Here comes the Sun

5.4K 469 25
                                    

Gibran memberi jeda selama beberapa menit. Laki-laki itu menyandarkan punggung pada sofa dan meluruskan pinggang. Membicarakan tentang keseriusannya terhadap Nisa sungguh bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Nisa tidak mengatakan apa-apa selama hampir tiga menit, tapi dari gerak gerik nya yang gelisah Gibran tahu gadisnya sedang berpikir panjang. Melihat Nisa yang harus berusaha keras memikirkan hubungan mereka membuat Gibran senang, setidaknya skenario terburuk yang (amit-amit) terpikirkan semalam tidak terjadi -tamparan pada salah satu pipinya atau mungkin penolakan keras dengan teriakan penuh benci- sial, Gibran bergidik memikirkan itu semua.

"Aku akan memberi kamu waktu untuk berpikir, jangan dipaksakan begitu Ra." Gibran mengelus kepala Nisa dengan sayang, wajahnya yang putih sudah berubah semerah tomat. Tindakan spontan Gibran membuat jantung Nisa memompa dua kali lebih cepat dan membuatnya tidak bisa berkata-kata. "Kirimkan aku tiga pesan kosong secara berturut-turut sebagai tanda kamu bersedia memulai hubungan kita dan tidak perlu melakukan apa-apa jika kamu menolak." Oh sial, Gibran benci dengan kata 'menolak'.

Nisa tersenyum, perkataan Gibran membuatnya sedikit lebih lega. Ia membutuhkan waktu untuk memikirkan semuanya karena jika hubungan mereka berakhir sama -seperti dulu Nisa tidak tahu lagi bagaimana caranya bertahan. Perasaan dihargai dan dicintai dengan tulus, Nisa merasakannya dari Gibran. Laki-laki itu tidak main-main dengan ucapannya dan Nisa akan berusaha untuk membalas perasaaan Gibran dengan cara yang sama.

Gibran berdiri, meregangkan dasi yang melilit lehernya karena terasa sedikit sesak. Luapan rasa senang dan gugup membuat reaksi tubuhnya sedikit lebih berbeda dari biasanya. "Kalau begitu aku akan kembali ke kantor," Ucap Gibran sambil berpamitan, Nisa mengikuti laki-laki itu turun menuju parkiran mobil lalu berhenti didepan pintu kemudi "Hati-hati dijalan, Istirahat yang cukup dan makan dengan teratur." Nisa melambaikan tangan hingga mobil Gibran menghilang dari pandangan.

Nisa kembali ke dalam kafe, naik ke ruangan pribadinya dan mengambil tas tangan dan kunci mobil. Nisa memutuskan untuk menemui orang tuanya dan menyerahkan kunci kafe kepada Gilang setelah berkata tidaka akan kembali lagi untuk hari ini. Gadis itu mengendarai honda jazz miliknya dengan kecepatan sedang, menyusuri jalanan Talang Banjar yang mulai ramai pada sore hari. Nisa memarkirkan mobilnya pada parkiran mesjid Sukarejo dan tak lupa membawa barang-barang yang ia perlukan. Melangkah dengan hati-hati, Nisa mencoba mengingat letak dimana ayah dan bunda nya berada. Gadis itu berhenti didepan kedua gundukan yang sudah dipagar dengan keramik berwarna putih sambil tersenyum menatap kedua nama identitas pemiliknya.

"Assalamualaikum, Ayah Bunda."

Nisa mengelus batu nisan tersebut. Menaruh dua buket bunga yang sengaja ia siapkan pada masing-masing makam yang terletak bersebelahan. Berjongkok diantara kedua gundukan itu, Nisa menyiram dengan air mineral yang telah ia siapkan sambil terus bergumam do'a. Setelah memastikan kuburan tersebut telah bersih, Nisa menabur bunga segar baru yang dibeli dari penjual bunga didepan makam. Menatap kosong kearah dua batu nisan yang terletak bersebelahan, Nisa mengeluarkan surat Yasiin yang ia bawa dan membacanya dengan khidmat, bersikap seolah-olah ia tidak sendirian

"Rara rindu kalian." Suaranya tercekat, air mata yang daritadi telah ia tahan akhirnya tumpah juga. Nisa melepas emosinya dengan menangis keras, lagipula tidak ada orang lain disini selain dirinya. Nisa merasa bisa melepas seluruh perasaannya dihadapan sang Ayah dan Bunda walau tahu ia tidak akan mendapat jawaban dari mereka. Pada akhirnya perasaan ditinggalkan dan kosong itu tetap ada, Nisa berbohong jika mengatakan ia sudah ikhlas dengan kepergian orang tuanya. Pada kenyataannya walau sudah bertahun-tahun mencoba, Nisa tetap tidak bisa melepas dengan lapang dada. Akan selalu ada saat dimana Nisa teringat dengan sang Ayah dan Bunda lalu menangis diam-diam. Ia tidak bisa mengadu kepada siapapun soal rasa sedihnya karena ia bahkan tak punya saudara. "Rara selalu nangis kalo liat Ayah sama Bunda, gimana dong?" Nisa mengusap air matanya. Memastikan untuk memasang senyum setelah mengunjungi makam kedua orang tuanya adalah aturan sendiri yang ditetapkan Nisa sejak awal. Ia boleh menangis tersedu-sedu dihadapan Ayah dan Bunda tapi Nisa harus kembali menjadi sosok yang kuat setelah pergi dari sini.

All of the Sudden📌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang