Nisa berputar dihadapan cermin untuk memastikan jilbabnya sudah rapih. Ini adalah jilbab ketiga yang Nisa coba pakai. Gadis itu hanya tidak bisa menemukan warna jilbab yang cocok dengan pakaian yang ia kenakan pagi ini. Percayalah, saat kau menemukan kenyataan bahwa jilbab dan pakaian yang kau gunakan tidak serasi, kau hanya punya dua pilihan. Mengganti jilbab atau mengganti bajumu.
Nisa berdecak puas setelah menemukan pasangan yang cocok digunakan dengan tunik yang ia pakai hari ini. Berhubung ini hari senin dan cuaca diluar sedang bagus, Nisa mengenakan pakaian berwarna cerah yang sangat cocok di kulitnya yang cenderung putih.
"Pagi Teh Nisa!" Sapa pak Heri tetangga ramah yang bertempat tinggal persis disebelah rumahnya, Nisa tersenyum "Pagi Pak Heri!" Balasnya ramah. Perempuan cantik itu berjalan memasuki jazz putihnya yang terparkir rapi di halaman rumah. Walaupun rumah yang ditempatinya selama hampir beberapa tahun belakangan ini tidak terlalu besar, Nisa bersyukur setidaknya ia sudah bisa menata hidup semenjak kejadian kecelakaan yang menyebabkan kedua orang tua nya meninggal. Gadis itu membiasakan diri untuk hidup sendirian dan serba sederhana. Kecelakaan yang merenggut dua orang yang paling berharga dalam hidupnya membuat Nisa belajar banyak hal tentang hidup, salah satunya untuk berdiri sendiri dan menerima keadaan saat ini dengan lapang dada.
Nisa menghidupkan ponsel sembari menunggu lampu lalu lintas yang masih berwarna merah. Ia sudah mematikan benda berbentuk persegi itu semalaman karena lupa mencabut dari casan. Nisa berhasil menutup mata walaupun dengan sedikit paksaan karena ia tetap harus berjuang melawan insomnia yang dideritanya. Tidak mudah untuk tertidur di malam hari bagi Nisa, bayangan tubuh kaku ayah dan bunda yang terbungkus kain kafan dihadapannya terus menerus muncul membuat Nisa sulit menahan tangis dan mencoba untuk tertidur.
----
"Selamat sore, silahkan ingin pesan apa mas?" Nisa tersenyum ramah. Suasana kafe semakin ramai pada sore hari. Banyak anak-anak muda yang berkumpul bersama menikmati senja dengan duduk di kursi outdoor yang menghadap ke danau Sipin. Diantara kemeriahan itu terdapat beberapa keluarga yang berkumpul bersama bayi-bayi mungil menggemaskan untuk mencicipi menu khas kafe ini "Baiklah tiga Chicken katsu dengan barbecue sauce serta satu Ice Americano, Cafe latte dan Ice Mocha." Kafe mereka menyajikan kopi terenak satu kota Jambi karena barista mereka -Gilang memenangkan kontes Latte art dan kontes barista yang diadakan bulan lalu di wtc. Berkat itu juga kafe mereka punya banyak pelanggan setia dan hampir selalu ramai oleh orang-orang yang ingin mencicipi kopi yang dibuat langsung oleh Gilang.
Pukul tujuh malam Nisa turun kebawah setelah melaksanakan ibadah maghrib dan mengistirahatkan tubuh selama beberapa saat. Ia akan meminta tolong Raina untuk memasakannya makan malam, Nisa baru sadar ia tidak mengunyah apapun sejak sore tadi. Raina baru keluar dari pantry dengan mendorong kereta makan yang hanya khusus membawa makanan bagi tamu VIP, Nisa menghentikan gadis itu, "Ada tamu di ruang vip?" Tanyanya penasaran, karena seingat Nisa tadi ruang vip belum diisi oleh siapapun "Iya mbak baru saja datang, pasangan yang sedang dimabuk cinta." Raina tidak bisa menyembunyikan binar di matanya dan Nisa menjadi penasaran.
Ruang VIP sengaja di desain bagi orang-orang yang tidak ingin bersantap dengan suasana ramai. Sebuah ruangan yang di desain seperti sebuah kamar yang tidak terlalu besar namun dengan dinding kaca dan furniture berwarna putih memang selaras dengan konsep asli kafe. Pada awal pembangunan, Nisa memang berencana membuat beberapa ruang Vip dengan masing-masing kegunaan tersendiri. Dua ruang vip standard yang ditujukan bagi empat orang dengan ukuran kecil, satu ruang vip middle yang ditujukan bagi delapan orang dengan ukuran sedang dan terakhir satu ruang vip luxury ditujukan bagi sepuluh orang dengan ukuran besar.
"Kalau begitu biar mbak saja yang antar ini." Nisa mengambil alih kereta makanan dari Raina dan gadis itu menekuk wajahnya "Iya mbak, walaupun aku mau melihat lagi wajah si cowoknya." Katanya merajuk. Walaupun mereka sering kedatangan anak-anak muda seusianya, Raina tidak pernah bertemu dengan laki-laki setampan pelanggan vip mereka hari ini. Si lelaki dan perempuan sangat serasi karena sama-sama tidak berwajah 'biasa'.
Nisa tersenyum geli lalu mendorong kereta makanan menuju ruang vip standard yang berada di sudut ruangan dekat tangga. Membuka pintu setelah mengucap permisi "Saya akan menghidangkan makanan penutupnya." Nisa mulai menyusun makanan penutup yang dibuat oleh pattiserie andalan mereka. Merry Strawberry Sponge Cake yang terkenal dikalangan perempuan karena bentuknya yang cantik serta rasanya yang manis dengan secangkir Vienna Coffee dan Ice Americano adalah pilihan yang sangat tepat "Wah ternyata kue nya lebih cantik dari yang saya lihat di instagram." Sang pelanggan perempuan berdecak kagum setelah Nisa selesai menata dessert mereka di meja dengan rapih. Walaupun sering mendapat pujian soal kue ini, Nisa tetap tidak bisa berhenti tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
"Silahkan dinikmati Mbak, Mas." Nisa hendak meninggalkan ruangan tersebut karena tugasnya sudah selesai akan tetapi suara yang familier terdengar oleh telinganya "Kamu Annisa Rahmadani kan?" Nisa menoleh pada lelaki yang duduk berhadapan dengan pelanggan perempuan yang sedang menikmati sponge cake nya dengan lahap.
Nisa tersenyum paksa "Saya Gibran Arkha, masih ingat?" Lelaki berjas abu-abu itu refleks berdiri dan mendekati Nisa, mereka berjabat tangan selama beberapa detik "Iya, Gibran, halo apa kabar?" Nisa membalas salam itu dengan kaku. Ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa selama beberapa saat. Potongan ingatan yang terdapat nama itu didalamnya mulai muncul di permukaan, sepertinya Nisa akan mengingat nama itu bersamaan dengan rasa bersalah dan secercah kenangan.
Gibran Arkha Bimantara akan selalu punya tempat di dalam hidup Annisa Rahmadani bahkan setelah bertahun-tahun berlalu.
"Maaf ya, kamu sedikit berubah jadi aku agak sedikit sulit mengenalimu." Bohong. Nisa ingat dengan jelas tatapan teduh dan senyum ramah itu karena hanya Gibran yang memilikinya "Haha benarkah? Kurasa semakin menua membuat wajahku menjadi lebih jelek." Gibran menggaruk tengkuknya yang tidak gatal "Eh bukan bukan, ingatanku saja yang buruk." Nisa menjelaskan kalimatnya tadi.
Amanda memperhatikan interaksi kedua orang dihadapannya lalu tersenyum "Kalian saling mengenal?" tanyanya ingin tahu, Gibran mengangguk "Kami satu sma, Nisa sering sekali dijahili oleh Reza." Gibran dan Nisa sama-sama tersenyum, kenangan saat sekolah memang menyenangkan "Oh ya, kenalkan ini Amanda." Manda sudah menunggu saat Gibran akan memperkenalkannya.
"Manda."
"Nisa."
Kedua gadis itu berjabat tangan dan saling bertukar senyum "Ngomong-ngomong kamu kerja disini?" Tanya Manda penasaran, ia sangat menyukai makanan di kafe ini "Ini kafe milikku tapi aku juga bekerja, hitung-hitung daripada diam saja dirumah." Nisa memang lebih sering menghabiskan waktu di kafe daripada dirumah. Mungkin ia memang butuh keramaian bukannya kesunyian seperti saat sedang sendiri dirumah.
Manda tersenyum lebar, kedua matanya berbinar dengan bahagia "Aku sangaaat suka dengan semua kue yang kalian buat! Sampaikan terima kasihku pada koki kalian." Nisa ikut tersenyum, Manda persis seperti adik kecil yang menggemaskan "Aku senang kamu suka dengan kue kami, sering-sering mampir ya. Aku akan memberikanmu kue-kue enak lainnya." Manda mengangguk dengan antusias dengan ajakan Nisa.
Kedua gadis itu berbincang tanpa menghiraukan keberadaan Gibran. "Ngomong-ngomong kalau kamu dan Arkha satu sekolah, berarti kalian seumuran?" Manda teringat sesuatu "Kalau begitu kita seumuran." Nisa mengiyakan.
Manda menarik Nisa duduk disebelahnya supaya mereka bisa berbincang dengan nyaman. Gadis itu kembali melahap kue miliknya dan mempersilahkan Gibran dan Nisa untuk kembali bicara "Oh ya, Kamu kerja dimana Ran?" Nisa beralih pada Gibran yang baru selesai menghirup Ice Americano nya. Lelaki itu masih menyukai kopi seperti dulu "Aku melanjutkan papa Nis, walaupun sekarang dibantu oleh Aidan karena dia menikah dengan adikku yang bungsu." Nisa membulatkan mata terkejut. Aidan si kaku itu menikah dengan adik perempuan Gibran?
Ternyata sepuluh tahun memang bukan waktu yang sebentar.
"Adikku yang bungsu si Dinda, dia sedang kuliah sekarang." Wah, Nisa tidak menyangka Aidan akan menikah dengan perempuan yang jauh lebih muda darinya "Adik kamu menikah dengan Aidan yang kaku itu?" Nisa bahkan tidak bisa menahan diri untuk bertanya. Saat mereka sekolah dulu ia sempat berpikir, kira-kira siapa yang bersedia menikah dengan laki-laki kaku tanpa ekspresi seperti Aidan. Semua orang memang mengagumi ketampanan lelaki itu tetapi tentu saja sifatnya menjadi pertimbangan gadis-gadis untuk mendekatinya "Iya, hahahaha kadang aku tidak percaya mereka berjodoh."
Yah, tidak ada yang menyangka kalau Aidan akan menikah dengan Dinda.
Happy reading
KAMU SEDANG MEMBACA
All of the Sudden📌
ChickLitIni adalah cerita tentang kenangan dan kehilangan. -Sebagian cerita telah diunpublish untuk kepentingan hak cipta, silahkan hubungi secara pribadi untuk lebih lanjut-