TWELVE
***
[Fabi POV]
Aku mundur teratur dari sisi pintu ruangan Diego. Rasanya tidak enak. Ini lebih sakit dari menerima undangan pernikahan Bonbon. Ntah udara disekitarku tidak ada, atau memang aku merasakan sesak dada yang amat mendalam.
Aku berbalik begitu saja tanpa berniat menuju ruangan Diego lagi. Bulan terlalu susah digapai. Tubuhnya mungkin milikku, tapi setengah hatinya masi tertinggal pada Diego.
Aku berjalan dengan wajah datar tanpa melihat kiri dan kanan. Aku mengatupkan rahangku dengan kuat. Menahan semua emosi yang rasanya ingin meluap.
BRAK
Aku menabrak seseorang dan menjatuhkan semua berkas yang ia bawa. Aku menetralkan emosiku dalam sekejap, dan segera membantu wanita didepanku untuk memungut berkas yang aku jatuhkan. Aku mengangkat berkas itu dan menyodorkan kepadanya.
Ternyata orang yang aku tabrak seorang wanita. Dan ia dokter. Aku rasa, karna penampilannya yang memakai jas dokter. Atau hanya koas saja? Ntahlah. Perempuan ini mendongak dan aku terdiam akan tatapan tak percaya darinya. Aku mengangkat alis, dan tanganku masih memegang berkas miliknya.
"FABI?!" tembak wanita didepanku. Aku menatapnya datar sambil mengangguk.
"Iya?" jawabku ragu.
"Kamu Fabi kan? Beneran Fabi kan?" tanya dokter didepanku ini.
Aku mengangguk lagi. "Siapa ya?"
Wanita itu cemberut dan menyembunyikan anak rambutnya ke belakang telinga nya. Manis. "Kamu lupa? Aku Alifa loh.. "
"Alifa?" aku mencoba mengingat siapa wanita didepanku ini. Rumus fisika lebih lengket diotakku daripada nama orang.
Wanita didepanku mengangguk. "Iyaaa!!" serunya bersemangat.
Aku berpikir lagi, mengingat siapa didepanku ini. "Maaf saya lupa.." jawabku tak enak. Aku sangat-sangat lupa dengan wanita didepanku ini.
"Aku temen waktu kecil kamu loh! Waktu di Bandung dulu. Papa kamu sama Ayah aku sahabatan! Nama Ayah aku Hanif! Aduh.. masa kamu lupa, kita dulu sering main bareng, ngambil pisang bareng, masa lupa? Kita pernah main dinikah-nikahan.. main dokter-dokteran sampe main masak-masakan. Kamu gak inget?" tanya nya kembali. Aku terdiam untuk berpikir.
Alifa.. temen waktu kecil.. di Bandung.. seorang Dokter.. temen deket dulu.. dan Ayah nya sahabat Papa.. Om Hanif..berarti dia.. "Kamu perempuan yang mau dijodohin sama aku?"
Nada ku teramat datar. Dan aku rasa dia tersinggung? Sepertinya. Karna nada bicara ku seperti tidak suka. Jujur, aku tidak menyukai situasi seperti ini.
Alifa mengangguk samar. "Ya bisa dibilang gitu deh.. kamu kok disini?" tanya nya ramah dan mengambil berkas yang aku pegang dengan perlahan.
"Ada temen yang lagi sakit disini." jawabku kembali datar. Emosiku belum sepenuhnya hilang.
Alifa mengangguk mengerti. "Kita udah lama banget gak ketemu. Semenjak kamu pindah ke Jakarta terus aku pergi ke Sydney. Jadi kita gak ketemu lagi deh. Udah sampe lima belas tahun lebih. Kamu gak kangen gitu sama Alifa yang imut ini?" tanya nya manja. Aku tersenyum melihat tingkahnya.
Aku ingat. Dia wanita yang selalu menangis ketika tidak makan pisang sehari saja. Aku meliriknya. "Masih sering makan pisang?"
Dia tertawa. "Lah si ganteng inget! Ya gak sering banget kayak dulu. Sekarang mah seminggu tiga kali lah."
Aku mengangguk mengerti.
"Kamu arsitek ya? Katanya sekolah di Australia juga, kok gak ketemu ya?" tanyanya santai.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TCS-2] Gruchple
Teen FictionBekerja sebagai arsitek bukan hal yang mudah bagi Fabi. Ia harus mampu mengatur jadwal karna rancangan yang ia kerjakan harus selesai tepat waktu. Perihal wanita tak pernah ia gubris. Bahkan Tuan Levi saja ragu melihat putra tunggalnya akan memiliki...