16 - Hadiah Natal ke-10

248 24 0
                                    

.jeon jungkook tidak peduli dengan jarum spidometer yang menunjuk garis pendek pada dua angka tujuhpuluh dan delapan puluh. Yang diinginkannya saat ini, adalah bagaimana ia duduk di kursi pengunjung kantor polisi sembari menyimak penjelasan inspektur Kim. Kelegaannya malam itu, saat ia menerima konfirmasi koor dari sang inspektur, masih terasa, bahkan tumbuh menjadi semangat.

Perjalanannya usai setelah menit ke empat puluh. Begitu ban skuternya melindas pelataran kantor, geraknya gesit menjagang motor, menapaki jalan masuk, hingga pantatnya menempel pada kursi merah berkaki beai. "Apa jawaban Anda?" Ujar jungkook tidak betah pada sang inspektur yang duduk di meja kerjanya.

Sifat seorang polisi haruslah tenang. Seperti itulah yang kentara pada rahang trapesium sang inspektur. "Seperti kataku kemarin, aku kagum dengan kejelian orang yang menemukannya." Matanya melirik pada gambar mesin sebuah mobil. "kedengarannya memang sederhana, namun jika orang profesional yang melakukannya, akan sangat memanipulasi. Kau lihat di sebelah sini," jari telunjuknya mengarah pada kumpulan kabel pada kotak mesin."ini adalah cara pelaku menipu mata orang awam. Ia sengaja memotong kabel rem dengan kasar agar terkesan seperti akibat dari benturan atau goresan dari kepingan mesin yang pecah saat mobilnya menabrak. Jadi ia bisa menyambunyikan penyebab kecelakaan lantaran kelalaian pengendara."

Seperti janjinya, jungkook hanya menyimak dan sesekali mengikuti arah pandang sang ahli.

"Tapi kau beruntung jungkook." Tiba-tiba ia berseru. "Pelakunya bukan pembunuh profesional." Mata inspektur Kim terfokus pada Jungkook, seolah laki-laki berusia paruh dua puluhan itu meminta reaksi."ibumu atau ayahmu punya langganan montir sebelumnya?"

"Entah, tapi aku sering menemani ayah ke bangkel.."

"Bingo!" Sahutnya sembari menjentikkan jari."aku menemukan sidik jari pria di cup mobil ayahmu." Lantas ia menggeser layar komputernya agar jungkook dapat melihatnya,"Dialah orangnya."

Satu siang sebelum telepon inspektur Kim Jungdae.

Jungkook melayangkan pandangnya ke setiap sudut stasiun. Usai tiga detik, bola matanya balik menatap Taehyung yang duduk di kursi tunggu."Sebentar lagi, dia akan datang." Jungkook melihat kepulan karbondioksida keluar dari mulutnya,"ini," Ia melepas sleyer dan mengalungkannya di leher Taehyung. "Jagalah suhu tubuhmu." Lantas iapun bergegas pergi meninggalkan Taehyung.

Kini. Kim taehyung sungguh sendirian. Menunggu dalam diam, dan mereplika bayang park jimin di otaknya yang mungkin sekarang sudah berubah. Teman lama.

-

Mata itu tak mau berhenti menyilik Taehyung. Sudah nyaris duapuluh menit jungkook menyembunyikan sosok dan pandangannya. Semenjak ia meninggalkan Taehyung di sana, Jungkook tak tega melakukannya. Sepuluh menit berikutnya, syarafnya merasakan getaran dari saku celana. Itu akibat dari ponselnya yang menerima pesan singkat. Nama Jimin tertera di layar monitornya dan sontak pupil jungkook melebar saat ia menelusuri tiap kata.

Tapak kakinya berderap menapaki lantai porselin."kita harus pergi sekarang."  Telapaknya yang dingin tanpa sarung tangan merangkul jemari Taehyung.
-
-
Dua anak manusia, Taehyung dan Jungkook, tengah duduk di dalam bus yang melintasi jalan raya dengan gundukan salju putih di halaman bangunan-bangunan yang dilaluinya. Jungkook sengaja menghindar dari hawa dingin yang menusuk jika ia menggunakan skuternya untuk bepergian. Lututnya yang terbuka, menyentuh kaki kanan Taehyung. Mereka memilih diam menikmati perjalanan.
Tapi mulut Jungkook tak bisa diajak kompromi, alhasil, “Maafkan aku. “ ia berujar untuk memecah kerikuhan suasana.”Kau pasti kedinginan. “ sembari melihat bibir Taehyung yang membiru.

“Tidak.” Sahut Taehyung, “Ini hangat.” Ia memegang syal rajut milik Jungkook untuk memperkuat argumennya.”Bahannya juga lembut.”

