What if i told you that i love you

4.4K 391 5
                                    

Keesokan harinya, Nisa terbangun dengan tubuh yang lemas. Efek kehujanan dan rasa lelah berlebihan membuat sekujur tubuhnya terasa lemas dan kaku. Nisa setengah memaksakan diri ke kamar mandi untuk berendam air hangat dan mengembalikan suhu tubuhnya. Lima belas menit berendam di bath up dengan suhu air yang hangat membuat tubuhnya sedikit lebih baik. Nisa bahkan merasa sedikit lapar, ia ingin memakan sesuatu untuk sarapan. 

Membuka kulkas dengan perut yang keroncongan membuat Nisa malah semakin lapar. Ia tidak bisa menunggu selesai memasak untuk memakan sesuatu. Karena itu ia sudah berjalan ke depan kompleks untuk membeli sebungkus nasi gemuk dan segelas jus stroberi. Kombinasi sarapan yang aneh tapi Nisa menyukainya. 

Nisa tersentak ketika mendapati Gibran yang sedang duduk di bangku depan dengan wajah yang kusut. Pakaiannya masih rapih, persis seperti seragam Gibran saat pergi ke kantor namun yang ekspresi wajahnya yang kusut membuat Nisa kebingungan. Gibran sontak beranjak dari kursi ketika mendengar langkah kaki seseorang "Sayang, kamu ngapain pagi-pagi disini?" Nisa mendekati kekasihnya. Ia bisa melihat keadaan berantakan Gibran dari jarak yang cukup dekat. Ah....sudah berapa lama ia tak melihat wajah tampan ini. "Aku nelfonin kamu dari tadi." Gibran menunjukkan ponselnya. 

Nisa terkekeh polos "Maaf ya, aku nggak bawa ponsel." lalu ia berjalan untuk membuka pintu, Gibran mengikuti kekasihnya tanpa banyak suara. "Kamu sudah sarapan? aku mampir ke depan kompleks dan membeli sarapan." Nisa menggiring Gibran ke meja makan dan menaruh bungkus nasi dan jus yang ia beli.

Nisa menarik kursi di sebelah Gibran dan menaruh sarapannya di piring "Yuk sarapan dulu." Ajak Nisa sambil memberi satu sendok pada kekasihnya. Gibran menggeleng pelan, perutnya belum terisi apapun sejak tadi pagi tapi ia tidak berselera untuk menelan nasi "Mau aku suapin aja?" Tawar Nisa tidak ingin menyerah. 

Gibran hanya diam dan Nisa menandai itu sebagai persetujuan. Nisa menyendok nasi dengan tambahan teri goreng dan telur dadar lalu membawa suapan itu pada Gibran yang disambutnya tanpa protes. Gibran tak bisa berhenti tersenyum tiap kali menerima suapan yang diberi kekasihnya "Kamu kayak anak kecil lagi ngambek." Ujar Nisa sambil memberi suapan terakhir dari sarapan mereka. Gibran menghentikan Nisa yang akan beranjak dari kursinya dan mengambil alih piring dan gelas kotor untuk mencucinya. 

Nisa berjalan ke sofa ruang tengah lalu menghidupkan televisi untuk menghindari kesunyian diantara mereka. Gibran menyusul kekasihnya setelah selesai mencuci piring, duduk disamping Nisa dengan tenang. 

"Kamu kenapa?" Tanya Nisa lembut, gadis itu mengusap rambut kekasihnya yang berantakan. Padahal biasanya Gibran adalah orang sangat rapih, bahkan pada saat akhir pekan dimana lelaki itu tidak sedang bekerja. 

Nisa masih bertahan untuk tersenyum, menunggu respon dari kekasihnya yang masih diam tak bersuara. Gibran seperti sedang memikul sesuatu yang berat di kedua bahunya "Kamu bicara dong sayang." pinta Nisa memohon. Ia tidak bisa menebak pikiran Gibran saat ini. Lelaki itu tidak kunjung bicara sejak tadi, Nisa tidak tahu harus bereaksi seperti apa jika kekasihnya mulai bersikap seperti ini. 

Lalu Gibran meraih tangan Nisa yang sedang mengelus rambutnya "Aku tidak tahu harus minta maaf atau merasa senang dengan sikap kamu." Gibran mengecup punggung tangan kekasihnya "Aku merasa janggal dengan sikap kamu terhadap hubunganku dan Manda. Kenapa kamu terkesan seperti ingin menjauh?" 

Dahi Nisa berkerut, ada apa dengan pemikiran Gibran itu "Maksud kamu apa sih Bim? Sikap aku yang bagaimana yang membuat kamu merasa kayak aku sedang menjauh dari hubungan kita?" Tanya Nisa bingung. Ia melirik Gibran yang terlihat sedang berpikir keras "Aku serius dengan hubungan kita, sayang. Berhenti berpikiran aneh-aneh deh." Nisa mengurut dahi Gibran yang kini berkerut. 

"Tapi kenapa kamu malah menyuruh aku untuk menemani Manda daripada menemui kamu?"

Nisa bersumpah ia tidak menyangka Gibran akan menyadari sikapnya selama beberapa waktu belakangan. Nisa tidak ada niat untuk merenggangkan hubungan mereka. Nisa hanya merasa bersimpati pada keadaan Manda karena ia telah melaluinya lebih dulu. Nisa ingin supaya Manda tidak sampai merasakan perasaan sedih dan sendirian yang telah ia lalui seorang diri dulu. Namun sepertinya keputusan sepihak yang diputuskan Nisa mempengaruhi hubungannya dan Gibran. Nisa tidak berpikir jauh --dimana nanti-- sewaktu-waktu Gibran mempertanyakan sikap Nisa yang --seakan-- sedang mendorong lelaki itu menjauh darinya. 

All of the Sudden📌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang