4. Pertemuan Kedua

1.6K 143 24
                                    

"Ayo, mainkan piano untukku!" desak Elise. Aku masih memejamkan mataku. Tangan Elise mulai bergerak ke kepalaku dan mengusapnya lagi.

"Ah.. tolong, jangan.." aku menggigit bibir bawahku. Menahan sakit.

"Kalau begitu, ayo mainkan aku sebuah lagu!" suaranya benar-benar lembut, tapi penuh desakan.

"A-aku.. nggak bisa main piano,"

Elise menarik-narik lenganku. "Aku akan mengajarimu! Cepat!"

Aku menggeleng. "Ini kan sudah malam. Orangtuaku sudah tidur. Nanti aku dimarahi."

Tok! Tok! Tok!

Aku refleks membuka mataku. Papa muncul dari balik pintu dan masuk ke dalam kamarku.

"Kamu ngomong sama siapa? Ini sudah malam, jangan teleponan terus!"

"A-aku.." aku melirik ke kanan dan kiri dengan hati-hati. Tidak ada tanda-tanda keberadaan Elise. Tangan dinginnya yang mencengkeram tangan kiriku langsung lenyap begitu saja bersamaan dengan ketukan di pintu kamar.

Papa berkacak pinggang, menunggu penjelasan. Tapi aku malah merengek.

"Papa.. aku mau tidur di kamar bawah dong bareng Papa Mama. Ya, ya, ya?"

***

Suara burung gagak menemani aktifitas pagi hariku yang tengah menjejalkan beberapa pasang kaus dan sweater ke dalam ransel. Aku akan mengikuti kegiatan kemah gabungan selama 3 hari bersama hampir seluruh murid sekolah. Bagi anak kelas X, kegiatan ini bisa dibilang ajang perpeloncoan, tapi bagi kelas XI dan XII anggap saja ini summer camp. Semua kelas X wajib ikut, sementara anak kelas XI dan XII yang wajib ikut hanya pengurus dan anggota organisasi. Sebagai anggota klub fotografi yang bertugas mendokumentasikan kegiatan, tentu saja aku wajib ikut.

"Yakin mau ikut?" entah pertanyaan yang keberapa kali yang telah terlontar dari bibir Mama pagi ini. Sebelumnya aku tidak pernah mengikuti acara camping apapun. Lebih karena Papa yang selalu melarang.

"Iya," aku menghabiskan susu cokelat buatan Mama hingga tetes terakhir. Papa memandangku dengan tatapan aneh.

"Sudah, nggak usah ikut saja." Papa buka suara.

"Yaaah, Papa gimana sih!" aku mencibir. "Aku juga pengen punya pengalaman baru!"

Dan, lebih tepatnya, aku ingin menghindari Elise, batinku.

Papa mendengus. Tapi akhirnya membiarkanku pergi. Dengan semangat penuh, aku berangkat ke sekolah bersama Niko. Dari sekolah, aku memutuskan untuk bergabung bersama kelas X naik truk tentara ke lokasi perkemahan. Pengalaman yang benar-benar baru. Dan aku menyukainya.

Bye, Elise. 3 hari ini kau tak bisa menggangguku! Aku tertawa dalam hati.

***

Ketika malam tiba, suasana hutan yang dingin justru berubah menakjubkan. Setidaknya, bagiku, yang belum pernah bermalam di hutan sebelumnya. Saat ini aku sedang berada di daerah Cikole, Lembang, tempat dimana perkemahan diadakan. Udaranya sangat dingin, pohon-pohon pinus menjulang, tapi langit dan bintang yang bertebaran terasa sangat dekat.

"Huh.." aku memijat bahuku yang terasa pegal dan berat.

"Kenapa?" Tami menghampiriku, kelihatan khawatir.

"Nggak papa kok," aku tersenyum. "Palingan juga masuk angin!"

"Ya elah," Beni tiba-tiba muncul dari belakang dan menepuk bahuku. "Baru juga hari pertama, udah masuk angin!"

Aku nyengir. "Maklum, baru pertama kali ikut ginian."

"Tapi kok lo sampe bongkok gini sih?" Beni memperhatikanku dengan aneh.

"Iyaa, nggak tau nih, kerasanya berat banget." aku terus memijat-mijat bahuku. Kali ini dibantu Tami.

"Istirahat aja gih," perintah Tami. Aku buru-buru menggeleng.

"Nggak ah. Nggak enak. Masa' yang lain sibuk, gue malah santai-santai?"

Tami hanya mengedikkan bahunya. Lalu bergabung dengan Beni dan anggota klub yang lainnya. Mengerumuni Kang Arif, salah satu alumni klub fotografi yang membawa sebuah kamera terbaru dan tercanggih. Aku —yang masuk klub fotografi bukan karena menyukai fotografi, melainkan untuk menghabiskan waktu di luar rumah— tidak bergabung karena tak mengerti apa-apa soal kamera dan segala macamnya.

"Hei, kamu yang disana!" sahut Kang Arif padaku. "Diem disitu ya! Kita mau coba foto."

Aku mengacungkan jempol dan bergaya menghadap kamera. Semua anggota klub yang melihat tingkahku langsung tertawa. Kang Arif mulai memotret.

"Kok.." Kang Arif mengernyit melihat hasil fotonya. Yang lain semakin berkerumun, penasaran dengan hasil jepretan kamera terbaru itu.

Kenapa? Ada apa? Aku bertanya-tanya dalam hati. Tapi malas untuk ikut berkerumun.

Tatapan semua orang yang melihat hasil foto Kang Arif kini tertuju padaku.

"Kenapa?" aku menggaruk kepalaku yang tak gatal.

"Whoaaaa!!!" kerumunan itu bubar dengan riuh. Yang perempuan berteriak histeris, yang laki-laki bergidik sambil berlari menjauh.

Apa-apaan sih!? Aku mendengus kesal. Emangnya aku hantu, sampai pada menghindar begitu?

Kang Arif justru mendekatiku. Tatapan matanya terlihat bersimpati.

"Mulai sekarang. Kalian nggak boleh biarin dia sendirian! Untuk menghindari terjadinya sesuatu yang nggak diinginkan. Mengerti?" katanya pada seluruh anggota klub sambil menepuk pelan lenganku. Aku bisa merasakan tangannya bergetar dan matanya memperhatikanku dengan aneh.

Seluruh anggota klub —yang sudah bubar gara-gara melihat hasil fotoku— mengangguk dari tempat mereka masing-masing. Ada yang bersembunyi dibalik tenda, dibalik pohon pinus, mereka jelas-jelas menjaga jarak dariku. Aku semakin curiga.

Mungkinkah..?

Kecurigaanku terjawab saat Kang Arif memperlihatkan hasil jepretannya tadi.

Aku terlihat biasa-biasa saja. Tersenyum ke arah kamera dengan dua jari tangan kananku membentuk huruf V. Yang terlihat berbeda adalah, postur tubuhku yang sangat bungkuk, dan..

Sosok perempuan yang bertengger manis seakan-akan sedang kugendong di bahuku. Kulitnya pucat, bajunya putih dan lusuh, dan wajahnya tertutupi rambut hitamnya yang panjang dan lebat. Rambutnya menjuntai hingga kepalaku.

Jantungku rasanya berhenti sejenak. Tiba-tiba saja, kaki pucat itu terlihat dengan mata telanjangku. Kakinya menggantung dari bahu hingga perutku. Refleks, aku mendongakkan kepala.

Dan saat itu juga aku melihatnya. Dengan jelas.

Bola matanya berwarna hitam tanpa sentuhan putih sama sekali. Sehitam jelaga. Sangat menonjol seakan-akan ia akan menggelinding keluar dari kelopak mata pucat itu. Menatapku.

Dan jika awalnya aku berpikir bahwa dia menyeringai, kali ini dengan sangat jelas kukatakan bahwa itu sebuah kesalahan. Dia tidak menyeringai. Tapi bagian pipi hingga hidung sebelah kanannya tidak mempunyai daging. Sehingga aku bisa melihat tulang pipinya dan gigi-gigi putihnya yang patah disana-sini.

O-oh.

***

You Are (Not) AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang