Faded in My Last Song

3.7K 378 8
                                    

Gibran kembali ke kantor dengan perut kenyang dan perasaan yang lebih lega. Nisa juga mengantarnya hingga parkiran dan mereka berpamitan dengan baik-baik. Walau Gibran kembali ke kantor lewat tengah hari, walau dalam hati sebenarnya ingin pulang ke rumah saja dan berleha-leha. 

"Lho, pak Gibran?" Yolanda beranjak dari kursinya reflek ketika Gibran keluar dari lift. 

"Saya minta laporan mesin cup sealing dan filling otomatis GD series 2 Line dari pabrik tadi." 

Yolanda memilah salah satu dari tumpukan laporan lalu memberikannya pada atasannya. 

Gibran membawa laporan tersebut dan menekuri isinya dengan seksama. Beberapa saat kemudian matanya menangkap hal ganjil dari laporan "Minta Alvin ke ruangan saya sekarang." Ucap Gibran setelah memencet intercom. 

Lima menit kemudian Alvin mengetuk pintu ruangan direktur. "Mas panggil saya?" Ucapnya sopan. 

Gibran mengangguk lalu mengarahkan Alvin untuk duduk di sofa. "Ini laporan penambahan untuk mesin cup sealing dan filling otomatis GD series 2 Line karna kerusakan." Gibran menyerahkan laporan tersebut dan Alvin membacanya dengan seksama. 

"Mas ingin dengar pendapat kamu." Gibran menyenderkan badan dan duduk sambil bersila dengan nyaman. Ia menunggu respon Alvin dengan sabar. 

Alvin memperhatikan tiap isi laporan dengan hati-hati. "Ini harga sebelum diskon Mas." Nominal harga yang tertulis di laporan tersebut berjumlah sembilan puluh dua juta. Padahal seharusnya harga yang ditulis pada laporan pembelian mesin adalah harga yang dibeli setelah mendapatkan pemotongan harga. "Seingat saya, mas Andri bilang setelah diskon harga mesin menjadi sekitar enam puluh sembilan sampai tujuh puluh juta. Karna kan harga awalnya sembilan puluh dua juta." Alvin ingat dengan kunjungan terakhir di PT Maksindo tempat mereka biasa membeli alat. 

Gibran mengangguk "Saya juga ingatnya segitu, tapi kenapa laporan ini bisa lolos oleh divisi administrasi dan keuangan?" Walau pembawaan sang direktur masih tenang, Alvin tidak bisa mengabaikan aura intimidasinya. Jika melihat mengerikannya Gibran sekarang, direktur mereka masih jauh lebih baik dari pada presdir Aidan. Bagi pegawai perusahaan yang telah bekerja cukup lama sepertinya, berhadapan langsung dengan Gibran masih jauh lebih menguntungkan. Walau Alvin hanya bisa bertemu Aidan beberapa kali, sebisa mungkin ia tak mau lagi berurusan dengan lelaki itu. Ekspresi wajah datar dan dingin tanpa banyak suara, aura dominan dan intimidasinya membuat orang-orang berusaha menghindar. 

"Maaf mas, laporan ini akan di perbaiki secepatnya." Alvin tak mau mencoba membela diri. Ia tidak mau mencoba melindungi stafnya karena mereka memang melakukan kesalahan yang cukup fatal. 

"Lain kali lebih teliti Vin. Untung saja saya belum sempat tanda tangan." Ucap Gibran memperingati. 

Alvin pamit pergi setelah mengucapkan salam. Ia menggenggam laporan tersebut dengan erat. Kembali ke lantai lima untuk segera mendisiplinkan staf divisinya. 

Yolanda mengetuk pintu lagi saat Gibran sedang meregangkan badan. Sekretaris Gibran itu melangkah masuk dengan hati-hati setelah mendapat ijin. "Ada apa?" Tanya Gibran pasrah. "Maaf pak, saya mau memberitahu bahwa dokter Dandy menghubungi saya tadi siang dan berkata jadwal terakhir hipnoterapi mbak Manda adalah hari Rabu depan." 

Gibran refleks duduk tegap, ia lupa soal itu "Jam berapa?" 

"Tiga sore pak." 

"Terima kasih."

***

"Maaf saya terlambat." 

Pada Hari Rabu pekan berikutnya, Gibran mengunjungi rumah Manda setelah memberitahu Nisa. Kekasihnya memberi ijin dengan mudah bahkan menitipkan salam. Ini adalah kunjungan terakhir Gibran sekaligus perpisahannya supaya ia bisa meninggalkan Amanda secara baik-baik dan melanjutkan kehidupan normalnya dengan tenang. 

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 16, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

All of the Sudden📌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang