Downpour

4K 384 21
                                    

Gibran menarik turun dasi dan melonggarkan kemeja, rasanya sesak sekali. Ia butuh bernafas dengan baik. Jadwal pekerjaan yang bertumpuk dan beberapa permasalahan internal perusahaan sangat-sangat menyita waktu istirahat dan jam kerja yang berantakan. Sekretaris baru pengganti Amanda tidak cukup kompeten untuk mengikuti siklus kerja Gibran. Yolanda memang pintar, ia adalah salah satu lulusan terbaik Singapore Management University dengan gelar master di jurusan Science in Financial Economics akan tetapi gadis itu tidak cukup cekatan -seperti Amanda- Mungkin Gibran terbiasa dengan kinerja Manda yang nyaris sempurna sehingga ia tak biasa dengan pola kerja orang biasa.

"Woy! Melamun aja sih lu Ran!"

Reza tiba-tiba muncul tanpa pemberitahuan dan dalam keadaan berantakan. Rambutnya panjang dan terikat asal dengan kondisi kulit gosong oleh matahari. Namun senyuman hangat di wajahnya tetap ada dan kadar ketampanannya tidak berkurang . Reza bahkan terihat lebih macho sekarang.

Gibran memeluk sahabatnya. Reza yang tiba-tiba muncul tanpa kabar bukanlah hal yang baru baginya "Lu baru sampe?" Tanya Gibran santai. Reza mengangguk "Gue cuma mau ngeliat keadaan bapak direktur yang sedang galau." Ejek Reza dengan nada bicara yang sedikit berlebihan.

Gibran melayangkan tinju di bahu kiri Reza "kurang ajar lo! Gue lagi banyak kerjaan aja." Bantahnya. "Muka lo nggak kayak orang galau karena kerjaan sih." Balas Reza tidak mau kalah.

"Emang muka gue kelihatan kayak apa?" Tanya Gibran bingung.

"Kayak lagi mikirin mantan, uhuk!" Reza tertawa keras.

Gibran menggelengkan kepala "Daripada lo sibuk ngurusin ekspresi muka gue. Lebih baik lu potong rambut dulu sana, terus kembaliin muka lo yang gosong. Gue nggak bisa bedain pantat panci sama muka lu karna sama-sama gosong!" Ledeknya lalu tertawa geli. Reza menepuk Gibran kesal "Sialan lu! Temen baru aja pulang setelah sebulan lebih di hutan, lu malah ledekin gue. Udahlah gue mau kekantor Idan aja, mana tau banyak makanan." Wajar saja banyak makanan, Aidan memang sengaja membeli kulkas yang diisi berbagai macam snack karna permintaan Sang RatuNya.

"Nanti malem gue kerumah Aidan, kalian tunggu disana aja." Gibran menepuk bahu Reza, ia ingin melepas rindu dengan Reza tapi sekarang ada hal penting yang harus ia kerjakan. "Jangan lupa cari jodoh, Ran!" Reza pergi setelah menjentik kening Gibran dengan keras sambil terkekeh geli.

Gibran mengelus keningnya yang masih terasa berdenyut karna ulah Reza. "Yolanda, kosongkan jadwal saya sore ini." Lelaki itu berbicara lewat intercom dan Yolanda menyahutnya dalam waktu sepuluh detik kemudian "tapi pak- ada meeting penting bersama Presdir."

"Pindahkan ke hari Senin pukul sepuluh pagi. Saya bertaruh sebentar lagi kamu mendapat email dari kantor cabang soal ini." Balas Gibran final.

***

Gibran berkendara menuju kafe milik Nisa dengan santai. Ia baru bisa menemui kekasihnya setelah satu minggu sibuk dengan pekerjaaan. Gibran bahkan tidak sempat mampir untuk mengantar makan siang atau menemani Nisa di akhir pekan seperti biasa karena pekerjaannya yang datang beruntun seperti kereta api. Gibran bersyukur Nisa memaklumi pekerjaannya, bahkan terkadang Nisa akan mengirimkan kopi dan snack untuk menemani Gibran saat lembur. Gadisnya sangat pengertian dan Gibran sangat senang karenanya.

"Selamat sore mas Gibran, Silahkan~" Raina membuka pintu dan Gibran melangkah masuk. Sebelum Raina sempat menggiringnya menuju meja kosong, Gibran menghentikan langkah kakinya "Nisa ada diatas?" Tanya nya tanpa basa basi.

Raina menggeleng "Mbak Nisa pulang habis makan siang tadi, katanya ada urusan sedikit gitu." Ucapnya berdasarkan keterangan yang diberikan Nisa sebelum meninggalkan kunci kafe pada Gilang dan pamit pulang. Gibran terlihat kecewa "Ah... saya pikir Nisa disini makanya saya nggak telepon dia." Sepertinya ia akan pergi sekarang "Kalau begitu saya pergi saja, maaf ya Rai." Gibran pamit dan kembali ke mobil.

Gibran mengeluarkan ponsel dan menghubungi kekasihnya. "Ra, kamu dimana?" tanyanya seperti tergesa.

Ada jeda selama beberapa saat dan Gibran sadar ada yang aneh "di rumah Bim, kenapa?" Balas Nisa dengan suara yang aneh.

"Aku di kafe kamu, kupikir kamu disini."

"Aku pulang habis makan siang Bim, ada sedikit urusan-" Ucapan Nisa terjeda "Aku mau menemui Ayah dan Bunda."

"Boleh aku antar? Kalau kamu belum siap membawa aku ketemu mereka nggak papa. Tapi aku antar ya?" Gibran sangat yakin ada yang tidak beres dengan kekasihnya. Ia tidak bisa membiarkan Nisa pergi sendiri disaat pikirannya tidak tenang.

"Nggak papa aku bisa sendiri kok Bim. Aku akan bawa kamu ketemu Ayah dan Bunda secepatnya." Ucap Nisa berusaha menolak.

Namun Gibran tidak menyia-nyiakan waktu. Ia sudah membelokan stir menuju rumah Nisa tanpa menunggu lebih lama "Paling lama dua puluh menit, tunggu aku, jangan pergi sendiri, tolong." Lalu segera memutuskan panggilan mereka. Gibran tidak membiarkan kekasihnya membantah.

Lima belas menit kemudian Pajero Sport milik Gibran benar-benar terparkir di depan pagar rumah Nisa. Gibran berjalan cepat menemui kekasihnya karena khawatir. Namun benar sekali, ada yang tidak beres dengan Nisa "Kamu sudah siap, yang?" Tanya Gibran hanya untuk memastikan. Ia sedikit bingung dengan pakaian Nisa "Kenapa kamu pake baju hitam?" Padahal Nisa terbiasa memakai baju berwarna pastel atau baju berwarna cerah. Kekasihnya tidak terlalu suka baju berwarna gelap, ia jarang memakainya kecuali saat berpakaian formal dengan jas formil.

"Aku akan bertemu dengan Ayah dan Bunda." Nisa mencoba tersenyum namun ekspresi wajahnya malah terlihat aneh. Kedua matanya seakan ingin menangis tetapi bibirnya memaksakan senyuman. "Kamu beneran baik-baik saja? Ada masalah ya?" Gibran mendekat dan meraih tangan Nisa lalu menggenggamnya erat.

Nisa menggeleng "Harusnya aku yang tanya itu ke kamu kan. Gimana urusan kerjaan kamu, sudah beres?" Mungkin Nisa bisa sedikit mengulur waktu supaya Gibran tidak curiga. "Kerjaan aku baik-baik saja kok. Critical Condition sudah dilewati dengan baik, kerjaan aku tersisa untuk memeriksa dan menandatangani laporan dan kontrak perjanjian." Gibran meremas tangan Nisa yang terasa dingin.

"Ya sudah, ini mau ke tempat mereka jadi?"

Gibran membuka pintu mobil dan memastikan Nisa sudah duduk nyaman. Gibran sengaja mengendarai mobilnya dengan lambat karena ia ingin memastikan sesuatu. "Kalau dipikir-pikir sudah sepuluh tahun lebih aku nggak ketemu ayah sama bunda kamu." Ucap Gibran mencoba memancing pembicaraan kepada gadisnya yang sedang menunduk, Nisa terlihat tidak nyaman "Iya, kali ini kamu akan bertemu mereka lagi setelah sepuluh tahun." Dengan keadaan dunia yang berbeda, tambah Nisa dalam hati.

"Apa yang kamu lihat di bawah sana, sayang?"

Nisa reflek menegakan kepala. Ia tidak tahu Gibran memperhatikan gerak geriknya sejak tadi. "Kamu nangis?" Gibran terlihat panik. kedua mata Nisa basah, gadis itu mengusapnya dengan cepat "Aku lagi rindu mereka Bim, akhir-akhir ini nggak bisa berkunjung." Nisa berusaha untuk meyakinkan Gibran bahwa ia sedang baik-baik saja.

Saat mobil mereka berhenti di lampu merah simpang Thehok, Gibran menyempatkan untuk mengelus kepala kekasihnya dengan lembut "Jangan sedih lagi ya sayang." Bisik Gibran pelan. Nisa mengangguk "Ponsel kamu bunyi-" Gibran melirik ponselnya yang berdering "Tolong kamu pegang Ra." Lampu merah sudah berganti menjadi hijau dan Gibran kembali fokus pada jalan.

Nisa menggeser ikon hijau dan menjawab panggilan masuk dari nomor yang tidak dikenal "Halo, Ada yang bisa saya bantu?" Ucap Gibran setelah panggilan tersambung.

Jeda sama tiga detik.

"Gib, Mama... Mama meninggal Bim."

Tubuh Nisa bergetar, Gibran terdiam selama beberapa saat sebelum panggilan itu terputus.

Gibran sangat mengenali suara itu.

Amanda Dhea Lestari.

***


All of the Sudden📌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang