Empat Tahun kemudian
Vian tersenyum menatap bangunan megah, dimana salah satu apartemen itu menyembunyikan istrinya dalam sepi. Tepat keempat tahun setelah perpisahan mereka karena Vian mendapat kesempatan mengemban pendidikan di university's New York City.
Awalnya Vian menolak namun dengan pengertian istrinya mendukung kesempatan itu meski harus membatasi mereka dalam kurun waktu lama dan tempat yang begitu jauh.
Tak sia-sia pengorbanan mereka yang saling menyakiti hati, membebani rindu karena perbedaan tempat sekaligus cuaca. Vian kembali setelah sukses membawa gelar yang di impikannya, untuk memajukan kejayaan di perusahaan papanya.
Dengan senyuman yang terus mengembang, Vian sesekali menciumi bunga mawar yang tadi sengaja di belinya untuk sang istri tercinta. Tak henti-hentinya ia mengatakan dalam hati bahwa ia begitu mencinta Elsa, merindukan begitu dalam teman hidupnya itu.
Ketika sampai di depan pintu apartemen, Vian melancarkan jarinya mengetik sandi untuk membuka pintu. Begitu terbuka, Vian melihat istrinya sedang merentangkan tangan di balkon kamar menyambut mentari yang pertama kali menyapa bumi.
Jantung Elsa berdegup kencang tatkala ia merasakan aroma maskulin suaminya yang begitu melekat dalam saraf penciumannya. Ia begitu hafal harum itu.
"Aku merasakan kehadiranmu dalam rinduku. Angan-anganku menuntunku menikmati harummu, canduku." Elsa memukul kepalanya sambil terkekeh merutuki ucapannya.
"Jadi pengen nelfon Alvian" katanya antusias membalikan tubuhnya yang langsung membentur tubuh tegap di belakangnya.
Elsa menutup mulutnya tak percaya, tubuhnya tiba-tiba bergetar setelah mendapati sosok yang di rindukannya saat ini berada tepat di depannya. Elsa menggelengkan kepalanya, air matanya yang jatuh bersamaan dengan senyum yang memancar di wajah cantik itu.
Tidak ada yang membuka mulut dari mereka berdua yang masih menikmati sosok di depan masing-masing. Mata mereka hanya saling meneliti dan menatap.
Vian menyodorkan bunga mawar merah kepada Elsa. Dalam diam dan diterima dengan diam juga. Masih enggan membuka mulut sampai akhirnya Vian merentangan kedua tangannya.
Elsa terkekeh namun air matanya semakin deras, melepas ketegangan dan masuk ke dalam dekapan yang di rindukannya itu. Membalas erat pelukan suaminya yang dapat ia rasakan sangat merindukannya juga.
"Jahat"
Vian tertawa renyah, mengusap kepala istrinya "Maaf sayang, maaf sudah buat kamu menunggu terlalu lama. Maaf sudah membiarkanmu larut dalam sepi. Terimakasih masih menungguku"
Elsa semakin terisak , terus mempererat pelukannya di tubuh suaminya seakan takut suaminya pergi lagi. Membiarkan dirinya berteman dengan sunyi.
"Aku sayang kamu, suka kamu, cinta kamu, rindu kamu, tapi benci sama kamu. Kamu lama banget. Kamu ngga punya pacar kan? Ngga tertarik sama bule disanakan? Ngga nyoba nikah diam-diam kan sama cewek bule sana?" todong Elsa dengan berbagai kalimat yang menurut Vian suatu lelucon.
"Aku ngga punya pacar, cuma punya istri, itupun cuma satu. Namanya Elsa Arqanaya. Istri satu aja udah buat pusing gimana mau istri dua" keluh Vian bercanda. Elsa memajukan bibirnya.
"Rasa tertarik itu pasti ada karena aku laki-laki normal, tapi aku jamin di hati aku hanya ada nama kamu. Selalu. Ngga pernah terlintas sedikitpun dipikiran aku untuk menikah diam-diam, menduakan cinta kamu. Seandainya ada niatan nikah lagi, aku bakal rayain besar-besaran"
Elsa mencubit perut Vian berulang-ulang karena perkataan pria itu.
"Bercanda, sayang"
Elsa mendongakkan kepalanya, menatap dalam suaminya yang begitu sungguh-sungguh. Ia berjinjit dan mencium bibir Vian tanpa melumatnya. Meresapi setiap detik di penyatuan bibir mereka tanpa adanya tuntutan nafsu.
KAMU SEDANG MEMBACA
NIKAH MUDA (END)
Fiksi RemajaNb: nama tokoh utamanya sudah terlanjur diubah Gue kira, gue yang bakal nahlukin lo dengan keseksian gue apalagi gue idola Aruma, tapi ternyata lo yang ngga ngelakuin apa apa yang romantis bisa buat gue tahluk ~~ Elsa Arqanaya. Gue bingung sama per...