Mual sekali.
Aku terus-terusan membayangkan darah hitam pekat Elise yang menggenangi lantai kamarku semalam. Baunya sangat anyir. Aku sudah membersihkannya dengan pewangi lantai, bahkan menyemprotkan pengharum ruangan dan parfum. Tapi, bau darah tetap mendominasi ruangan kamarku.
"Sakit?" Beni menghampiriku ke kelas, tepat saat bel istirahat berbunyi. "Pucet banget. Pulang aja gih,"
Aku menggeleng pelan. "Yang ada, kalau diem di rumah gue tambah sakit."
"Kalau gitu, kita sarapan yuk!" Beni langsung menarikku —atau lebih tepatnya, menyeretku— menuju kantin. Aku hanya pasrah diseret seperti itu, sembari membalas lirikan sinis beberapa teman sekelasku.
"Mau makan apa? Bubur? Bakso? Mie ayam? Soto? Kupat tahu? Sate?" Beni terus menyebutkan nama-nama makanan sepanjang jalan menuju kantin. Bahkan, makanan yang tak dijual di kantin pun disebutkannya.
"Mau minum aja," potongku sebelum Beni mulai menyebutkan nama-nama makanan dari negara lain.
"Oke deh,"
Aku bergabung dengan Niko dan Tami yang sudah ada di kantin. Sementara Beni membelikan minuman pesananku, susu murni.
"Pucet banget. Sakit?" Tami langsung menempelkan telapak tangannya di dahiku. "Pulang aja kalau sakit."
"Yang ada, kalau diem di rumah gue tambah sakit." jawabku, persis seperti jawaban yang kuberikan pada Beni di kelas.
"Elise.. masih ada ya?"
Aku menoleh pada Niko yang tengah menatapku tajam. "Kenapa, Nik?"
"Elise masih ada, ya? Dia tetap nggak tenang walaupun Robert sudah mati dan sudah minta maaf? Dia, masih gangguin lo?" cecar Niko, masih dengan mata yang menatapku tajam.
"Ya, ya, dan ya." aku mengangguk-angguk.
"Gue.. didatangi Elise semalam." Niko menundukkan kepalanya.
Eh? Niko? Elise mengganggunya juga? "Beneran?"
Niko mengangguk. "Biasanya dia datang lewat mimpi, tapi kali ini dia datangin gue langsung, La. Sumpah gue takut banget liat wajahnya."
"Halusinasi lo doang, kali!" Tami memaksakan tawa, walau sebenarnya ia juga nampak gelisah.
"Nggak, Tam. Ini beneran!"
"Apaan yang beneran?" Beni datang dan mengangsurkan segelas susu murni strawberry kepadaku.
"Elise datengin gue." tanggap Niko. "Dan dia bilang.."
"Lo harus jauhin dia?" Beni menatap Niko, namun jari telunjuknya menunjukku. "Gue juga sama,"
"Dia bilang apa lagi?" kejarku. "Bilang suruh kalian jauhin gue doang? Atau ada lagi?"
"Katanya, gue suruh jauhin lo kalau gue mau selamat. Dan kali ini dia nggak main-main. Dia nggak segan-segan ngebunuh gue. Pokoknya gue nggak boleh ikut campur soal lo dan dia. Gitu." Beni nampak santai, walaupun nada bicaranya sedikit bergetar. "Gue malah sampai dicekik, La. Nih!" Beni menunjukkan tanda kehitaman di sekitar lehernya. Tanda yang juga banyak kudapatkan setelah Elise beberapa kali memegang bagian tubuhku.
"Tapi, tapi, dia nggak bilang gitu sama gue!" Niko langsung bersemangat. "Dia nyampein pesan,"
"Pesan apa?" tanyaku dan Tami, bersamaan.
"Datanglah ke ruang bawah tanah, dan temukan rahasia terbesar yang selama ini tidak kalian ketahui." jawab Niko, matanya menatapku dengan misterius.
***
Aku terbangun pukul 2 dini hari karena bermimpi buruk. Dalam mimpi, aku tengah makan malam bersama orangtuaku, tapi yang tersaji di piring adalah potongan tubuh manusia yang masih berdarah-darah. Bahkan aku melihat bola mata yang utuh dan berkedut-kedut di piring Papa. Aku langsung merasa mual dan berakhir dengan muntah-muntah di kamar mandi.
Tiba-tiba saja, dentingan piano kembali terdengar. Für Elise, seperti biasa. Diiringi gumaman lembut Elise.
Ah, sial. Aku tidak bisa kembali ke kamar tanpa melewati ruang keluarga dimana piano itu berada. Dan jika aku melewati piano itu, tentu saja Elise akan menggangguku lagi.
"Kau telah ditakdirkan untuk menjadi temanku. Jadi tetaplah disini, dan jangan kemana-mana."
Suara itu terdengar tepat di belakangku. Sepertinya dari luar pintu kamar mandi yang tertutup. Suara Elise.
"Hanya kau yang mengetahui segalanya," katanya lagi. "Mengetahui bagaimana perasaanku, isi hatiku."
Suara Elise membuatku merinding. Sekujur tubuhku terasa membeku. Tanpa kusadari, Elise sudah berada di sampingku. Entah sejak kapan.
"Kau akan baik-baik saja." bisiknya tepat di telingaku. Membuat detak jantungku terasa berhenti sejenak. Tangannya lalu meraih bahuku. "Selama kau tetap diam dan menemaniku."
Entah apa yang kupikirkan hingga akhirnya aku memutuskan untuk berlari keluar dari kamar mandi dengan cepat. Namun, tentu saja, baru sampai di ruang keluarga, Elise menarik tanganku dari belakang hingga aku jatuh terjengkang.
"Mau kemana?" Elise mendekatkan wajahnya ke wajahku. Hingga aku bisa melihat matanya yang hitam semua itu berkilat-kilat. Bau busuk khas Elise menyakiti hidungku karena jaraknya yang terlalu dekat.
"A-aku, tidak.. punya waktu untuk, bermain-main dengan..mu," napasku terengah-engah hingga aku kesulitan bicara. Bola matanya yang hitam dan menonjol memelototiku. Dipelototi seperti itu saja, tulang-tulangku serasa menghilang dari tubuhku. Aku tidak bisa bergerak. Tenagaku tersedot habis.
"Hihihihihi.." Elise tertawa cekikikan. Suara tawanya yang cempreng memekakkan telinga. Membuat kepalaku sakit dan berdenyut-denyut.
Sementara itu, Für Elise terus mengalun dengan tenang sebagai background music.
"Aku hanya ingin memberitahumu sesuatu." Elise meraih rambutku, lalu memilin-milinnya dengan kukunya yang hitam dan panjang. "Ada yang harus kau ketahui tentang ruang bawah tanah. Aku menyimpan rahasia besar disitu."
"Rahasia terbesar yang akan membuatmu terkejut." lanjut Elise sambil menyeringai, darah hitam yang keluar dari bibirnya menetes ke mataku. Perih. Tapi aku hanya membisu, tidak bisa berkata apa-apa.
Ada apa di ruang bawah tanah?
***
Hampir lupa up😂 akhir-akhir ini sibuk banget, kalau ada yang mau minta feedback, kirim link nya di wall aja ya ntar pas ada waktu langsung aku feedback
Maaf kalau makin aneh yaa😭😂
Soalnya sebenernya cerita ini udah mau beres sih😁 mungkin mau lanjut pake season 2, dengan cerita dan sudut pandang yang beda tapi masih dengan bahasan "you're not alone". Biar kayak sinetron cinta fit*ri😂😂😂
Ditunggu kritik, saran, atau vote dan commentnya yaa, thankyou♥
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are (Not) Alone
HorrorTahukah kamu, kalau kamu tidak pernah sendirian, sekalipun saat itu tidak ada siapa-siapa selain dirimu sendiri di rumah? Setidaknya begitulah, pengalamanku. [COMPLETED] Bacalah sampai kisah ini selesai, kalau kau bisa menebak akhir ceritanya, tanda...