"Jadi.. gimana?"
Aku menatap Beni dengan ekspresi bingung. "Gimana apanya, Ben?"
Beni mencomot kentang goreng yang disuguhkan Ibu Niko beberapa menit yang lalu. "Setelah kita kubur diary itu di makamnya sesuai permintaan dia, lo udah nggak diganggu lagi, 'kan?"
"Siapa yang suka gangguin?" Ibu Niko tiba-tiba saja datang membawa bergelas-gelas jus jeruk yang nampak sangat segar. "Kalau ganggunya parah, bilang aja sama Ayah Niko, nanti dibantu pengawalan deh!"
Aku tertawa pelan. "Ah, nggak kok, cuma ganggu-ganggu biasa."
"Lagian kalau untuk gangguan yang ini, Ayah nggak bisa bantu!" sahut Niko. "Udah Bu, balik kamar aja nonton sinetron. Nggak usah kepoin obrolan anak muda!"
Ibu Niko mendelik sebal ke arah anaknya, tanpa berkomentar apapun. Namun, akhirnya beliau menuruti saran Niko dan kembali ke kamarnya.
"Nggak sopan lo, sama orangtua!" aku mendecakkan lidah sambil geleng-geleng kepala. Beni cepat-cepat mengiyakan.
Niko menggaruk kepalanya yang tak gatal. "Udah, lupain aja. Jadi gimana? Masih suka diganggu kagak?"
"Kagak," jawabku singkat. "Pokoknya sekarang aman terkendali."
"Lo yakin dia nggak akan muncul terus bikin lo celaka lagi?" tanya Niko dengan mata menyipit. "Terakhir kali aja, gue rasanya mau pingsan lihat kaki lo penuh pecahan kaca gitu!"
"Gue yakin, seribu persen!" aku mengacungkan ibu jari. "Dia udah nggak pernah muncul sama sekali sekarang."
"Syukur deh," Beni menganggukkan kepalanya. "Tapi, rumah lo itu, nasibnya gimana sekarang? Lo jual lagi?"
"Ya nggak lah, gue nggak mungkin tega ngejual rumah hantu ke orang lain. Ngasih gratisan aja nggak tega."
"Jadi tu rumah lo biarin aja gitu?"
"Mm-hm,"
Niko meneguk es jeruknya dengan santai. "Bagus lah. Kalau lo jual, bisa-bisa bakal ada korban selanjutnya. Gue yakin, dia nggak bakalan tenang hanya dengan kita kubur diary-nya."
Aku dan Beni kompak mengangguk, lalu iseng menyibakkan tirai jendela rumah Niko dan melihat ke arah rumahku yang dulu.
"Gue heran, kenapa nggak ada yang ngancurin tu rumah." gumamku pelan.
"Dulu udah pernah coba diancurin, tapi orang-orang sini malah dihantuin. Jadi nggak ada yang berani lagi," balas Niko sambil ikut bergabung di jendela, melihat ke arah rumahku.
"Eh, eh! Kayaknya ada orang dateng, deh!" Beni mengernyit bingung sambil menunjuk ke arah gerbang rumah itu. Sebuah mobil sport berwarna hitam baru saja tiba, dan seorang wanita muda keluar dari mobil dan membukakan gerbang. Mobil pun melaju dengan mulus memasuki pekarangan rumah.
"Lo yakin nggak ngejual, atau nyuruh orang lain buat jual rumah itu?" Niko menatapku curiga. Kami bertiga saling berpandangan.
"Nggak kok," aku menggeleng cepat.
Beni langsung bangkit menuju pintu dengan tergesa. Aku dan Niko mengikuti dengan bingung. Rupanya, Beni langsung berlari menuju rumah itu, rumahku yang dulu.
Tanpa ragu, Beni memasuki pekarangan rumah itu dan berjalan menuju pintu, hendak mengetuk pintu rumah. Sementara aku hanya sanggup melangkah hingga gerbang. Karena dia ada di sana. Menatapku tajam dari balik tirai jendela. Niko dengan cepat mengikuti Beni dan mengetuk pintu.
"Permisi.." Niko dan Beni mengetuk pintu dengan cukup keras. "Permisi.."
"Ben, Nik! Bahaya! Kalian ngapain, sih?" sahutku lantang dari depan gerbang. Beni dan Niko hanya melirik sekilas padaku, lalu kembali melanjutkan kegiatan mereka mengetuk pintu.
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are (Not) Alone
HorrorTahukah kamu, kalau kamu tidak pernah sendirian, sekalipun saat itu tidak ada siapa-siapa selain dirimu sendiri di rumah? Setidaknya begitulah, pengalamanku. [COMPLETED] Bacalah sampai kisah ini selesai, kalau kau bisa menebak akhir ceritanya, tanda...