Jungkook tersenyum. Pujian Taehyung barusan seolah membawa otaknya untuk mengingat masa lalu, “Ibuku yang merajutnya.” Lantaran ini adalah pertama kalinya Jungkook memakai hadiah natal ke sepeluhnya itu setelah enam tahun silam hanya ia onggokkan dalam almari kayu.

“Ini nyaman.”

***

San Marino utara, Blok B, Selatan SPBU. Jungkook mendapatkan alamat itu dari buku telephone yang tersimpan di loker kerja ibunya. Benar dugaan sang inspektur, ia adalah seorang montir langganan Ibunya. Usai menempuh waktu setengah jam dengan angkutan, dan sepuluh menit sisanya dengan jalan kaki,  Jungkook sudah berdiri di hadapan pintu putih dan tengah mengetuk rumah itu. beberapa kali pukulannya diulang.

Sampai pada ketukan ke empat, gendang Telinga Jungkook merekam bunyi klik kunci berputar. Seorang wanita muda muncul dari balik pintu, “Iya.” Tanyanya ramah.

“Saya adalah anak Tuan Kim Namjoon,” Jungkook memperkenalkan dirinya, “Saya yakin Anda mengenal orang tua saya.”

Sontak, mimik wajah wanita tiga puluh tahun itu berubah kaget, matanya melebar begitu Jungkook menyebut nama ayahnya, “Sepertinya Anda salah alamat.” Jemari tangannya yang dilingkari cincin perak, berusaha kuat mendorong pintu, menghalangi tamunya masuk.

Untungnya Jungkook bergerak gesit, ia yang notabene mempunyai tenaga lebih sebagai laki-laki, balas mendorong, “Bisakah Anda membiarkan saya bicara dengan Tuan Minseok sebentar saja.” urat-uratnya nampak jelas di sekitar rahang.

Akhirnya si wanita menyerah, dengan langkah pasrahnya, ia menuntun Jungkook menjamah ruang tamu itu. “Duduklah, aku akan memanggil suamiku.” Lantas ia pergi dan menghilang di pintu berikutnya.

Pria bernama Minseok itu muncul setelah menit ke lima. Ia adalah pria muda yang jungkook perkirakan usianya masih tiga puluh dua, walau ia mengalami masalah dengan tinggi badan. Tidak ada yang pantas dari tubuhnya untuk seorang montir. Kulitnya terlalu putih bahkan bisa disejajarkan dengan artis yang sering perawatan. Langkahnya lamban menghampiri Jungkook.

“Anda pasti mengenal ayah saya, Kim namjoon. “ Jungkook mengajukan pertanyaan klise. “Saya ingat pernah mendatangi bengkel Anda sekali.” Tambah Jungkook.

Pria itu hanya diam, entah ke arah mana pandangannya tertuju. Yang Jungkook tahu, Minseok seperti tidak menghiraukannya.

“Apa yang Anda lakukan dengan mobil ayahku.” Jungkook langsung ke intinya.

Mulai sekarang, Minseok mau memandang lawan bicaranya,”Memperbaiki mesinnya.” Namun seruannya tak lebih lantang dari gumaman. “Aku hanya memperbaiki mesin mobilnya yang panas, mengganti aki dan oli.” Sekarang ia bicara dengan keras berusaha memberi tekanan untuk jawabannya, sedetik berikutnya, ekspresinya berubah memelas. “Aku tidak berniat melakukan sabotase. Ia terus mengancamku.” Tuan Minseok semakin tak terkendali dengan perasaannya. “Ia bilang akan melaporkanku ke polisi jika tidak menurut.”

“Apa?” antara tidak menyimak dan memastikan, Jungkook berseru kembali, “Apa yang anda bicarakan.”

“Nyonya Jin, Kim Seokjin yang memintaku memutus kabel rem mobil suaminya.” Montir muda itu menunduk bersalah, “Saat itu aku ketakutan. Seluruh tubuhku bergetar, nadiku berdegup kencang, keringat dingin mengucur ke punggungku dan dahi. Aku sudah tidak bisa berpikir sehat lantaran ancaman itu.” Sekarang, “ suaranya bergetar, “aku tak mau lagi bersentuhan dengan mesin-mesin sialan itu.”

Tak sengaja jungkook melihat nyonya Minseok yang langkah kakinya menarik perhatian. Ia nampak membelandang dengan air mata menggenangi bagian bawah indera penglihatannya. “Sekarang kau puas. “ Hardiknya diikuti isakan, “Kau puas sudah membuat suamiku hampir gila. Kuminta kau untuk pergi dari sini!” Perintahnya sembari memegangi lengan suaminya.

===bersambung===

I NEED U / KOOKV (BTS FANFICTION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang