Bingung." jawab Niko dengan frustasi. "Tapi, lo masih nggak mau jelasin apa yang terjadi hari itu?"
"Hari itu?" aku mengernyitkan kening. Bingung.
"Iya, waktu Tami meninggal." Niko menatapku tajam. "Lo.. pagi-pagi entah dari mana. Dengan baju basah kuyup dan muka kusut. Lo dari mana? Ngapain?"
"Hmm itu.." aku menimbang-nimbang apakah aku harus mengatakannya pada Niko atau tidak. Tapi pada akhirnya aku memutuskan untuk menceritakannya. "Sebenernya gue ketemu Tami,"
"Tami!?" Niko terkesiap. "Jangan-jangan, bener yang orang-orang bilang tentang lo!?"
"Maksud lo?"
"Lo yang bakar rumah Tami. Atau mereka bilang sih, hantu yang ngikutin lo. Dalam hal ini, Elise." Niko menatapku semakin dalam. "Itu bener?"
"Ya ampun, Nik. Masa' gue kayak gitu sih? Lo kalau nggak percaya ya udah deh, sana pulang aja!" aku menarik Niko sampai berdiri lalu mendorong tubuhnya ke arah ruang tamu.
"Bukan gitu," Niko menghela napas, lalu menahan tubuhnya agar tak terdorong maju. "Makanya lo jelasin!"
"Ya ini kan mau gue jelasin tapi lo belum apa-apa udah nuduh gue!"
"Nuduh apanya? Gue kan cuma bilang, kata orang-orang lo tuh begitu. Elonya aja yang sewot!"
"Abisnya mata lo tuh kayak yang nuduh gue!" debatku. Niko mendengus keras.
"Oke, oke. Sekarang jelasin!"
Aku menghela napas panjang. Lalu mulai bercerita, "Gue ketemu Tami pagi-paginya. Mungkin jam empat, gue juga nggak tahu karena gue nggak bawa jam. Gue—"
"Sebentar!" potong Niko. "Yang lo ceritain, kejadian pagi sebelum Tami diumumin meninggal di sekolah kan?"
"Iyaaaa.." jawabku dengan kesal karena Niko memotong omonganku.
"Tapi kan, Tami meninggalnya malem sebelumnya. Jam sebelas!"
"Ya mana gue tahu, Niko!" aku menggaruk-garuk kepalaku dengan frustasi. "Yang jelas gue ketemu dia di pemakaman tua yang—"
"Pemakaman tua!?" lagi-lagi Niko memotong omonganku. "Yang.. Robert? Yang.. banyak hantunya itu?"
"Ya." jawabku malas.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are (Not) Alone
HorrorTahukah kamu, kalau kamu tidak pernah sendirian, sekalipun saat itu tidak ada siapa-siapa selain dirimu sendiri di rumah? Setidaknya begitulah, pengalamanku. [COMPLETED] Bacalah sampai kisah ini selesai, kalau kau bisa menebak akhir ceritanya, tanda...