Kriiiit....
Pintu ruang bawah tanah terbuka dan menghasilkan deritan tajam yang memekakkan telinga. Debu tebal beterbangan, dan sebuah ruangan yang sangat gelap kini menyapa kami.
"Beneran masuk nih?" suara Niko yang bergetar mengejutkanku. Aku menoleh ke arah Niko sambil mengarahkan senter ponselku ke wajahnya dan membuat matanya menyipit. "Jangan ke wajah, dodol! Silau!"
Aku kembali mengarahkan senter ponselku ke ruangan gelap di hadapan kami. "Sorry. Walaupun gelap, ya udah masuk aja deh. Tanggung juga, kita udah kekunci di sini. Bukannya selama ini lo penasaran sama isi ruang bawah tanah?"
"Iya sih," Niko mendengus frustasi. "Tapi, gue nggak nyangka bakal ngunjungin tempat ini di detik-detik sebelum gue mati."
Aku tersenyum kecil sambil melangkah maju perlahan-lahan memasuki ruangan gelap itu. Niko mengekor di belakang sambil memegangi bahuku. Tangannya gemetaran hebat.
Mati? Ya.. hari ini kami akan mati.
Memang, apalagi yang akan terjadi, jika Elise sudah mengunci kami di ruang bawah tanah seperti ini?
"La," Niko berbisik tepat di telingaku. "Dingin banget nih.."
"Berisik!" desisku. "Lo bawa handphone, kan? Mending kita kelilingin ruangan ini sendiri-sendiri aja. Kalau lo nemu sesuatu yang bagus, panggil gue." aku melepaskan cengkeraman Niko dari bahuku dan mulai berjalan maju sendirian sambil mengarahkan senter ponselku ke berbagai arah.
Niko merengek ketakutan, tapi pada akhirnya dia menyalakan senter ponselnya dan aku mulai melihatnya berjalan ke arah yang berlawanan denganku. Ruangan ini berbau busuk dan membuatku mual, jadi aku memutuskan untuk terus berkeliling.
Baru sebentar berkeliling, aku menemukan sebuah lukisan terpajang di dinding. Lukisan wajah seorang perempuan berambut panjang, tengah tersenyum. Aku mendekatinya dan menyadari jika lukisan itu hidup. Matanya bergerak-gerak ke kanan dan kiri dengan cepat, dan senyumannya melebar saat matanya menatapku. Cepat-cepat aku arahkan senter ke tempat lain dan menjauh.
"Laaaa? Masih di sini kan?" panggil Niko tiba-tiba dari seberang ruangan, membuatku tersentak. Terlebih, suaranya terdengar menggema dan menyeramkan.
"Iyaaalaaah, emang gue bisa ke mana lagiii?" tanggapku dengan suara bergetar, mengingat aku baru saja melihat sebuah lukisan yang hidup dan tersenyum padaku.
Aku terus berjalan dengan pelan-pelan dan berhati-hati tanpa membuat suara selirih apapun saat..
Kraakk!
Aku terkesiap dan melangkah mundur. Kakiku menginjak sesuatu!
Ragu-ragu, aku mulai mengarahkan senterku ke arah lantai.
"Ooh.." desahku saat mengetahui apa yang kuinjak. "Niko.."
"Yaaa?"
"Ada.. mayat di sini." jawabku pelan sambil menjauh dari tulang belulang hancur yang baru saja kuinjak. Setelah mengambil beberapa langkah mundur, punggungku menabrak sesuatu yang keras dan dingin. Seperti papan besi. Namun, ternyata papan besi itu memiliki tangan pucat yang lalu mencengkeram leherku dari belakang.
"Aku menemukanmu,"
Kata-kata itu dibisikan tepat di telingaku, oleh seseorang yang pada awalnya kukira hanya papan besi. Oleh seseorang yang mengunciku di ruangan ini.
"Sudah menemukan apa yang kau cari?" ia mengetatkan cengkeramannya pada leherku, membuatku kehabisan napas. "Belum, ya? Kasihan.."
"Lepas.." pintaku lirih. "Tolong.."
KAMU SEDANG MEMBACA
You Are (Not) Alone
HorrorTahukah kamu, kalau kamu tidak pernah sendirian, sekalipun saat itu tidak ada siapa-siapa selain dirimu sendiri di rumah? Setidaknya begitulah, pengalamanku. [COMPLETED] Bacalah sampai kisah ini selesai, kalau kau bisa menebak akhir ceritanya, tanda...