7 - Berlian dan Zamrud

402 37 3
                                    

Kakinya yang panjang sibuk mengetuk lantai porselin yang menimbulkan bunyi nyaring dan berirama. Nyaris lima menit lamanya, Jungkook mengitari ruang dalam rumahnya  mulai dari dapur hingga ruang tamu untuk sekedar memenuhi kebutuhan pribadi. Dengan satu nilai tambah, bahwa jungkook menyadari satu ha saat matanya tak lagi menemukan photo keluarga yang menghiasi dinding putih bersih rumah mereka. Bahkan photo masa lampau keluarga kecil yang berlibur di pantai itu, tak lagi bertengger di meja keluarga..

Ingatannya kembali memutar memori saat keluarga satu anak itu terakhir kali bersama.

“Ayah!” suara lembut anak kecil yang memegangi kaosnya berkata, “Liburan kali ini kita mau kemana?” giginya yang jarang tersenyum ke arah papanya.......................................,

“Ayah!” anak kecil itu, kini tumbuh menjadi remaja yang tampan, “Ibu tidak berangkat bersama kita.” sembari melihat ke arah wanita yang melambai dengan senyuman.

Pria yang ditanyai itu tidak menjawab dan segera asuk di balik kemudinya. Beberapa saat berselang, mobil itu melaju menuju trotoar dan jalanan komplek.

Cinta dan kasih di lubuk batinnya kian tumbuh membesar seiring rindu yang merajai hati kecilnya. Satu tahun berlalu, Jungkook hidup tanpa sentuhan dan nasihat ayah yang dulunya sering mengantarnya sekolah. Ia ingat ketika Jungkook kecil terbangun di tengah malam, sang ayah datang dengan sentuhan lembut mendarat di bahu Jungkook yang menelisik. Malam ini pula, tepat di sepertiga malam, kakinya menuruni tangga lantaran kantuk yang hilang mendadak. Tepat di sisi kanan anak tangga, ia melihat seberkas garis cahaya muncul dari balik ruang kerja Ayahnya. Tempat yang dikelilingi rak kayu, buku, lembaran kertas di meja. Hormon penasaran dalam tubuhnya, mengajak Jungkook singgah ke sana. Dalam halusinasinya, ia melihat sang Ayah tengah menatap monitor komputer.

Pria itu berhenti menekankan jarinya pada keyboard yang berbunyi ‘cetik-cetik’ untuk bersandar di punggung kursi sembari menatap langit-langit. Raut wajahnya nampak letih. Lantas dengan sedikit kekuatan , lengannya menarik  laci yang menyimpan selembar photo. Matanya berbinar saat menatap potret seseorang di udara.

Langkah kaki Jungkook maju perlahan ke arah meja saat photo itu kembali pada asalnya dengan bayangan sang ayah yang menghilang. Mata bulatnya membelakak, namun raut mukanya tak manampakkan keterkejutan selaras dengan tangannya yang mengeluarkan kertas photonya. Adalah sebingkai wajah wanita dengan garis senyum dari bibir tipis yang manis. Matanya juga indah memandang dihiasi bulu hitam nan lenting.

Yang jungkook tahu, wanita dalam photo bukanlah ibunya. Ia berbeda dengan istri dan wanita yang melahirkan Jungkook.

Sekilas, mata jungkook menangkap gerakan di layar monitor. Komputer itu menampilkan sebuah rekaman CCTV. Dalam video, nampak pasangan dewasa tengah cekcok dengan suara yang tidak jelas. Jungkook sadar, bahwa latar dari video itu adalah halaman rumahnya. Dan...., pasangan itu tak lain, ialah Ayah dan Ibunya.

“Jungkook-ah!” mendadak, muncul suara yang memanggil namanya. Begitu Jungkook menoleh, sang ibu sudah berdiri di ambang pintu.”Apa yang kau cari?”

Awalnya, Jungkook merasa terkejut, namun segera ia mengalihkannya dengan mimik wajar. “Tidak ada. Aku hanya ingin melihat barang-barang Ayah. “ tuturnya sembari beranjak keluar meninggalkan si ibu yang masih memaku di tempatnya.

***

Berkas sinar yang melewati dedaunan itu, membuat permukaan air nampak berkilau dengan batu kristal kecil. Bibir sungai yang serasa hangat saat matahari terik menyinari bumi karena saat itu sudah siang. Jungkook menunggu sahabatnya itu bicara dengan lutut yang ditekuk. Hingga burung-burung yang bertengger di dahan pun ikut mengisi kekosongan.

Ketidaksabaran mulai mengusik diri Jungkook, “Kemarin...., “ ia bertanya sembari melambungkan batu kecil di udara  “Kau ingin menemuiku. Bicaralah sekarang.”

“Aku sudah tahu dimana dia.”

Kerikil yang melompat-lompat dan siap terlempar kapanpun, tak jadi mendapatkan nasibnya saat Jungkook sedikit kaget, “Sungguh?! dimana?”

“Di sebuah bar. Di jalanan kota San Marino.”

“Tepatnya?!” tanya Jungkook antusias.

“Aku bukanlah anak jalanan yang tahu tempat di sudut kota, bahkan jalan tikuspun mereka paham. Aku tidak tahu nama jalan, tempat, bahkan tulisan yang tertera di toko. Dunia luar sungguh kejam. Aku takut berlama-lama di sana.”

Jungkook menghela napas. “Yeah! kau benar.” Dengan sedikit sesal, ia mengambil ranting kering dan mulai mencoret-coret permukaan tanah. “Seharusnya aku tahu itu.” ujar Jungkook tiba-tiba membuang rantingnya, "itu sebabnya kau meminta bantuanku.”

“Tapi kurasa,” ia menatap lekat pada pupil hitam temannya, “aku tidak perlu lagi bertemu dengannya. atau mungkin, ini adalah pertemuan terakhir kita. "

“Maksudmu?!”

“Kemarin siang, dua pasangan suami istr datang ke panti, dan mereka mencari seorang anak laki-laki. Ternyata mereka akhirnya memilihku untuk diadopsi.” Jimin mengambil gerak berdiri, “Jungkook-ah, mungkin hari ini adalah saat terakhir bagi kita bertemu. Terima kasih sudah menjadi teman perjalananku di kota. “

Diam dan hanya menerima jabat tangan dari temannya. Itulah sekiranya masa terakhir Jungkook dan Jimin.

***

Sejak kapan jalan beraspal di depan nampak begitu panjang dilalui.  Bahkan, perasaannya mengatakan, bahwa roda karet sepedanya telah menggelinding dengan kecepatnn tiga puluh meter per jam namun, tempat tujuannya tak kunjung sampai. Itu semua lantaran Taehyung gelisah. Masalahnya, Jungkook tidak bersekolah hari ini, dan di Bar milik ayahnya, masih tutup. Harus kemana lagi Taehyung mencari.
Di rumahnya. Oma-nya bilang kau Jungkook pamitan untuk sekolah. Sehingga Jungkook hanya berkendara di jalanan sembari menanggung kegelisahannya. Sampai sebuah jalan di ujung pandangnya, tengah di kerumuni muda-mudi yang bersorak sorai. Taehyung bergegas menancap pedal kayuhnya.

“Ayo! Ayo hajar dia!” pekik seseorang dalam kerumunan. Dengan sedikit tenaga dan keberanian, Taehyung menerobos lalu lalang manusia itu, “Permisi, permisi!” ucapnya lirih, teredam oleh pekik mereka.

Barisan manusia itu menyisakan satu dua orang di deret terdepan yang membuat Taehyung sedikit bisa melihat apa yang terjadi. Astaga..., matanya membelakak, mengisyaratkan keterkejutan saat mendapati satu remaja tengkurap tragis dengan pria berpotongan cepak dan jins koyak di bagian lutut tengah mengacungkan pukulan mengancam. Jungkook tak menginginkan penindasan, ia tak suka cara berandalan itu merenggut kenyaman dan keamanan seseorang.  Naluri kejantanannya maju untuk menantang. Namun sebelum ia sungguh terkujut dengan mereka, seseorang telah labih dulu menarik lengannya.

“Hai! Hai!” korban yang ditariknya bernama Jungkook, berusaha memberontak, “Apa yang kau—“ tubuh itu pelan terlempar ke tanah oleh kekuatan Taehyung yang dengan sekejab, tinjunya menyeruduk pipi Jungkook.
“Kau tidak perlu berbohong pada ibu dan nenekmu. “ ucap Taehyung dengan mata berapi-api dan mimik dinginnya, “Apa yang kau lakukan?”

Pipinya masih merasakan sakit, “Bukan urusanmu.”

“Jelas itu urusanku.” Bantah Taehyung yang iba melihat sosok temannya di atas tanah.

Jungkook memalingkan wajahnya, sembari bergumam, “Tidak ada yang mengurusiku. Semua orang pergi.” Dan sekarang giliran mata hitam Jungkook yang menyala, “Semua orang membiarkanku sendirian.”

“Sendiri?!” Taehyung berlutut untuk mengimbangi posisi Jungkook, “Kau bilang kau sendirian?! Lalu kau anggap apa nenekmu, ibumu, Ayahku....., dan diriku...., “ mendadak, napas Taehyung sedikit tersendat. “lalu bagaimana dengan diriku...., “sembari menelan ludahnya, “diriku yang berusaha selalu di sampingmu.” dengan cepat, Taehyung berdiri, “Aku kecewa padamu.” Lantas Taehyung bergegas menjauh.

Untuk ke sekian kalinya, Jungkook menghilangkan potongan puzzle dalam hidupnya yang bernama cinta, dari batu zamrud dan berliannya yang paling berharga.

===bersambung===










I NEED U / KOOKV (BTS FANFICTION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang