14. The Truth (2)

1.2K 108 14
                                    

Aku terbangun dalam keadaan leher yang sangat sakit seperti habis dicekik. Bahkan aku juga tidak ingat kapan aku pergi tidur dan berbaring di ranjang kamarku. Seingatku, sepulang sekolah tadi aku melihat handle pintu ruang bawah tanah bergerak-gerak, lalu Elise menuliskan kalimat singkat yang menyeramkan di pintunya menggunakan darah dari pergelangan tanganku.

Ah, aku benci hal seperti ini. Mengingatkanku pada sore pertama saat aku bertemu Elise.

Aku melirik jam dinding. Masih pukul 8 malam. Kupikir Mama dan Papa seharusnya sudah pulang dan melihat apa yang telah Elise tuliskan di pintu ruang bawah tanah itu. Mama dan Papa harus memercayaiku sekarang.

Aku menuruni tangga dengan tergesa, membuat kayu-kayunya berderit kencang. Mama tengah menyiapkan makan malam di dapur. Tampaknya beliau juga baru pulang bekerja.

"Hey, udah makan?" sapa Mama saat aku menghampiri beliau.

"Belum."

"Bagaimana sekolahnya?" Papa datang dan bergabung.

"Biasa aja."

Mama dan Papa merasakan keanehanku. Mereka saling berpandangan dengan tatapan bertanya-tanya.

"Kenapa?" tanya Papa akhirnya. "Ada masalah?"

"Iya." jawabku langsung. "Rumah ini masalahnya."

Ekspresi Papa berubah dingin. "Papa kan udah bilang, kalau.."

"Pokoknya aku mau pindah." kataku tegas. "Kalau Papa sama Mama nggak mau, ya udah. Aku pindah sendiri aja. Katanya adik Papa ada yang tinggal di Bandung juga kan?"

"Tante Dian maksud kamu?" Mama nimbrung.

"Iya. Aku mau tinggal sama Tante Dian aja."

"Memang kenapa sih, La? Tolong dong, jangan rewel. Papa sama Mama juga kalau punya uang nggak akan tinggal disini dari awal." Papa terdengar sewot. "Tolong, tinggallah disini lebih lama lagi."

"Sampai kapan, Pa?" aku melirik ke arah piano tua di ruang keluarga. Elise ada disana. Memerhatikan kami sambil memilin-milin rambut panjangnya. "Aku nggak betah di rumah ini. Mama sama Papa sih enak, di kantor melulu. Aku pulang sekolah diem di rumah serem ini sendirian!"

Ekspresi Mama juga berubah. Aku mungkin sudah kelewatan karena mengatakan hal seperti ini disaat Mama dan Papa juga pasti sedang banyak masalah di pekerjaannya. Tapi mau bagaimana lagi? Aku juga sudah tidak kuat berada di rumah ini.

"Tinggallah disini sebentar lagi saja." pinta Mama dengan suara lembut.

"Sampai kapan, Ma?"

"Sampai.." Mama terdiam. "Nanti. Pokoknya nanti. Mama janji kamu akan pindah dari rumah ini."

Aku balas menatap Elise yang kini sedang menyeringai puas sambil menatap tajam ke arahku. Aku melihat ke arah Mama dan Papa. Mereka tampaknya tidak menyadari kehadirannya.

"Mmm.. tadi siang aku lihat tulisan aneh di pintu sebelah piano, Pa."

"Tulisan aneh apa?"

"Papa lihat aja deh sendiri."

Papa melangkah mendekati pintu ruang bawah tanah dan mengernyit heran. "Nggak ada apa-apa kok."

Aku mengekori Papa dan melihat pintu ruang bawah tanah itu bersih seperti semula. Tulisan "JANGAN DIBUKA" yang dituliskan oleh Papa pun masih ada disana. Aku langsung mengecek pergelangan tanganku.

Ada luka. Luka gores yang cukup panjang. Tapi sudah agak mengering. Aku bisa mendengar Elise cekikikan melihat tingkahku.

Kupikir, Elise masih ingin bermain-main denganku. Sebelum akhirnya membunuhku seperti yang lainnya.

You Are (Not) AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang