Before the Storm

4.2K 391 4
                                    

Gibran sampai di kafe tak lama kemudian dan benar saja, suasana kafe masih ramai padahal jam makan siang sudah hampir habis. Salah satu pegawai kafe yang mengenal Gibran menyapa sambil membukakan pintu untuknya.

"Siang Mas, cari mbak Nisa kan?"

Gibran mengangguk, "Nisa diatas?" tanyanya. 

Gadis berambut pendek itu tersenyum "Iya Mas, tapi kayaknya lagi ngomong dengan Raina."

"Makasih ya." Gibran segera naik ke lantai dua, mendekati ruangan Nisa dan bisa mendengar jelas percakapan kekasihnya dengan salah satu karyawannya.

"Kenapa kamu nggak bilang? Mama kamu sakit dan harus segera ditangani dokter. Pokoknya kamu harus terima uang dari mbak dan cuti untuk mengurus Mama kamu." Gibran membuka pintu sedikit, ia berniat akan menyapa namun melihat ekspresi wajah Nisa yang tegang membuatnya mengurungkan niat. Gibran berada pada posisi yang sama agar bisa mendengar lebih dekat. "Mama bilang dia masih bisa nunggu untuk operasi kok mbak. Rai bisa kerja fulltime disini." Nisa memejamkan matanya beberapa saat, membayangkan sisa potongan ingatan tentang sang Bunda yang terbaring kaku.

Melihat ekspresi wajah Nisa yang terlihat murung membuat Gibran menebak, pasti terjadi sesuatu pada kedua orang tua Nisa. Kejadian terakhir kali di rumah Manda adalah alasan utama dibalik sangkaan Gibran, apalagi sekarang melihat betawa sensitifnya Nisa dengan hal yang menyangkut orang tua membuat Gibran semakin yakin. 

Apa mungkin orang tua Nisa sedang sakit parah?

"Mbak jangan khawatir, Rai akan kerja lebih keras supaya dapat bayaran yang sesuai. Rai nggak mau merepotkan mbak Nisa, kami juga sedang mengumpulkan uang untuk biaya operasi Mama." Raina kembali menjelaskan. "Terima kasih Mbak sudah khawatir tapi Rai nggak bisa nerima bantuan ini."

Nisa membuka kedua matanya, ia akan menangis kembali "Dengarkan Mbak, Jangan pernah sia-siakan waktu untuk menolong orang tua kamu. Mereka sedang sakit dan yang harus kamu lakukan adalah menerima uang ini dan segera meminta dokter mengatur jadwal operasi untuk Ibu kamu. Kamu harus melakukan ini sebelum semuanya terlambat. Rai, Andai saja kamu tau betapa beratnya hidup ketika kamu sudah tidak punya siapapun di dunia ini." Nisa menghapus air matanya dengan cepat, Raina tidak perlu melihatnya menangis. "Makanya, mbak mohon kamu terima uang ini dan langsung urus pengobatan ibu kamu. Mbak akan kasih kamu cuti sampai operasi Ibu kamu selesai, tolong lakukan itu." Pinta Nisa memohon, ia tidak bisa membayangkan jika semua sudah terlambat dan yang bisa dilakukan Raina adalah menyesal dan menangis.

Raina tidak mengeluarkan suaranya, ia merasa terharu sekaligus bingung dengan ucapan Nisa yang terdengar seperti seseorang yang sudah merasakan hal ini lebih dulu. "jika kamu nggak mau dikasihani, anggap saja ini pinjaman kamu. Kamu boleh membayar kembali saat kamu sudah punya cukup uang. Tapi sekarang, temui ibu kamu dan obati sakitnya." Raina menyerah, hatinya terenyuh melihat Nisa yang tampak memohon dengan sungguh. 

"Terima kasih banyak mbak, Rai berhutang dengan Mbak Nisa." Raina berniat untuk pamit sebelum menyadari keberadaan Gibran yang sudah menunggu dibalik pintu. 

Namun Nisa tidak terkejut sama sekali, perempuan cantik itu seakan sudah menyadari kekasihnya yang sudah ada disana sejak tadi. "Saya permisi." Gibran menutup pintu ruangan Nisa setelah Raina turun kebawah. Lelaki itu diam mengamati kekasihnya tanpa suara . "Aku nggak pernah mengerti kenapa dia bisa menunda untuk pengobatan ibunya hanya karna biaya. Jika saja aku tahu lebih awal, mungkin Ibunya tidak akan menahan sakit sampai sekarang." Nisa mengeluarkan suara, mengusap wajahnya yang tiba-tiba berkeringat dingin.

"Tunggu sebentar ya Bim, aku cuci muka dulu." Nisa pamit untuk ke kamar mandi, mencuci wajahnya dan memakai sedikit makeup agar tidak terlalu pucat.

All of the Sudden📌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang