21 - Ketukan Palu

367 19 0
                                    

Langkah kakinya gesit menapaki tangga. Pikirannya sudah kalut dengan bisikan-bisikan dari efek pembicaraannya dengan Montir muda itu. Setelah anak tangga ke empat puluh sembilan, sepasang telapaknya telah menginjak pelataran kamar ibunya, menata mental, bersama jemarinya yang perlahan memutar kenop.

Betapa ia terperangah manakala menyaksikan pemandangan Jin bersama sebilah pisau yang ujungnya merelang diterpa cahaya neon.  Alat dapur itu telah siap menyayat kulit siapapun yang diinginkannya. Jin tersenyum ringan untuk Jungkook. “Jungkook-ah!” ucapnya, “Aku senang kau memakai kembali syal natalmu. Aku senang bisa kembali makan malam bersamamu.” Disetiap kalimatnya, terdapat jeda satu detik, “Jungkook-ah!” kini, sang ibu tersebut membuat mimik sabak,”Kau sudah tahu kebenarannya saat naik kemari.”

“Ternyata benar.” Komentar Jungkook singkat, “Aku sedih mengakuinya. “ sembari langkahnya perlahan mendekati si Ibu dengan kesiagaan, “Sekarang apa rencana ibu? Kau akan membunuhku juga?!”

“Aku minta kali ini kau diam, jangan menghalangiku. “ tubuh dan kakinya ikut bergerak selaras dengan Jungkook yang mendekatinya. Sontak pisau itu berkilat tatkala menggores dengan lekas, dan...,

PLAG!

Sebuah buku menghantam lengan kanan Jin yang membuat pisau itu terlepar lumayan jauh sebelum menorehkan luka iris lebih dalam. Tapi sayangnya, darah itu sudah terlanjur mengucur mengenai baju Jin.

“Agrr!” wajah Jin mengernyir menahan sakit di pergelangan tangannya. Matanya setengah terbuka memandang bekas goresan mata pisau yang mengoyak kulit di samping jalan nadinya. Sial. “Sudah kubilang jangan ikut campur!“ hardik Jin pada Jungkook yang berjongkok mengambil pisau berdarah itu, “Kenapa sifatmu keras sekali.”

Pandangan Jungkook fokus pada aliran darah segar di permukaan pisau itu, merah terang. Sesaat senyumnya menyingit. Dan PRAAKK! pisau itu melesat cepat mengenai kaca rias yang membuat kepingan kecil bercercapan sebagai bentuk kemurkaannya,. “Kenapa ibu lakukan itu!“ nada bicaranya memang rendah, namun terselubung sifat memberangsang di dalamnya, “Kau tahu kehidupan yang harus kubayar selama ini?!” gerak langkahnya menakutkan, “KAU TAHU AKIBAT DARI  PERBUATANMU!!" seru Jungkook membahasa ke seluruh sudut.

“Wanita jalang itu yang memulainya. “ Jin semakin gentar terhadap putranya sehingga punggungnya sudah mentok di depan laci. “Di-dia yang—“

“Agrrr!” erang Jungkook liar, tangannya buas menampik benda diam di atas meja pula, yang menimbulkan bunyi gemetak dan benturan hebat. Jungkook berhenti di tempatnya, dadanya naik turun lantaran proses respirasi, “Kenapa?” pandangannya beragah pada ibunya, “Kenapa kau tega membunuh ayah. KENAPAA??!!” jungkook tak butuh lagi jawaban, bersama kemarahan tertahannya, ia keluar dengan menyaruk kerumunan benda jatuh dalam langkahnya.

“Aku lelah. “ seru Ibunya tiba-tiba, “rasanya ingin mati saja.”

Jungkook berhenti tepat di ambang pintu yang hendak dilaluinya. Tanpa menoleh ia berucap, “Mati saja. tidak ada gunanya hidup.”

DOR!!!!

Tak sampai sedetik, seruan tembakan itu mencuat. Jungkook berpaling untuk memastikan. Dalam pandangannya yang tertegun nan kaku, deraian darah bergerak menuruni kaki Jin dan menggenang di lantai bersih.
..........................................................................

Jungkook termangu dengan posisi duduk berambin di balik jeruji besi. Mengingat kembali kepingan peristiwa malam itu, takkan membukakan kurungan besi ini. Paling tidak itu hanya anggapan mereka, segelintir orang yang tak suka dengannya, atau mereka yang bicara soal kebenaran dan hukum. Baiklah, malam ini ia akan terlelap di sini.
-
-

Inspektur Jung mempelajari mimik serius dari wajah dokter Kyungsoo. Pria berjas putih panjang itu sudah terdiam nyaris satu menit. Lantas, ia mulai bicara “Aku menyesal terlambat memberitahumu.” Nadanya sabak terdengar.”Jungdae! kau harus melakukan sesuatu. Bocah itu tidak bersalah. Ibunya mati lantaran racun yang ditenggaknya satu jam sebelum luka gores dan tembakan itu. tidak ada manusia yang mati detik itu juga saat peluru panas menjebol betisnya. Lagipula, “ dokter itu belum cukup menjelaskan, “Mati karena pendarahan paling cepat terjadi sekitar seperempat  jam.”

-
-

Senin di bulan Nopember, salju turun tak henti-hentinya sejak pagi, bahkan sisa-sisa butiran putih masih mengotori jendela kaca kamar inspektur Jungdae yang membuat pandangannya terhalang ke luar. Malam ini, pasti akan dingin jika tidur tanpa alat pemanas dalam jeruji. Jungkook memang bukan kerabat, sanak saudara atau bukan adiknya pula. Tapi mengapa sepanjang malam mulai pukul enam sore silam, sosok Jeon Jungkook sungguh merasuki pikiran polisi itu. Yang ia tahu, Jungkook adalah warga sipil tak bersalah yang harus menerima hukuman. Jelas, ketidak adilan ini mendorongnya untuk menelepon karibnya.

Bunyi tutt terdengar beberapa kali saat polisi itu menempelkan ponselnya untuk menunggu sahutan.

“Hallo!” setelah masuk ke menit pertama, suara itu terdengar, “Tidak biasanya kau meneleponku selarut ini?” nada bicaranya merebak rendah, mungkin Inspektur telah mengganggu tidurnya.

“Aku butuh bantuanmu.”

"Yaa....,”

"Bisakah kita bertemu sekarang?" Sebenarnya, Inspektur tak yakin dengan ajakan yang hampir mustahil itu. Detik ini, jarum jam dinding di atas ranjangnya masih berhenti di angka dua, menunggu jarum detik berputar penuh. Jika...,* akhirnya, inspektur itu mengurungkan niatnya setelah semenit tak ada jawaban, "besok saja...,* kalimatnya tak pernah selesai lantaran hati kecilnya ingin membantu remaja itu.
"Tentu."  Sahutnya mendadak, "Kupastikan kau akan meneraktirku whine."akhirinya yang diikuti bunyi 'tut..tutttt...'

***

Jaksa penuntut berdasi merah garis-garis itu berdiri saat hakim agung meminta presentasi tuntutannya.

“Terima kasih atas kesempatannya yang mulia.” Tubuh tegap dan berisinya berbalik, “Saudara Jeon Jungkook telah melakukan tindak kejahatan berupa pembunuhan terhadap korban bernama Kim seokjin yang bukan lain adalah ibu Anda sendiri. Saudara Jeon Jungkook telah menghilangkan nyawa korban dengan menyayat aliran nadi di tangan kiri korban. Tersangka juga menembak betis korban dengan kaliber 15.”

“Saya keberatan!” pengacara pembela Jeon Jungkook angkat bicara, “Saudara Jeon Jungkook tidak terbukti melakukan pembunuhan.  Menurut hasil outopsi yang dilakukan oleh Dokter Do Kyungso, korban meninggal lantaran overdosis obat. Bukan karena luka sayat atau luka tembak yang menyebabkan kehilangan banyak darah.”

“Keberatan. Menurut kesaksian saksi, saudara Jungkook melakukan kekerasan terhadap korban. Tersangka juga membenci korban.”

Advokat berpengalaman itumengkis konklusi jaksa, “Keberatan! Saudara Jeon Jungkook memang membenci ibunya, namun ia hanya lepas kendali tanpa melukai siapapun saat itu.”

Atmosfir ruang sidang itu kian lama semakin emmanas seiring dengan perdebatan jaksa penuntut dan advokat pembela Jungkook. Mau tak mau, hakim pun memutuskan jeda istirahat sepanjang sepuluh menit berikutnya.

Jungkook duduk di kursi luar ruangan sementara bersama pengacaranya yang masih mempelajari berkas-berkas. Sang inspektur datang dari arah barat, “Jungkook!” ia membuat wajah Jungkook sedikit menengadah, “Kau tidak perlu cemas, Pengacara Park Chanyol adalah profesional.” Seseorang yang merasa terpuji pun berpaling dengan senyum.

“Terima kasih.” Ujar Jungkook singkat.

-
-

Menjelang penghujung acara di sesi kedua pengadilan ini, hakim mulai angkat bicara dengan palu dihadapannya, “Dengan ini, saya nyatakan saudara Jeon Jungkook tidak bersalah. “ bunyi ketukan palu tiga kali pun menyertai berakhirnya sidang.

===bersambung===



I NEED U / KOOKV (BTS FANFICTION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang