Menegangkan

7.7K 593 32
                                    

Saat ia masuk ke ruangan dan mendapati Saphira terbarung di atas sofa sambil bermain game, Gibran hanya bisa mendesah pasrah. Tuhan, kenapa lagi adiknya harus menghancurkan rencananya?

Tunggu, bukankah seharusnya ia bekerja?

"Woy, lu ngapain baring disini? Kerja sana" Ayu duduk dan tidak mengindahkan kata - katanya. "Sapi. Tumben lu malas." Padahal biasanya adiknya satu ini suka sekali bekerja. Ayu sangat mencintai pekerjaannya lebih dari orang lain.

Perempuan itu menghela nafas berat "Mas Ghaffar ke Singapore." Dan Gibran mengernyit "Terus?" tanyanya bingung, dimana korelasi antara alasan perempuan itu malas bekerja dengan keberangkatan suaminya ke Singapore.

"Pengen ikut." Jawab Ayu pendek, Namun Gibran semakin kebingungan "Terus?" Ia sudah merasa seperti tukang parkir.

"Males masuk." Ucapnya tak acuh. Gibran menepuk keningnya. Dia lupa, adik sayangnya yang satu ini akan lepas kontrol kalau suaminya tidak ada "Dan lu gangguin gue?" Ayu meliriknya, tidak beranjak dari game di ipad miliknya "Sofa lu gede bang. Kalau mau rapat ya pergi aja." Usir Ayu sarkas.

"Dek, kalau mau baring - baring lo ke rumah mama aja." Ayu mendesah kasar "Males. Nanti gue ditanyain, kapan mama nimang cucu. Kawan kakak yang lain sudah beranak pinak." Gibran tertawa mendengar kata - kata adiknya. Gibran mengelus rambut Sapi dan berbisik "No worries sayang. Mama jangan di dengerin." Ucapnya mencoba menenangkan Ayu.

Tapi sepertinya itu semua percuma "Makanya nikah jadi gue nggak jadi objek perhatian mama." Karena Ayu menatapnya dengan tatapan menyebalkan "Get out of my office!" Gibran menarik adiknya keluar dari ruangannya dan ia masih bisa mendengar adik sayang satunya itu tertawa.

Sialnya, Amanda melihat semua yang terjadi dan sepertinya berasumsi yang bukan - bukan. Gadis itu bahkan tidak berani menatap matanya.

"Bukan seperti itu." bisik Gibran "Itu adik saya." Amanda mendongak dengan semburat merah yang membuat otot perut Gibran berkedut.

Sialan! Broh, lu kayak remaja SMP baru baligh. Jangan naik cuma karena lihat cewek cantik dongak dengan mata terbelalak sama muka merah. Ampun dah!

Gibran menggerutu sendiri dalam hati sementara Amanda berusaha mengatur kata - kata yang akan diucapkannya di hadapan sang atasan. "Anu... Hn, oke" akan tetapi nasib berkata lain. Hanya itu yang bisa dikatakannya "Mau makan siang? Oke kamu rasanya tidak meyakinkan" tawa kecil lolos dari mulutnya saat melihat Amanda berjengit. "Ayo" ini perintah dan Amanda mengetahuinya karena wanita itu langsung mengikuti Gibran tanpa banyak bicara.

Keinginan Gibran biasanya tersampaikan. Ia benar - benar mencoba hubungannya dengan Amanda kali ini. Gadis itu sangat menyenangkan untuk diajak bicara. Gibran punya banyak bahasan saat bersama Amanda dan tidak seperti mantan - mantannya yang lain, Gibran bisa mengeluhkan pekerjaannya kepada Amanda "Lelah" desah Gibran ketika ia masuk ke dalam ruangannya. Amanda yang ikut masuk bersamanya hanya bisa tertawa. "Ka, sehabis ini kamu ada janji dengan istri pak Aidan."

Gibran melirik ke arah Amanda yang masih saja sibuk dengan kertas - kertas persentase anak marketing tadi. "Hn.. Mau ikut? Makan dengan Dinda." Amanda tertawa "Hmm... Katanya adik - adikmu seram." Gadis itu hampir bergidik ketika mendengar soal kabar itu dari gosip murahan yang bertebaran diseluruh kantor.

Gibran menelan ludah, ia lupa. "Ah.. Iya sih, whenever you are ready" Amanda berjalan mendekat, membuat Gibran merentangkan tangannya "Aku siap - siap aja dari dulu Ka, kamu yang sering takut sendiri." bisik wanita itu dan menciumi rambutnya. Tubuh Gibran merileks karena hal itu, ia menurunkan tangannya ke pinggang Amanda dan mengistirahatkan kepalanya di dada wanita itu.

"Sepuluh menit" janjinya dan Amanda tertawa. "As you wish boss"

Gibran senang, entah kenapa ia merasa hubungannya kali ini akan baik - baik saja.

All of the Sudden📌Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang